24 May

HUMANISME EKOLOGIS BERBASIS TRI HITHA KARANA

Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan pernah diterbitkan di Balipost. Saya berusaha mencari tautan untuk mencari terbitan di Balipost, tetapi sampai sekarang belum bisa menemukannya. Apabila ada yang bisa membantu saya menemukan tautannya, tentu saya akan sangat berterima kasih.

Indonesia kembali berduka. Hujan yang turun dengan intensitas cukup tinggi telah menyebabkan banjir di sejumlah daerah di seluruh negeri ini. Meski tidak banyak korban jiwa dalam bencana banjir tersebut, namun jika diakumulasikan, kerugian material dari bencana banjir jelas tak terhitung lagi. Banyak infrastruktur yang rusak, kegiatan perekonomian masyarakat juga terganggu, dan masih banyak akibat yang lainnya. Beberapa pihak kemudian menyalahkan alam atas bencana ini, namun ini tentu tidak benar karena entah besar atau kecil, jelas ada campur tangan manusia dalam bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Manusia dan hukum alam

Bumi yang kita tempati adalah tempat yang memiliki aturan yang sangat ‘tegas’. Ada hukum alam yang di dalamnya terdapat hukum sebab-akibat; ada pula hukum Tuhan yang bekerja dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. Meski peristiwa atau kejadian alam di sekitar kita tampaknya kacau, kita percaya bahwa alam adalah tempat yang harmonis. Dalam arti bahwa setiap bagian berada pada tempatnya masing-masing, dan bekerja bersama-sama membentuk satu keadaan yang kita beri nama “keseimbangan”. Karena keseimbangan ini pula, di dalam agama Hindu kita kenal ajaran mengenai Tri Hitha Karanayang salah satu isinya adalah ajaran untuk menjaga hubungan baik kita dengan alam.

Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk mengembalikan keseimbangannya ketika keseimbangan ini mengalami gangguan. Gempa bumi, gunung meletus, dan banjiryang dari sudut pandang manusia dianggap sebagai “bencana”, dalam frame yang lebih besar hanyalah bagian dari mekanisme alam untuk mengembalikan keseimbangannya, yang sebenarnya justru amat diperlukan bagi keseimbangan alam itu sendiri.Namun persoalannya adalah bahwa di samping keseimbangan itu berubah oleh mekanisme yang dimiliki oleh alam, manusia ternyata juga ikut berperan dalam merubah keseimbangan itu. Campur tangan manusia ini bahkan terlalu ekstrim sehingga alam pun mengembalikannya dengan cara yang ekstrim. 

Ketika manusia mulai berpikir secara fungsional, maka ia sudah membuat jarak dengan alam, bahkan mulai berpikir tentang bagaimana caranya agar alam yang ada dihadapannya bisa digunakan seluas-luasnya untuk kepentinganmanusia. Ada perbedaan yang tegas dan jelas antara manusia dan alam sehingga manusia seringkali lupa bahwa ia sendiri adalah bagian dari alam yang masih terikat dengan segala hukum yang bekerja di dalamnya. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap humanistik yang berlebihan atau kelewatan karena dalam titik ekstrim manusia tidak akan memperhatikan lagi seberapa jauh kerusakan lingkungan yang telah diakibatkannya. Nalar yang bekerja menjadi nalar kapitalis-ekonomis sehingga yang menjadi orientasi utama adalah keuntungan manusia sendiri.

Tri Hitha Karana dan humanisme-ekologis

Perubahan iklim yang mulai kita rasakan, beserta berbagai bencana yang muncul, menunjukkan pada kita bahwa mungkin selama ini kita memang salah memperlakukan alam yang kita tinggali. Berbagai bencana di tanah air memberitahukan kepada kita bahwa kita perlu membangun solusi, baik jangka pendek maupun jangka panjang agar peristiwa serupa tidak terulang di masa yang akan datang. Solusinya, perlu ada semacam gerakan untuk memperbaiki lingkungan kita, dan dalam hal ini sebenarnya perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang akan dilaksanakan di sejumlah daerah.Diakui atau tidak, manusia memiliki campur tangan yang besar atas kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, dan sebagaimana diuraikan di atas, hal ini terjadi karena faktor mentalitas, yaitu sikap kita yang salah dalam menempatkan dan memperlakukan alam. Oleh karenanya, perlu dilakukan tindakan yang juga berkaitan dengan mentalitaskita, yaitu melakukan re-orientasi fundamental mengenai persepsi kita atas alam. Hal ini berarti bahwa kita perlu melakukan rekonstruksi menyeluruh pada konsepsi atas alamyang kita miliki selama ini. Perlu ada semacam re-definisi atas alam yang kita tempati, dan dalam hal ini kita bisa belajar pada agama Hindu, yakni mengenai konsepTri Hitha Karanasebagai salah satu contoh sikap yang bijaksana dalam memandang alam. Jangan lagi menganggap alam sebagai sesuatu yang eksternalmanusiakarena manusia dan alam adalah dua hal yang menyatu. Manusia adalah bagian dari alam, dan apabila terjadi sesuatu pada alam, manusia tohjuga akan ikut merasakannya.

Kesadaran semacam inilah yang perlu kita bangun bersama-sama, dan tentu saja untuk mencapainya perlu komitmen yang kuat dari diri kita masing-masing. Intinya, perlu dibangun semacam etika yang berbasis pada nilai-nilai kosmologis dan ekologis, yaitu etika yang berbasis pada nilai-nilai yang mengagungkan keharmonisan dan kelestarian alam, seperti Tri Hitha Karana di atas. Upaya ini memang bukan upaya yang mudah dan instan, namun ia bukanlahupaya yang sederhana karena apabila mampu diwujudkan, akan menjadi solusi yang komprehensif atas persoalan ekologis yang kita hadapi saat ini. Dengan begitu, kita akan bangga dengan dunia yang akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang.