24 May

MEMBANGUN MASYARAKAT SADAR BENCANA

Mengawali tahun 2012, di Indonesia terjadi banyak bencana alam. Artikel yang sempat diterbitkan di Koran Merapi ini, ditulis untuk merespon fenomena alam tersebut.

Pada umumnya, orang selalu menaruh harapan baru ketika datang tahun yang baru. Ini pula yang kemarin terlihat ketika tahun 2011 berakhir dan digantikan dengan tahun 2012. Banyak orang berharap agar keadaan di tahun 2012 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, ternyata kenyataannya tidak semudah yang diinginkan. Di awal tahun 2012 ini justru ada banyak kejadian buruk yang menimbulkan kerugian, bahkan membawa korban Jiwa. Salah satunya adalah terjadinya angin kencang atau angin puting beliung di sejumlah tempat di Indonesia.

Beberapa hari yang lalu berbagai pemberitaan di media massa menayangkan bagaimana topan Iggy yang hanya “nyrempet” ke wilayah Indonesia telah menyebabkan banyak kerugian. Akibat ulah topan tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada setidaknya 14 orang meninggal dunia di wilayah Jawa dan Bali (Kompas.com, 29 Januari 2012). Tak hanya itu, angin puting beliung juga terjadi di Gunung Kidul. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, namun peristiwa tersebut mengakibatkan setidaknya 10 rumah rusak (Kedaulatan Rakyat, 2 Februari 2012).

Banyaknya kerusakan yang dialami oleh masyarakat kita akibat peristiwa alam, misalnya angin puting beliung tersebut, sebenarnya mengindikasikan banyak hal. Pertama, berbagai fenomena alam tersebut menunjukkan bahwa alam memang sedang bergolak dalam rangka mengembalikan keseimbangannya. Kita sepatutnya sadar bahwa sebenarnya manusia adalah bagian dari alam, dan mau tidak mau, kita harus menerima “perlakuan” alam tersebut. Kedua, dan yang paling penting, kerusakan di pihak manusia tersebut menunjukkan bahwa manusia belum atau kurang siap di dalam menghadapi fenomena alam tersebut, sehingga tidak mampu meminimalisir akibat buruk yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.

World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Jepang, menyepakati bahwa bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Dalam kasus angin puting beliung yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, faktor bahaya sangatlah jelas, yakni angin puting beliung itu sendiri. Sedangkan faktor kerentanan adalah kesiapan kita di dalam menghadapi peristiwa tersebut, termasuk juga prosedur mitigasi bencana yang kita miliki. Ketika faktor bahaya (angin puting beliung) tersebut dihadapi dengan kerentanan yang tinggi (kesiapan yang rendah di pihak manusia), maka terjadilah kerusakan di pihak manusia. Di posisi inilah, peristiwa tersebut dapat disebut sebagai bencana.

Jika anatomi dari bencana puting beliung tersebut sudah dapat kita ketahui, tentu pertanyaan besarnya adalah: lalu bagaimana kita bisa mengurangi kerusakan di pihak manusia? Jawabannya adalah sangat jelas, yaitu bahwa kita perlu mengurangi faktor kerentanan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin jika sewaktu-waktu bencana yang sama datang. Upaya ini dapat ditempuh setidaknya dengan 3 cara. Pertama, perlu disadari bahwa cuaca sebenarnya adalah satu keadaan yang bisa “diramalkan”, termasuk potensi terjadinya angin kencang. Untuk itu, pemerintah harus mampu menyediakan informasi seluas-luasnya tentang potensi-potensi tersebut kepada masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah bisa menggunakan media elektronik, seperti radio atau televisi, agar masyarakat bisa terus mengikuti perkembangan informasi cuaca.

Kedua, baik pemerintah maupun masyarakat harus pro-aktif di dalam menyediakan informasi tentang angin puting beliung. Pemerintah bisa menempuh upaya ini dengan melakukan sosialisasi ke berbagai daerah tentang angin puting beliung, beserta panduan untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Penyediaan poster atau pamflet barangkali sudah cukup efektif untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat. Sebaliknya, di pihak lain, masyarakat juga harus secara mandiri memperkaya diri dengan informasi tentang bencana alam, sehingga upaya dari kedua pihak bisa bertemu pada satu titik, yang nantinya akan meningkatkan pemahaman masyarakat itu sendiri.

Ketiga, dan yang tidak kalah penting, perlu disosialisasikan mitigasi untuk bencana puting beliung itu sendiri. Mitigasi bencana tersebut akan memberikan panduan kepada masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan sebelum, ketika, dan setelah bencana terjadi. Termasuk upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat di daerah rawan agar lebih siap secara fisik dan mental di dalam menghadapi bencana yang sama di masa yang akan datang. Upaya ini barangkali adalah yang paling penting karena dengan tersedianya mitigasi bencana yang baik, maka kerusakan ataupun jatuhnya korban benar-benar dapat diminimalisasi.Itulah tiga upaya yang dapat dilakukan untuk membangun masyarakat sadar bencana. Kesadaran terhadap bencana adalah satu hal yang bukan saja penting, tapi juga harus dimiliki karena memang secara geografis negara kita adalah negara yang rawan dengan berbagai macam bencana. Dengan kesadaran yang tinggi terhadap potensi bencana, maka masyarakat kita akan lebih siap di dalam menghadapi bencana apapun. Semoga…