24 May

PRESTASI PERSIBA DI TENGAH KISRUH PSSI

Kabupaten Bantul pernah memiliki squad sepakbola kebanggan masyarakat, yaitu Persiba. Pada tahun 2011 tim ini berhasil menorehkan prestasi karena berhasil masuk ke liga kelas satu waktu itu. Namun sayang, pada saat yang sama terjadi kekacauan di PSSI waktu itu. Tulisan ini sedikit merespon fenomena sosial yang cukup menarik tersebut. Beruntung, Koran Merapi menerbitkan artikel ini dalam rubrik Ngudarasa

Spektakuler!!! Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perjuangan skuad Persiba Minggu (22/5/11) lalu ketika sukses menggulung Persidafon dengan skor telak 5-2. Momentum itu sekaligus menjadi saat yang paling bersejarah bagi Persiba karena impian untuk berlaga di tingkatan tertinggi persepakbolaan nasional (ISL) pun akhirnya tercapai. Warga DIY, khususnya Bantul tentu patut berbangga dengan prestasi Persiba ini karena untuk pertama kalinya, Persiba menjadi wakil DIY yang ikut berlaga di kompetisi tertinggi sepakbola dalam negeri.

Namun demikian, ada satu hal ironis yang membarengi prestasi besar yang diperoleh Persiba tersebut. Apalagi kalau bukan kisruh PSSI yang hingga saat ini tidak menunjukkan titik terang. Kongres Nasional yang diselenggarakan 20 Mei 2011 kemarin bahkan hanya menimbulkan kekisruhan yang lebih akut karena pendukung calon yang ditolak oleh FIFA ngotot untuk tetap mengusung calon ketua umum yang tersingkir. Sanksi FIFA pun sudah di depan mata. Hal ini jelas merupakan persoalan yang serius karena jika sampai sanksi dari FIFA benar-benar dijatuhkan pada PSSI, maka semua prestasi yang ditorehkan oleh para atlet sepakbola nasional tidak akan memiliki arti penting di mata dunia internasional karena pada akhirnya mereka tidak diperbolehkan berlaga di ajang internasional. Begitu juga halnya dengan prestasi Persiba yang diperoleh musim ini. Segala macam upaya yang dilakukan untuk menjuarai setiap kompetisi pun bisa jadi sia-sia jika kisruh di tubuh PSSI ini tidak kunjung selesai.

Mencermati kegagalan Kongres PSSI yang lalu, sangat terlihat bahwa Kelompok 78 yang oleh banyak pihak dianggap sebagai biang kegagalan kongres (Vivanews, 22 Mei 20011) hanya mementingkan kekuasaan, dan terkesan sama sekali tidak memikirkan nasib sepakbola nasional. Betapa tidak, sudah jelas bahwa pencalonan Arifin dan George ditolak oleh FIFA, namun mereka tetap saja ngotot agar FIFA mencabut penolakannya atas dua calon tersebut. Jika memang mereka memikirkan nasib sepakbola nasional, khususnya menyangkut eksistensinya di dunia internasional, Kelompok 78 harusnya legawa dan bersama-sama dengan peserta kongres lainnya, memilih calon baru yang benar-benar pantas untuk menjadi ketua umum PSSI.

Membangun kesadaran di kalangan pemimpin memang bukan perkara mudah, terlebih apabila para pemimpin tersebut sudah haus akan kekuasaan, persis seperti yang terlihat pada kongres kemarin. Namun demikian, kesadaran terhadap nasib persepakbolaan nasional tersebut bagaimanapun sangatlah penting karena selain menjadi wadah bagi generasi bangsa di dalam melahirkan berbagai macam prestasi, sepakbola juga bisa menjadi senjata yang sangat efektif untuk menggenjotrasa nasionalisme bangsa Indonesia. Ajang piala AFF 2010 yang lalu, telah memberikan pelajaran yang sangat berharga betapa sepakbola bisa mendatangkan ‘keajaiban nasionalisme’. Ketika di babak penyisihan Timnas Indonesia memperoleh kemenangan berturut-turut atas Malaysia, Laos, dan Thailand, perhatian masyarakat pun tertuju pada pemberitaan tersebut sehingga seketika para pemain timnas menjadi idola, bak pahlawan yang dielu-elukan oleh seluruh rakyat. Kebanggaan rakyat atas negaranya pun meningkat tajam, dan seketika nasionalisme bangsa Indonesia membahana hingga ke pelosok negeri. Kaos, jaket, dan berbagai macam atribut Timnas diminati oleh seluruh rakyat sehingga prestasi Timnas pun berdampak di bidang ekonomi karena banyak pengusaha kaos yang kemudian ikut mendapat ‘buah manis’ lantaran mendapat omzet yang jauh melebihi biasanya.

Apa yang kita saksikan dalam dunia sepakbola ketika itu adalah pelajaran berharga yang seharusnya diingat oleh para petinggi PSSI yang sekarang sedang beradu ego mereka masing-masing. Sepakbola Indonesia harus benar-benar ditangani dengan serius karena ia tidak hanya merupakan wadah berprestasi bagi insan sepakbola di seluruh tanah air, tetapi ia bahkan bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk membangkitkan rasa nasionalisme bangsa. Nasionalisme adalah sikap yang terkait dengan rasa baggga terhadap suatu negara. Dan rasa bangga tersebut sebenarnya akan muncul dengan sendirinya ketika sepakbola kita menorehkan prestasi di laga internasional. 

Prestasi sepakbola nasional di masa mendatang inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan para petinggi PSSI, dan bukannya malah saling bertikai atau bahkan membangkang terhadap keputusan FIFA. Kisruh PSSI harus segera diatasi demi membangun kembali prestasi sepakbola nasional. Tanpa kepengurusan yang baik, dunia sepakbola nasional akan mati. Berbagai macam prestasi anak negeri, termasuk prestasi yang diperoleh Persiba saat ini pun, akan menjadi sia-sia karena tidak ada lagi penghargaan atas prestasi mereka. Tentu saja hal ini sangat tidak kita harapkan.

24 May

MEMPELAJARI ANATOMI BENCANA MERAPI

Ketika Gunung Merapi yang berlokasi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah bergejolak sekitar tahun 2011/2012, penulis ikut membahas permasalahan bencana tersebut. Artikel ini dimuat di rubrik Gagasan di Harian Solopos, tetapi tahun persisnya tidak ingat.

Sudah seminggu lebih Merapi meletus, namun hingga sekarang belum juga muncul tanda-tanda penurunan aktivitasnya. Bahkan jumlah korban jiwa justru semakin bertambah seiring meningkatnya letusan gunung teraktif di dunia ini. Berdasarkan pemberitaan yang dilansir oleh beberapa media massa, sebagian besar korban jiwa dalam letusan Merapi adalah penduduk yang tidak mematuhi himbauan pemerintah dan lembaga terkait dengan perintah evakuasi. Hal ini tentu menjadi persoalan karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ternyata masyarakat tidak memiliki kesadaran mengenai ancaman dan bahaya Merapi.

“Anatomi” bencana Merapi

Sesuai dengan World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang, bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Terkait dengan letusan Merapi tahun 2010 ini, maka faktor bahaya adalah ancaman Merapi itu sendiri, dan faktor kerentanan adalah kesiapan atau daya tahan masyarakat di lereng Merapi terhadap bahaya gunung tersebut.

Sesuai dengan realitas yang bisa kita lihat bersama, tampak bahwa ternyata letusan Merapi telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ini berarti bahwa letusan Merapi memang telah menjadi bencana, dan pangkal persoalannya pun cukup jelas, yaitu faktor kerentanan (vulnerability), dalam hal ini adalah masyarakat yang kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya dari gunung tersebut.

Ada setidaknya dua faktor yang menjadi penyebab kerentanan atau ketidaksiapan masyarakat di sekitar lereng Merapi. Pertama, ada kearifan lokal yang bercorak mitis (mitos) di kalangan masyarakat lereng Merapi bahwa Merapi dan penduduk merupakan satu kesatuan, sehingga muncul keyakinan bahwa Merapi tidak akan melukai penduduk sekitarnya. Keyakinan ini dikuatkan dengan hadirnya tokoh seperti Mbah Maridjan yang dianggap memiliki peran “istimewa”, yaitu sebagai penjaga hubungan penduduk dengan Merapi. Kedua, masyarakat melupakan sejarah letusan Merapi di masa lalu, sehingga mereka pada umumnya tidak menyadari atau menganggap enteng bahaya letusan Merapi. Dua faktor di atas berujung pada satu sikap yaitu keyakinan bahwa letusan Merapi tidak akan seburuk seperti yang diperkirakan, sehingga sejumlah penduduk pun tetap bertahan di rumah mereka meskipun pemerintah sudah menghimbau untuk mengungsi. Sikap inilah yang menjadi faktor kerentanan (vulnerability) dalam bencana Merapi, dan hal ini terbukti dari banyaknya jumlah korban yang meninggal di dalam rumah karena tidak mematuhi himbauan evakuasi.

Dari “mitos” ke “logos

Untuk menghindari kejadian yang sama di masa yang akan datang, faktor kerentanan manusia ini perlu di atasi, dan kuncinya adalah mitos yang berkembang di masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas. Mitos memang tidak selamanya salah karena mitos memberikan cara pandang yang lebih arif terhadap lingkungan. Namun, akan menjadi persoalan apabila mitos digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan keputusan penting seperti di dalam letusan Merapi ini. Oleh karenanya, masyarakat seharusnya perlu sedikit membuka diri terhadap “logos”, dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang bisa menjelaskan banyak hal tentang Merapi dengan cara yang bisa dimengerti oleh rasio.

Sejak awal, Dr. Surono (kepala PVMBG) telah mengemukakan temuan ilmiah mengenai peningkatan aktivitas Merapi. Dan perhitungan yang dilakukan juga selalu bisa diandalkan. Oleh karenanya, dalam rangka mengurangi faktor kerentanan, masyarakat seharusnya memperhatikan pertimbangan ilmiah tersebut, khususnya terkait dengan himbauan untuk proses evakuasi. Namun sayangnya, masyarakat terlalu menganggap remeh bahaya Merapi sehingga faktor kerentanan tersebut bukannya teratasi tetapi justru semakin membesar, yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa.

Mengubah pandangan masyarakatBertolak dari persoalan di atas, peristiwa meletusnya Gunung Merapi yang terhitung dahsyat ini perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi dan refleksi, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di lereng Merapi. Sebagai solusi jangka panjang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama,harus dibangun kesadaran mengenai bahaya (hazard) Merapi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bung Karno pernah berpesan “Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah), oleh karenanya peristiwa letusan tahun ini harus diingat dan diceritakan kepada generasi berikut sehingga kesadaran akan bahaya Merapi tetap ada di ingatan masyarakat. Kedua, masyarakat juga perlu melakukan perubahan cara pikir. Yaitu dengan  membiasakan diri menerima penjelasan dan pertimbangan ilmiah karena dalam banyak hal pertimbangan ilmiah bisa memberikan penjelasan yang lebih masuk akal. Pertimbangan ilmiah bersifat empiris-rasionalis, dan bukan spekulatif sehingga masih bisa diandalkan untuk “mengawal” objek alamiah, seperti Merapi. Kedua upaya di atas akan membantu mengatasi faktor kerentanan di pihak manusia. Sehingga ketika di waktu yang akan datang bahaya (hazard)  kembali mengancam, masyarakat bisa menghadapinya dengan kerentanan (vulnerability) yang minimum sehingga peristiwa alam tidak perlu menjadi bencana. Semoga.

24 May

MEMBANGUN MASYARAKAT SADAR BENCANA

Mengawali tahun 2012, di Indonesia terjadi banyak bencana alam. Artikel yang sempat diterbitkan di Koran Merapi ini, ditulis untuk merespon fenomena alam tersebut.

Pada umumnya, orang selalu menaruh harapan baru ketika datang tahun yang baru. Ini pula yang kemarin terlihat ketika tahun 2011 berakhir dan digantikan dengan tahun 2012. Banyak orang berharap agar keadaan di tahun 2012 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, ternyata kenyataannya tidak semudah yang diinginkan. Di awal tahun 2012 ini justru ada banyak kejadian buruk yang menimbulkan kerugian, bahkan membawa korban Jiwa. Salah satunya adalah terjadinya angin kencang atau angin puting beliung di sejumlah tempat di Indonesia.

Beberapa hari yang lalu berbagai pemberitaan di media massa menayangkan bagaimana topan Iggy yang hanya “nyrempet” ke wilayah Indonesia telah menyebabkan banyak kerugian. Akibat ulah topan tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada setidaknya 14 orang meninggal dunia di wilayah Jawa dan Bali (Kompas.com, 29 Januari 2012). Tak hanya itu, angin puting beliung juga terjadi di Gunung Kidul. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, namun peristiwa tersebut mengakibatkan setidaknya 10 rumah rusak (Kedaulatan Rakyat, 2 Februari 2012).

Banyaknya kerusakan yang dialami oleh masyarakat kita akibat peristiwa alam, misalnya angin puting beliung tersebut, sebenarnya mengindikasikan banyak hal. Pertama, berbagai fenomena alam tersebut menunjukkan bahwa alam memang sedang bergolak dalam rangka mengembalikan keseimbangannya. Kita sepatutnya sadar bahwa sebenarnya manusia adalah bagian dari alam, dan mau tidak mau, kita harus menerima “perlakuan” alam tersebut. Kedua, dan yang paling penting, kerusakan di pihak manusia tersebut menunjukkan bahwa manusia belum atau kurang siap di dalam menghadapi fenomena alam tersebut, sehingga tidak mampu meminimalisir akibat buruk yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.

World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Jepang, menyepakati bahwa bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Dalam kasus angin puting beliung yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, faktor bahaya sangatlah jelas, yakni angin puting beliung itu sendiri. Sedangkan faktor kerentanan adalah kesiapan kita di dalam menghadapi peristiwa tersebut, termasuk juga prosedur mitigasi bencana yang kita miliki. Ketika faktor bahaya (angin puting beliung) tersebut dihadapi dengan kerentanan yang tinggi (kesiapan yang rendah di pihak manusia), maka terjadilah kerusakan di pihak manusia. Di posisi inilah, peristiwa tersebut dapat disebut sebagai bencana.

Jika anatomi dari bencana puting beliung tersebut sudah dapat kita ketahui, tentu pertanyaan besarnya adalah: lalu bagaimana kita bisa mengurangi kerusakan di pihak manusia? Jawabannya adalah sangat jelas, yaitu bahwa kita perlu mengurangi faktor kerentanan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin jika sewaktu-waktu bencana yang sama datang. Upaya ini dapat ditempuh setidaknya dengan 3 cara. Pertama, perlu disadari bahwa cuaca sebenarnya adalah satu keadaan yang bisa “diramalkan”, termasuk potensi terjadinya angin kencang. Untuk itu, pemerintah harus mampu menyediakan informasi seluas-luasnya tentang potensi-potensi tersebut kepada masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah bisa menggunakan media elektronik, seperti radio atau televisi, agar masyarakat bisa terus mengikuti perkembangan informasi cuaca.

Kedua, baik pemerintah maupun masyarakat harus pro-aktif di dalam menyediakan informasi tentang angin puting beliung. Pemerintah bisa menempuh upaya ini dengan melakukan sosialisasi ke berbagai daerah tentang angin puting beliung, beserta panduan untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Penyediaan poster atau pamflet barangkali sudah cukup efektif untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat. Sebaliknya, di pihak lain, masyarakat juga harus secara mandiri memperkaya diri dengan informasi tentang bencana alam, sehingga upaya dari kedua pihak bisa bertemu pada satu titik, yang nantinya akan meningkatkan pemahaman masyarakat itu sendiri.

Ketiga, dan yang tidak kalah penting, perlu disosialisasikan mitigasi untuk bencana puting beliung itu sendiri. Mitigasi bencana tersebut akan memberikan panduan kepada masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan sebelum, ketika, dan setelah bencana terjadi. Termasuk upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat di daerah rawan agar lebih siap secara fisik dan mental di dalam menghadapi bencana yang sama di masa yang akan datang. Upaya ini barangkali adalah yang paling penting karena dengan tersedianya mitigasi bencana yang baik, maka kerusakan ataupun jatuhnya korban benar-benar dapat diminimalisasi.Itulah tiga upaya yang dapat dilakukan untuk membangun masyarakat sadar bencana. Kesadaran terhadap bencana adalah satu hal yang bukan saja penting, tapi juga harus dimiliki karena memang secara geografis negara kita adalah negara yang rawan dengan berbagai macam bencana. Dengan kesadaran yang tinggi terhadap potensi bencana, maka masyarakat kita akan lebih siap di dalam menghadapi bencana apapun. Semoga…

24 May

KOMUNIKASI PEMIMPIN ALA SBY

Pada tahun 2012, perbincangan tentang status keistimewaan Yogyakarta menjadi perbincangan hangat di media massa. Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan diterbitkan di media cetak, jika tidak salah di Solopos, untuk ikut meramaikan diskusi tentang isu tersebut. Namun sayang, oleh karena satu dan lain hal, arsipnya tidak ketemu. Jika ada pembaca yang bisa menemukan tautan untuk artikel ini, saya akan sangat terbantu.

Presiden SBY kembali menjadi pembicaraan di berbagai media. Pidatonya dalam pembukaan rapat kabinet (26/11) yang kemudian diklarifikasi pada hari Kamis (2/12) lalu telah mengundang polemik di kalangan masyarakat. Sebagaimana dilansir di beberapa media, pernyataan presiden SBY pada rapat kabinet tersebut sangat disayangkan oleh berbagai kalangan karena SBY dianggap tidak mengetahui substansi dari keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya sudah diatur di dalam konstitusi (UUD ’45). Menanggapi reaksi publik yang tidak terduga itu, presiden SBY pun menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi pidato yang dianggapnya telah disalah-pahami oleh masyarakat. Banyak hal yang ia sampaikan sehingga pidatonya menjadi agak tidak jelas. Bahkan apa yang ia sampaikan terkesan hanya merupakan retorika yang berbau apologi karena semua yang dikeluhkan oleh publik, ia klarifikasi semuanya. Tentang aspek sejarah, pasal 18 UUD ’45, solidaritasnya terhadap bencana Merapi, sikap hormatnya atas Sultan dan PakuAlam, dan masih banyak lagi. Banyak pihak yang kemudian menilai klarifikasi SBY ini merupakan strategi pencitraan karena ia tampak seperti berusaha meraih kembali simpati publik, terutama dari masyarakat Yogyakarta, setelah pidatonya mengundang kontroversi di berbagai media.

Terlepas dari materi yang disampaikan di dalam klarifikasinya tersebut ada beberapa kelemahan yang sebenarnya bisa kita amati di dalam kebiasaan komunikasi atau pidato yang dilakukan oleh  SBY. Pertama, dibandingkan dengan orang-orang yang pernah menjabat sebagai presiden RI, SBY terkesan terlalu sering berbicara di hadapan publik sehingga seringkali ia sendiri justru kerepotan menanggapi reaksi publik akibat pidato-pidatonya yang kontroversial. Hal ini sebenarnya sangat disayangkan karena di antara orang-orang yang menjadi stafnya, sudah ada orang yang ditunjuk sebagai juru bicaranya, yaitu Julian Aldrin Pasha. Semestinya, SBY menyerahkan sebagian besar fungsi penerangannya tersebut kepada juru bicaranya, sehingga ketika mungkin ada kesalahan ucap (sliped tangue), hal itu tidak sampai berpengaruh terhadap kredibilitasnya sebagai kepala negara.

Kedua, SBY juga sering berbicara out of context atau terkadang tidak memperhatikan konteks. Misalnya menyertakan isu A dalam pidatonya mengenai B. Hal ini tentu juga menjadi masalah karena persoalan yang kecil bisa menjadi persoalan yang besar akibat dari penyebaran “prematur” dari satu isu, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ketiga, entah disengaja atau tidak, hampir semua pidato yang dikemukakan SBY, selalu disiarkan secara live di berbagai media elektronik. Hal ini sangat potensial menimbulkan polemik karena ketika disiarkan di media massa, sebagian besar masyarakat tidak akan menyadari konteks di mana pidato tersebut disampaikan. Akibatnya, yang menjadi fokus perhatian hanya materi pidatonya. Akan sangat berbahaya jika materi pidatonya tersebut adalah persoalan yang sensitif, dan hal ini pula yang sebenarnya memicu polemik di media massa akhir-akhir ini.

Apabila presiden SBY masih menginginkan kepercayaan publik, kelemahan di atas tentu perlu diatasi karena hal itu tidak hanya mengurangi kredibilitasnya sebagai kepala negara, tetapi juga merugikan kepentingan politik yang ia miliki. Presiden SBY perlu ‘memperbaiki’ gaya komunikasi yang selama ini dilakukan sehingga kedudukannya sebagai kepala negara tidak tereduksi oleh kontroversi yang ia munculkan sendiri.

Sabda Pandhita Ratu

Terkait dengan komunikasi seorang pemimpin, ada satu petuah luhur yang pernah dikemukakan oleh Raja Surakarta Hadiningrat, yaitu Pakubuwana IV, yang dituliskan ke dalam sebuah serat yang diberi nama Wulangreh.Beliau sudah memberi rambu-rambu kepada setiap manusia, khususnya para pemimpin agar tidak memiliki watak adiguna, yaitu watak seorang manusia yang mengandalkan kata-katanya (seperti ular yang mengandalkan bisa-nya). Pemimpin yang demikian ini tidak akan mendapatkan keluhuran, tetapi justru akan mati sampyoh karena pada akhirnya ia tidak akan memperoleh kebaikan dari sifatnya tersebut, dan justru keburukan yang akan ia dapatkan. Ajaran luhur ini tentu bisa menjadi bahan refleksi bagi para pemimpin kita agar tidak terjebak di dalam kesulitan yang ditimbulkan oleh kata-katanya sendiri.Seorang pemimpin adalah sosok yang menjadi panutan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karenanya perkataan yang dikemukakan tidak hanya dimaknai sekedar kata-kata, tetapi lebih dari itu. Perkataannya bisa saja menjadi hukum, yang tentu saja membawa implikasi yang sangat besar terhadap kekuasaan yang ia miliki. Karenanya seorang pemimpin haruslah berhati-hati dalam memilih kata. Di dalam ajaran filsafat kepemimpinan Jawa, hal ini sering disebut dengan sabda pandhita ratu, dan sebenarnya patut disayangkan apabila pemimpin negeri ini tidak menyadari akan hal ini. Ajaran mengenai sabda pandhita ratu secara garis besar berarti bahwa perkataan seorang pemimpin adalah ibarat ucapan pandhita yang selalu manjur, dalam arti ucapannya selalu memiliki efek yang mendalam. Oleh karenanya kata-kata seorang pemimpin tan kena wola wali atau tidak boleh plin-plan. Untuk menghindari hal ini, maka pemimpin seharusnya lebih banyak diam namun diam yang penuh strategi. Ia hanya berkomentar ketika sangat dibutuhkan, dan komentarnya adalah komentar yang menunjukkan sikap finalatau prinsipnya atas masalah yang sedang dihadapi. Inilah yang seharusnya menjadi gaya komunikasi seorang pemimpin, dan bukannya mengobral pidatoyang tidak jelas substansinya.

24 May

HUMANISME EKOLOGIS BERBASIS TRI HITHA KARANA

Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan pernah diterbitkan di Balipost. Saya berusaha mencari tautan untuk mencari terbitan di Balipost, tetapi sampai sekarang belum bisa menemukannya. Apabila ada yang bisa membantu saya menemukan tautannya, tentu saya akan sangat berterima kasih.

Indonesia kembali berduka. Hujan yang turun dengan intensitas cukup tinggi telah menyebabkan banjir di sejumlah daerah di seluruh negeri ini. Meski tidak banyak korban jiwa dalam bencana banjir tersebut, namun jika diakumulasikan, kerugian material dari bencana banjir jelas tak terhitung lagi. Banyak infrastruktur yang rusak, kegiatan perekonomian masyarakat juga terganggu, dan masih banyak akibat yang lainnya. Beberapa pihak kemudian menyalahkan alam atas bencana ini, namun ini tentu tidak benar karena entah besar atau kecil, jelas ada campur tangan manusia dalam bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Manusia dan hukum alam

Bumi yang kita tempati adalah tempat yang memiliki aturan yang sangat ‘tegas’. Ada hukum alam yang di dalamnya terdapat hukum sebab-akibat; ada pula hukum Tuhan yang bekerja dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. Meski peristiwa atau kejadian alam di sekitar kita tampaknya kacau, kita percaya bahwa alam adalah tempat yang harmonis. Dalam arti bahwa setiap bagian berada pada tempatnya masing-masing, dan bekerja bersama-sama membentuk satu keadaan yang kita beri nama “keseimbangan”. Karena keseimbangan ini pula, di dalam agama Hindu kita kenal ajaran mengenai Tri Hitha Karanayang salah satu isinya adalah ajaran untuk menjaga hubungan baik kita dengan alam.

Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk mengembalikan keseimbangannya ketika keseimbangan ini mengalami gangguan. Gempa bumi, gunung meletus, dan banjiryang dari sudut pandang manusia dianggap sebagai “bencana”, dalam frame yang lebih besar hanyalah bagian dari mekanisme alam untuk mengembalikan keseimbangannya, yang sebenarnya justru amat diperlukan bagi keseimbangan alam itu sendiri.Namun persoalannya adalah bahwa di samping keseimbangan itu berubah oleh mekanisme yang dimiliki oleh alam, manusia ternyata juga ikut berperan dalam merubah keseimbangan itu. Campur tangan manusia ini bahkan terlalu ekstrim sehingga alam pun mengembalikannya dengan cara yang ekstrim. 

Ketika manusia mulai berpikir secara fungsional, maka ia sudah membuat jarak dengan alam, bahkan mulai berpikir tentang bagaimana caranya agar alam yang ada dihadapannya bisa digunakan seluas-luasnya untuk kepentinganmanusia. Ada perbedaan yang tegas dan jelas antara manusia dan alam sehingga manusia seringkali lupa bahwa ia sendiri adalah bagian dari alam yang masih terikat dengan segala hukum yang bekerja di dalamnya. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap humanistik yang berlebihan atau kelewatan karena dalam titik ekstrim manusia tidak akan memperhatikan lagi seberapa jauh kerusakan lingkungan yang telah diakibatkannya. Nalar yang bekerja menjadi nalar kapitalis-ekonomis sehingga yang menjadi orientasi utama adalah keuntungan manusia sendiri.

Tri Hitha Karana dan humanisme-ekologis

Perubahan iklim yang mulai kita rasakan, beserta berbagai bencana yang muncul, menunjukkan pada kita bahwa mungkin selama ini kita memang salah memperlakukan alam yang kita tinggali. Berbagai bencana di tanah air memberitahukan kepada kita bahwa kita perlu membangun solusi, baik jangka pendek maupun jangka panjang agar peristiwa serupa tidak terulang di masa yang akan datang. Solusinya, perlu ada semacam gerakan untuk memperbaiki lingkungan kita, dan dalam hal ini sebenarnya perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang akan dilaksanakan di sejumlah daerah.Diakui atau tidak, manusia memiliki campur tangan yang besar atas kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, dan sebagaimana diuraikan di atas, hal ini terjadi karena faktor mentalitas, yaitu sikap kita yang salah dalam menempatkan dan memperlakukan alam. Oleh karenanya, perlu dilakukan tindakan yang juga berkaitan dengan mentalitaskita, yaitu melakukan re-orientasi fundamental mengenai persepsi kita atas alam. Hal ini berarti bahwa kita perlu melakukan rekonstruksi menyeluruh pada konsepsi atas alamyang kita miliki selama ini. Perlu ada semacam re-definisi atas alam yang kita tempati, dan dalam hal ini kita bisa belajar pada agama Hindu, yakni mengenai konsepTri Hitha Karanasebagai salah satu contoh sikap yang bijaksana dalam memandang alam. Jangan lagi menganggap alam sebagai sesuatu yang eksternalmanusiakarena manusia dan alam adalah dua hal yang menyatu. Manusia adalah bagian dari alam, dan apabila terjadi sesuatu pada alam, manusia tohjuga akan ikut merasakannya.

Kesadaran semacam inilah yang perlu kita bangun bersama-sama, dan tentu saja untuk mencapainya perlu komitmen yang kuat dari diri kita masing-masing. Intinya, perlu dibangun semacam etika yang berbasis pada nilai-nilai kosmologis dan ekologis, yaitu etika yang berbasis pada nilai-nilai yang mengagungkan keharmonisan dan kelestarian alam, seperti Tri Hitha Karana di atas. Upaya ini memang bukan upaya yang mudah dan instan, namun ia bukanlahupaya yang sederhana karena apabila mampu diwujudkan, akan menjadi solusi yang komprehensif atas persoalan ekologis yang kita hadapi saat ini. Dengan begitu, kita akan bangga dengan dunia yang akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang.