PRESTASI PERSIBA DI TENGAH KISRUH PSSI
Kabupaten Bantul pernah memiliki squad sepakbola kebanggan masyarakat, yaitu Persiba. Pada tahun 2011 tim ini berhasil menorehkan prestasi karena berhasil masuk ke liga kelas satu waktu itu. Namun sayang, pada saat yang sama terjadi kekacauan di PSSI waktu itu. Tulisan ini sedikit merespon fenomena sosial yang cukup menarik tersebut. Beruntung, Koran Merapi menerbitkan artikel ini dalam rubrik Ngudarasa
Spektakuler!!! Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perjuangan skuad Persiba Minggu (22/5/11) lalu ketika sukses menggulung Persidafon dengan skor telak 5-2. Momentum itu sekaligus menjadi saat yang paling bersejarah bagi Persiba karena impian untuk berlaga di tingkatan tertinggi persepakbolaan nasional (ISL) pun akhirnya tercapai. Warga DIY, khususnya Bantul tentu patut berbangga dengan prestasi Persiba ini karena untuk pertama kalinya, Persiba menjadi wakil DIY yang ikut berlaga di kompetisi tertinggi sepakbola dalam negeri.
Namun demikian, ada satu hal ironis yang membarengi prestasi besar yang diperoleh Persiba tersebut. Apalagi kalau bukan kisruh PSSI yang hingga saat ini tidak menunjukkan titik terang. Kongres Nasional yang diselenggarakan 20 Mei 2011 kemarin bahkan hanya menimbulkan kekisruhan yang lebih akut karena pendukung calon yang ditolak oleh FIFA ngotot untuk tetap mengusung calon ketua umum yang tersingkir. Sanksi FIFA pun sudah di depan mata. Hal ini jelas merupakan persoalan yang serius karena jika sampai sanksi dari FIFA benar-benar dijatuhkan pada PSSI, maka semua prestasi yang ditorehkan oleh para atlet sepakbola nasional tidak akan memiliki arti penting di mata dunia internasional karena pada akhirnya mereka tidak diperbolehkan berlaga di ajang internasional. Begitu juga halnya dengan prestasi Persiba yang diperoleh musim ini. Segala macam upaya yang dilakukan untuk menjuarai setiap kompetisi pun bisa jadi sia-sia jika kisruh di tubuh PSSI ini tidak kunjung selesai.
Mencermati kegagalan Kongres PSSI yang lalu, sangat terlihat bahwa Kelompok 78 yang oleh banyak pihak dianggap sebagai biang kegagalan kongres (Vivanews, 22 Mei 20011) hanya mementingkan kekuasaan, dan terkesan sama sekali tidak memikirkan nasib sepakbola nasional. Betapa tidak, sudah jelas bahwa pencalonan Arifin dan George ditolak oleh FIFA, namun mereka tetap saja ngotot agar FIFA mencabut penolakannya atas dua calon tersebut. Jika memang mereka memikirkan nasib sepakbola nasional, khususnya menyangkut eksistensinya di dunia internasional, Kelompok 78 harusnya legawa dan bersama-sama dengan peserta kongres lainnya, memilih calon baru yang benar-benar pantas untuk menjadi ketua umum PSSI.
Membangun kesadaran di kalangan pemimpin memang bukan perkara mudah, terlebih apabila para pemimpin tersebut sudah haus akan kekuasaan, persis seperti yang terlihat pada kongres kemarin. Namun demikian, kesadaran terhadap nasib persepakbolaan nasional tersebut bagaimanapun sangatlah penting karena selain menjadi wadah bagi generasi bangsa di dalam melahirkan berbagai macam prestasi, sepakbola juga bisa menjadi senjata yang sangat efektif untuk menggenjotrasa nasionalisme bangsa Indonesia. Ajang piala AFF 2010 yang lalu, telah memberikan pelajaran yang sangat berharga betapa sepakbola bisa mendatangkan ‘keajaiban nasionalisme’. Ketika di babak penyisihan Timnas Indonesia memperoleh kemenangan berturut-turut atas Malaysia, Laos, dan Thailand, perhatian masyarakat pun tertuju pada pemberitaan tersebut sehingga seketika para pemain timnas menjadi idola, bak pahlawan yang dielu-elukan oleh seluruh rakyat. Kebanggaan rakyat atas negaranya pun meningkat tajam, dan seketika nasionalisme bangsa Indonesia membahana hingga ke pelosok negeri. Kaos, jaket, dan berbagai macam atribut Timnas diminati oleh seluruh rakyat sehingga prestasi Timnas pun berdampak di bidang ekonomi karena banyak pengusaha kaos yang kemudian ikut mendapat ‘buah manis’ lantaran mendapat omzet yang jauh melebihi biasanya.
Apa yang kita saksikan dalam dunia sepakbola ketika itu adalah pelajaran berharga yang seharusnya diingat oleh para petinggi PSSI yang sekarang sedang beradu ego mereka masing-masing. Sepakbola Indonesia harus benar-benar ditangani dengan serius karena ia tidak hanya merupakan wadah berprestasi bagi insan sepakbola di seluruh tanah air, tetapi ia bahkan bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk membangkitkan rasa nasionalisme bangsa. Nasionalisme adalah sikap yang terkait dengan rasa baggga terhadap suatu negara. Dan rasa bangga tersebut sebenarnya akan muncul dengan sendirinya ketika sepakbola kita menorehkan prestasi di laga internasional.
Prestasi sepakbola nasional di masa mendatang inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan para petinggi PSSI, dan bukannya malah saling bertikai atau bahkan membangkang terhadap keputusan FIFA. Kisruh PSSI harus segera diatasi demi membangun kembali prestasi sepakbola nasional. Tanpa kepengurusan yang baik, dunia sepakbola nasional akan mati. Berbagai macam prestasi anak negeri, termasuk prestasi yang diperoleh Persiba saat ini pun, akan menjadi sia-sia karena tidak ada lagi penghargaan atas prestasi mereka. Tentu saja hal ini sangat tidak kita harapkan.