ONTOLOGI TERORISME DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT EKSISTENSIALISME GABRIEL H. MARCEL
Tindakan terorisme adalah salah satu tindakan yang mengancam harmoni sosial di Indonesia. Pemicunya bermacam-macam, dan motifnya pun berbeda-beda. Pelakunya nekat, dan terkesan tidak berpikir panjang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tulisan ini mencoba memahami perilaku terorisme ini dalam perspektif ontologi eksistensialisme Gabriel H. Marcel. Tulisan ini sudah diterbitkan di Jurnal Filsafat, Vol. 24 No. 1 Tahun 2014. Silakan akses melalui tautan berikut:
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/34760
Selamat membaca..!
Abstrak
Terorisme adalah salah satu kejahatan yang paling mengerikan. Berbagai upa- ya telah dilakukan oleh pemerintah, namun demikian, hingga saat ini terorisme masih saja menjadi isu serius. Sebagai sebuah perilaku manusia, kejahatan terorisme adalah satu hal yang dapat dinilai dari berbagai macam perspektif, termasuk juga dari frame filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel sebagai- mana yang diuraikan pada tulisan ini. Berkaitan dengan analisis atas perilaku terorisme di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme, khususnya yang dilakukan dengan bom bunuh diri, adalah perilaku yang secara ontologis merupakan bagian dari upaya yang dipilih manusia untuk mencapai “Ada”, yang juga menyangkut pertemuan antara “Aku” dan “Engkau”. Terlepas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuatan), dalam perspek- tif Marcel, perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang “manusiawi” karena “prosedur” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal keputusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2013 pemerintahan SBY–Boediono sudah hampir memasuki akhir masa kerjanya. Banyak yang mengemukakan adanya kemajuan, namun tidak sedikit pula yang mengatakan adanya kemun- duran. Terlepas dari penilaian positif dan negatif atas kinerja pemerin- tahan SBY–Boediono tersebut, ada satu hal yang tentu tidak bisa di- pungkiri begitu saja, yaitu bahwa masih ada banyak permasalahan serius di negeri ini yang belum mampu diatasi. Di antara sekian banyak persoalan tersebut, terorisme adalah isu yang sampai sekarang masih menjadi isu utama di negeri ini.
Terorisme sebenarnya bukanlah permasalahan baru karena isu ini sudah ada di masa pascakemerdekaan, misalnya dalam bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bermaksud memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isu teror- isme ini, namun demikian, kembali mencuat sepuluh tahun terakhir. Era Reformasi yang mengusung semangat demokrasi dan kebebasan seolah memberi peluang baru bagi munculnya pandangan-pandangan yang dulu sempat terbungkam. Kondisi ini menimbulkan permasalah- an tersendiri karena seolah justru memperparah keadaan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Di satu sisi, bangsa kita harus terus bertahan di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang membanjiri masyarakat dengan ideologi dan nilai yang bermacam-ma- cam. Namun di sisi yang lain, soliditas Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara juga semakin berkurang.
Salah satu pandangan yang muncul kembali di era Reformasi ini adalah kaum radikal yang tegas menolak proses modernisasi dan pe- netrasi ideologi Barat. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap yang wajar dan sah-sah saja karena siapapun boleh menyikapi modernisasi dan globalisasi sesuai dengan pendapat mereka masing-masing. Na- mun demikian, satu hal yang menjadi persoalan serius dari munculnya pandangan semacam ini adalah terkait dengan cara mereka “berargu- men”, yaitu dengan menyebarkan teror. Terorisme kemudian menjadi satu kejahatan yang paling mengerikan, yang kini juga telah meresah- kan masyarakat di negeri ini. Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh pemerintah, tidak terkecuali pemerintahan SBY. Namun demi- kian, hingga saat ini terorisme masih saja menjadi isu serius.
AM. Hendropriyono mengatakan bahwa terorisme biasanya ber- akar pada penindasan dan ketidakadilan sosial, namun sekali ia mun- cul, ia memiliki karakter seperti Candrabirawa, yaitu karakter yang sela- lu mampu untuk timbul kembali setelah tenggelam. Terorisme selalu “patah tumbuh hilang berganti” sehingga selalu membayangi masya- rakat dengan bahaya dan kekejamannya (Hendropriyono, 2009: 8-9). Isu terorisme memang menjadi isu yang mutakhir saat ini. Terlepas da- ri apapun latar belakang pandangan yang ada di belakangnya, teror- isme tetaplah merupakan kejahatan yang mengerikan.
Sebagai sebuah perilaku manusia, kejahatan terorisme adalah satu hal yang dapat dinilai dari berbagai macam perspektif, termasuk juga dari frame filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel sebagaimana yang akan diuraikan pada tulisan ini. Filsafat Gabriel H. Marcel de- ngan demikian akan dipakai sebagai objek formal yang akan menjadi ‘pisau analisis’ bagi kejahatan terorisme di Indonesia, yang menjadi ob- jek material, khususnya berkaitan dengan kaum fundamentalis agama yang selama ini dianggap sebagai motor penggerak aksi teror yang di- lakukan. Analisis Marcel dengan demikian akan mencakup dua wila- yah sekaligus. Pertama, kejahatan teror itu sendiri, dan kedua, sikap pe- laku teror tersebut.
GAMBARAN SEKILAS TENTANG PEMIKIRAN ONTOLOGI DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME GABRIEL H. MARCEL
Gabriel H. Marcel (1889-1973) adalah seorang filsuf, yang seka- ligus menjadi seorang kritikus drama, penulis naskah, dan musisi. Ia dilahirkan dari seorang ibu penganut Yahudi, dan ayah penganut Katolik. Namun ia baru masuk Katolik secara sungguh-sungguh pada tahun 1929 setelah melakukan petualangan rohani cukup lama. Filsa- fatnya sering disebut dengan istilah “Eksistensialisme Kristen”. Na- mun ia sendiri menolak sebutan itu karena ia memang menolak sistematisasi dalam filsafat. Sebutan yang paling ia terima adalah “neo- sokratisme” karena ia menganggap bahwa sebutan tersebut sesuai dengan orang yang senantiasa mencari dan bertanya-tanya (Bertens, 2001: 64).
Metodologi filosofis yang dikembangkan oleh Marcel adalah unik, meskipun dalam beberapa hal menunjukkan kemiripan dengan metode eksistensialisme dan fenomenologi. Marcel menegaskan bah- wa filsafat harus dimulai dengan pengalaman kongkret, dan bukannya abstraksi. Oleh karenanya ia membuat contoh-contoh kongkret bagi ide-ide filosofis yang sedang ia selidiki. Pengalaman kongkret tersebut kemudian ia tarik ke tataran pemikiran, untuk kemudian diterapkan kembali pada pengalaman-pengalaman yang kongkret. Metodenya, dengan demikian bisa dirangkum sebagai metode yang “working…up from life to thought and then down from thought to life again, so that [one] may try to throw more light upon life” (Marcel, 1951: 41).
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, Marcel sendiri menolak sistematisasi dalam filsafat. Oleh karenanya, sulit untuk memahami pemikiran Marcel tersebut secara komprehensif. Meski demikian, ada beberapa terma atau istilah yang menjadi kata kunci dalam filsafat Marcel. Beberapa kata kunci dalam pemikiran Marcel tersebut, antara lain adalah sebagai berikut.
1. Ontological Exigence dan Broken World sebagai Titik Tolak Menuju “Ada”
Pandangan Marcel mengenai jalan menuju “Ada” ini bisa dijelas- kan demikian. Marcel menganggap bahwa eksistensi adalah lapangan pengalaman langsung, yaitu wilayah yang mendahului kesadaran. Eksistensi dengan kata lain adalah “taraf hidup begitu saja”, atau taraf hidup yang tanpa direfleksi. Manusia adalah subjek yang mempunyai kesadaran, tetapi manusia seringkali juga belum menyadari apakah arti eksistensi ini karena ia mendahului kesadaran. Agar dalam hidup di dunia ini manusia dapat mencapai arti sepenuh-penuhnya, maka orang perlu meninggalkan taraf prasadar tersebut dan menuju ke kesa- daran yang sungguh-sungguh. Maksudnya adalah ada semacam peru- bahan pemaknaan atas kehidupan, dari relasi yang semula hanya menganggap situasi yang dialami sebagai nasib kepada keadaan yang betul-betul diterima secara bebas dan sadar. “Ada” manusia dengan demikian ditentukan oleh kesadaran dan otonominya. Singkatnya, orang perlu merintis jalan dari eksistensi menuju “Ada” yang dapat di- tempuh melalui tiga fase, yaitu admiration (kekaguman), reflection (re- fleksi) dan exploration (eksplorasi) (Bertens, 2001: 66).
Pandangannya mengenai perlunya jalan menuju “Ada” ini mun- cul karena refleksinya atas kehidupan yang ia lihat di masa modern yang telah mengubah manusia menjadi commuters atau manusia yang hanya menjalani rutinitas. Menurut Marcel, dunia semacam itu adalah dunia yang rusak (broken world) dan manusianya adalah manusia yang tereduksi hanya sebagai manusia fungsional (functionalized man). Ma- nusia semacam inilah yang menurut Marcel kehilangan kesadarannya sebagaimana dimaksud di atas, atau dalam bahasa Marcel kehilangan ontological exigence.
“… with a sort of global and intuitive characterization of the man in whom the sense of the ontological—the sense of being, is lacking, or, to speak more correctly, the man who has lost awareness of this sense.” (Marcel, 1995: 9).
Menurut Marcel, apa yang menentukan manusia adalah urgensi- nya atas hal-hal yang sifatnya ontologis (Marcel, 1973: 34). Oleh karena- nya, “Ada” adalah sesuatu yang sangat diperlukan oleh manusia, yang bisa ditempuh melalui jalan refleksi terhadap pengalaman manusia menuju hal-hal yang sifatnya ontologis. Bagi Marcel, ontological exi- gence adalah urgensi yang melekat pada diri manusia dalam arti sesua- tu yang kodrati dan menjadi ciri khas manusia.
The [ontological] exigence is not reducible to some psychological state, mood, or attitude a person has; it is rather a movement of the human spirit that is inseparable from being human” (Keen, 1984: 105).
Ontological exigence tersebut selanjutnya membawa implikasi lain dalam pemikiran Marcel, yaitu perhatiannya pada hal-hal yang tran- senden. Menurut Marcel, pengalaman mengenai yang transenden sa- ngatlah penting karena dengan begitu dunia bisa menjadi bermakna (Marcel, 1951: 46). Gagasan mengenai pengalaman transenden ini sekaligus membawa kepada pemikiran Marcel mengenai pembedaan antara problem dan mystery.
2. Problem dan Mystery
Pembedaan antara problem dan mystery merupakan suatu tema yang dapat membuka bermacam-macam perspektif baru dalam filsafat Marcel. Dikatakan demikian karena kedua hal tersebut membawa implikasi kepada pemikiran Marcel yang lain. Problem adalah masalah yang diajukan kepada saya sebagai subjek, yang berasal dari luar diri saya, sehingga ia mempunyai konotasi “objektif”, dan saya sendiri sebagai subjek tidak terlibat di dalamnya. Berbeda halnya dengan mys- tery. Mystery tidak pernah diajukan kepada saya sebagai subjek secara objektif. Mystery tidak berada di depan atau di luar saya sebagai subjek, tetapi berada di dalam diri saya sebagai subjek, atau lebih tepat lagi saya sebagai subjek termasuk mystery itu. Suatu misteri melibatkan diri saya sebagai subjek. Bertanya tentang misteri serentak juga berarti ber- tanya tentang diri saya sendiri sebagai subjek. Beberapa contoh tentang mystery misalnya inkarnasi, kehadiran, kejahatan, cinta, serta penge- nalan dan teristimewa “Ada” (Bertens, 2001: 71). Lebih lanjut, kedua konsep tersebut bisa dihubungkan dengan pemikiran Marcel menge- nai “Being” (etre) dan “Having” (avoir). Problem diliputi suasana “mem- punyai” sedangkan mystery diliputi suasana “Ada”. Hal ini selanjutnya akan mengarah pada pandangan Marcel mengenai refleksi
3. Refleksi Pertama dan Refleksi Kedua (Primary Reflection and Secondary Reflection)
Sebagaimana dikemukakan di atas, permulaan filsafat, menurut Marcel, bukannya kesangsian seperti halya pada banyak filsuf modern, melainkan admiration yang mencakup keheranan maupun kekagum- an. Apabila dikaitkan dengan pemikirannya mengenai urgensi onto-
logis, maka admiration bisa dikatakan merupakan fase pertama bagi jalan menuju “Ada”. Admiration bisa dikatakan merupakan kesadaran akan adanya mystery, dan untuk menuju pada fase berikutnya, mystery tersebut perlu direfleksikan. Refleksi ini dibedakan menjadi dua, yaitu refleksi pertama dan refleksi kedua.
Refleksi pertama mempunyai ciri berikut: abstrak, analitis, universal, dan dapat diverifikasi.
Roughly, we can say that where primary reflection tends to dissolve the unity of experience which is first put before it, the function of secondary reflection is essentially recuperative; it reconquers that unity (Marcel, 1951: 83).
Refleksi ini cenderung memecahkan, mengkotak-kotakkan kesa- tuan pengalaman yang dihayati manusia. Refleksi ini menyelidiki, menganalisis pengalaman. Subjek dilepaskan dari situasi kongkretnya dan dengan demikian ditampilkan kerangka yang mati.
Refleksi kedua tidak mengobjekkan tetapi berlangsung berdasar- kan partisipasi atau bisa dikatakan juga berlangsung dalam suasana Recueillement (recollection). Refleksi kedua tidak berbicara tentang objek tetapi tentang kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pende- katan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Kiranya sudah jelas bahwa refleksi kedua ini berlangsung konteks “persona”. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai “Ada” yang sebenarnya, yang tetap tersembunyi “Pemikiran objektif”. Refleksi ini oleh karenanya merupakan sarana penting bagi filsafat. Tugas refleksi ini bukan untuk memecah-belah dan mencerai-beraikan kehidupan, tetapi sebaliknya membangun kembali secara terus-menerus jalinan kehidupan yang telah dicabik-cabik oleh analisis yang ceroboh. Jadi dengan kata lain, refleksi ini memperlakukan kehidupan sebagai bagian dari “Ada” (Bertens, 2001: 67). Dua refleksi di atas sebenarnya adalah bagian dari metode Marcel untuk menarik suatu pemikiran kongkret (refleksi I) dan kemudian mengembalikannya pada situasi kongkret (refleksi II). Melalui dua refleksi tersebut, sudah terbuka jalan bagi kontak baru dengan realitas yaitu fase yang disebut exploration. Pada fase ini kita mengakui bahwa kita menjadi bagian dari “Ada”, yang berarti bahwa saya menerima secara bebas realitas keberadaan kita termasuk juga diri kita sendiri.
4. Kehadiran
Menurut Gabriel H. Marcel, misteri “Ada“ tidak tampak dengan cara yang semestinya kalau tidak diselidiki dari sudut intersubjektivi- tas, dalam arti relasi antarmanusia. Sebagaimana ciri khas pandangan eksistensialis, “Ada“ selalu berarti “Ada Bersamanya“. Oleh karena- nya, untuk memahami pemikiran Marcel mengenai intersubjektivitas tersebut perlu dipahami satu konsep dalam pemikiran Marcel, yaitu “kehadiran“ (presense). Kata “hadir” dalam relasi intersubjektivitas di sini tidak berarti berada di tempat yang sama. Saya bisa saja berada dengan banyak orang lain dalam satu ruangan yang sama, tetapi itu belum berarti bahwa saya “hadir“ bagi mereka atau mereka bagi saya. Dua orang baru hadir yang satu bagi yang lain, bila mereka mengarah- kan diri yang satu kepada yang lain dengan cara yang sama sekali ber- lainan dari cara mereka menghadapi objek-objek. Kehadiran hanya da- pat diwujudkan jika “Aku“ berjumpa dengan “Engkau“ (Marcel, 1951: 76).
Marcel membedakan relasi “Aku–Engkau” dengan relasi “Aku– Ia“. Relasi “Aku–Ia“ adalah relasi yang menempatkan orang lain dalam aspek-aspek fungsionalnya, sedangkan relasi “Aku–Engkau“ adalah relasi yang menempatkan sesama sebagai sesama.
If I treat a ‘Thou’as a ‘He’, I reduce the other to being only nature; an animated object which works in some ways and not in others. If, on the contrary, I treat the other as ‘Thou’, I treat him and appre- hend him qua freedom. I apprehend him qua freedom because he is also freedom and not only nature (Marcel 1949: 106–107).
Kehadiran ini direalisasikan secara istimewa dalam cinta, yaitu ketika “Aku“ dan “Engkau“ mencapai taraf “Kita“. Kesatuan ontologis yang dicapai dalam “Kita“ melebihi dua orang yang dijumlahkan satu dengan yang lain. “Aku“ bukanlah satu bagian dan “Engkau“ bagian lain yang bersama-sama disambung menjadi “Kita“. Pada taraf “Kita“, “Aku“ dan “Engkau“ dianggap menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian. Timbullah communion atau kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. Communion ini boleh dianggap sebagai “Kehadiran“ dalam bentuk yang paling sempurna, dan di sini peralihan dari eksistensi ke “ Ada “ sudah selesai (Bertens, 2001: 76).
RELEVANSI FILSAFAT EKSISTENSIALISME
GABRIEL H. MARCEL DENGAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA
Telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa kejahatan teror- isme yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir ini bisa dianalisis dari perspektif ontologis dalam filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel. Apabila melihat keduanya, kejahatan terorisme di satu pihak dan pemikiran Marcel di pihak lain, memang ada banyak relevansi di antara keduanya. Artinya ada beberapa pemikiran Marcel yang sesuai atau bisa dipakai untuk menganalisis persoalan kejahatan terorisme yang terjadi di Indonesia.
Sebelum ini dilakukan, namun demikian kiranya ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, teror yang dimaksud adalah teror mela- lui peledakan bom bunuh diri. Objek analisis memang tindakan teror tersebut, namun titik berat analisis akan lebih pada pelaku bom bunuh diri itu sendiri. Maksudnya adalah demikian, sebagai bagian dari filsa- fat eksistensialisme, Marcel menekankan pembahasan filsafatnya pada perbuatan manusia kongkret, termasuk juga berkaitan dengan pan- dangannya mengenai “Ada”. Oleh karena itu, sasaran analisis dalam pembahasan ini pun pada tindakan kongkret dalam teror, yaitu pelaku bom bunuh diri. Kedua, sebagaimana dikemukakan oleh banyak pihak, aksi teror yang dilakukan selama ini dimotori oleh pandangan funda- mentalisme agama yang bercampur dengan kepentingan politik, baik untuk menentang modernisasi Barat maupun untuk mengajukan alter- natif ideologi yang baru. Penulis dalam hal ini, oleh karenanya, juga menggunakan asumsi di atas. Maksudnya, dalam menganalisis latar belakang kejahatan aksi teror, penulis juga menggunakan pandangan fundamentalisme agama sebagaimana yang pernah ditemukan pene- liti terdahulu.
1. Modernitas sebagai the Broken World
Menilik kembali pada pemikiran Marcel, objek kajian filsafatnya adalah pada perilaku manusia yang kongkret (ciri khas eksistensialis- me), dan dalam hal ini, kejahatan teror dengan cara bom bunuh diri adalah satu contoh perilaku kongkret manusia. Bahkan bisa dikatakan itu merupakan perilaku eksistensial karena si pelaku membuat kepu- tusan besar dan penting di dalam hidupnya. Berkaitan dengan pan- dangan Marcel mengenai the broken world, ia menganggap bahwa di dunia modern dan serba teknis seperti sekarang ini perilaku manusia tereduksi menjadi perilaku yang juga bersifat teknis, rutin, dan dengan demikian menjadi “dangkal”. Manusia tidak dikenali dari “Ada”nya tapi dari fungsi-fungsi yang ia miliki, misalnya sebagai pegawai bank X, sebagai ayahnya Y, sebagai penghuni rumah nomer Z, dan sebagai- nya. Artinya, dunia modern secara tidak disadari telah mengubah manusia yang secara esensial memiliki urgensi ontologis (ontological exigence) hanya menjadi “manusia yang terfungsionalisasi”. Keadaan ini, dalam pandangan Marcel, sebenarnya melemahkan, bahkan bisa menghilangkan urgensi ontologis manusia yang sebenarnya justru menjadi penentu manusia itu sendiri. Bisa dikatakan juga bahwa dalam dunia semacam ini tidak ada ruang bagi mystery maupun perso- alan mengenai yang transenden karena urgensi ontologis memang mati.
2. Fundamentalisme Beragama sebagai Ontological Exigence
Marcel menekankan bahwa manusia perlu keluar dari situasi ter- sebut karena apabila manusia menjalani dirinya sebagai “manusia yang terfungsionalisasi” ia hanya menjalani eksistensinya tanpa ber- usaha membangun kesadaran akan ketidaksadarannya itu. Fase perta- ma yang bisa dilakukan adalah admiration. Berkaitan dengan pelaku kejahatan teror, tindakan sebagaimana dimaksudkan oleh Marcel ter- sebut dijalankan dengan baik oleh si pelaku teror. Terlepas apakah lan- dasan spiritual itu berasal dari dirinya sendiri atau berasal dari hasil brain wash (cuci otak), yang jelas si pelaku masih menyisakan ruang yang cukup lebar bagi persoalan mengenai yang transenden, yang ber- arti juga ia memiliki ontological exigence yang kuat. Ia justru tidak terma-
suk dalam functionalized person karena ia masih memiliki mystery di da- lam hidupnya yang mungkin ia temukan jawabannya di dalam keya- kinan yang ia anut. Pada taraf ini bisa dikatakan bahwa pelaku teror sudah beranjak dari taraf eksistensial, yaitu “hidup apa adanya” dan mulai mengarah pada kesadaran mengenai dirinya karena keterbuka- annya atas urgensi ontologis tadi.
3. Simbol-simbol Agama sebagai Mystery
Marcel selanjutnya mengemukakan bahwa urgensi ontologis yang semakin menguat akan memberi ruang pada pengalaman me- ngenai yang transenden, dan ini sekaligus akan memberi ruang bagi munculnya mystery. Pada diri pelaku teror, hal ini bisa dijelaskan de- ngan cukup mudah karena ruang bagi pengalaman mengenai yang transenden adalah hal yang umum terjadi di dalam pemahaman ke- agamaan. Artinya, ketika ia mengarahkan urgensi ontologisnya kepa- da ajaran agama yang fundamental, pengalaman akan hal-hal yang transenden tersebut sekaligus ia dapatkan. Pandangan fundamental- isme agama pun kemudian menyajikan beberapa hal, yang dalam wak- tu yang tidak lama berubah menjadi mystery dalam diri pelaku teror tersebut. Tuhan, surga, neraka, jihad, dan berbagai misteri lainnya menghinggapi dirinya, dan sebagaimana dikatakan oleh Marcel, mys- tery ini tidak bisa dengan mudah dihilangkan begitu saja karena subjek sekaligus berada dalam mystery itu. Katakanlah, ketika seseorang men- jadi penganut agama X, maka ia akan terikat dengan hak dan kewajib- an yang melekat di dalam agama X tersebut. Sama halnya dengan yang terjadi dengan pelaku teror tersebut. Artinya, bahwa konsep-konsep yang ia dapatkan di dalam ajaran agama yang ia anut menjadi mystery bagi dirinya dan mau tidak mau ia sebagai subjek harus ikut terlibat di dalam mystery tersebut, dalam arti menghayati dan menjalaninya.
4. Merefleksikan Situasi Konkret: Refleksi I dan II
Pergumulan manusia dengan mystery adalah satu indikasi positif ke arah pencapaian mengenai “Ada”. Ia sekaligus memberi ruang bagi ontological exigence (satu hal yang sangat ditekankan dalam proses me- nuju “Ada”) dan ia sekaligus membuka diri bagi jalan refleksi, baik refleksi pertama yang sifatnya analitis, maupun refleksi kedua yang lebih bercorak filosofis. Kembali pada pelaku teror, refleksi pertama adalah berkaitan dengan cara ia mengkotak-kotakkan pengalaman yang ia miliki. Ini bisa dikatakan merupakan penyelidikan atas penga- laman karena pengalaman yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari ia tarik ke tataran pemikiran. Pada taraf ini ia akan menggabung-gabung- kan dan membanding-bandingkan pengalaman yang ia kumpulkan dengan (misalnya) ajaran-ajaran yang ia jumpai dalam keyakinan yang ia anut, dalam hal ini fundamentalisme agama. Ketika pengalaman ter- sebut sudah terkotakkan, dalam arti terklasifikasikan dan dapat dinilai dengan ajaran-ajaran yang ia dapatkan, maka fase selanjutnya adalah refleksi kedua.
Marcel mengatakan bahwa refleksi kedua berhubungan dengan kehadiran. Kehadiran ini merupakan sesuatu yang penting karena misteri “Ada” tidak tampak dengan cara yang semestinya jika tidak diselidiki dari sudut intersubjektivitas. Oleh karenanya, refleksi kedua juga berhubungan dengan relasi intersubjektivitas ini yang lebih bersi- fat dialogis, yaitu menghadapkan antara persona dengan persona. Apabila kita kembali pada persona pelaku teror, maka pada proses ini sebenarnya terjadi setidaknya dua hal: identifikasi relasi intersubjektif dan sekaligus recollecting hasil yang diperoleh pada refleksi I untuk disesuaikan atau diterapkan kembali pada pengalaman konkret.
5. Intersubjektivitas Pelaku-Korban: “Aku–Ia”
Bagi Marcel, “Ada” selalu berarti “Ada Bersamanya”. Artinya, ji- ka manusia ingin mencapai “Ada”, manusia selain memiliki kesadaran tentang “Ada”nya juga harus memiliki kesadaran juga tentang “Ada”- nya bersama “Ada”yang lain. Ketika persona-persona yang saling bere- lasi mampu mencapai hal tersebut maka tercapailah yang dinamakan “kehadiran”. “Kehadiran” namun demikian tidak selalu bisa dicapai dalam relasi intersubjektif manusia karena hal tersebut tergantung bagaimana manusia menempatkan manusia yang lain dalam relasi tersebut. Ketika manusia lain ditempatkan dalam posisi sebagai “Ia” maka ia hanya dianggap sebagai manusia yang dipandang secara fung- sional saja. Hal yang sama juga bisa kita jumpai di dalam diri pelaku
teror. Sebagai manusia (subjek) ia jelas menghadapi kenyataan bahwa ada manusia yang lain, yang memiliki pandangan yang berseberangan dengannya. Cara ia menjalin dengan manusia yang lain inilah yang menentukan keputusan mengenai “Adanya”. AM. Hendropriyono me- nyebutkan bahwa pelaku teror biasanya adalah orang yang kejam dan tidak menghargai manusia lain sebagaimana mestinya. Manusia lain hanya diposisikan sebagai “benda” yang bisa ia perlakukan dengan seenaknya melalui aksi teror yang ia lakukan tersebut. Hal ini dalam frame pemikiran Marcel merupakan satu contoh yang menunjukkan bahwa “kehadiran” tidak ikut serta dalam relasi intersubjektif yang dibangun oleh pelaku teror tersebut dengan orang lain. Alasannya sederhana, manusia lain adalah berbeda dari dirinya sehingga dengan kata lain pelaku teror ini hanya memandang manusia lain sebagai “Ia”, tidak sebagai “Engkau”.
6. “Engkau” Absolut dan Pencapaian “Ada”
“Engkau”nya pelaku teror ini adalah “Engkau” yang absolut yang ia jumpai dalam ajaran-ajaran yang ada di keyakinan yang ia anut. Itulah “Engkau”nya sehingga ketika pelaku teror sudah merasa- kan “kehadirannya” bisa dikatakan ia telah mencapai “Ada”nya, yaitu mencapai kesadaran penuh mengenai dirinya. Diri yang tidak lagi di- maknai sebagai nasib (eksistensial), tetapi sudah dimaknai dan diteri- ma secara sadar dan bebas, hingga akhirnya ia membuat satu keputus- an eksistensial: meledakkan bom bunuh diri demi “Engkau”nya.
Itulah gambaran singkat mengenai relevansi pemikiran ontologis Marcel dengan kejahatan teror yang akhir-akhir ini terjadi di negara kita. Satu kesimpulan yang bisa dirangkum di sini adalah bahwa di mata awam, meledakkan bom bunuh diri dan membunuh orang yang mungkin tidak berdosa adalah perbuatan biadab yang jauh dari nilai kemanusiaan. Namun apabila dilihat dari perspektif Marcel, terlepas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuatan), perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang manu- siawi karena “prosedur ” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal kepu- tusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil di akhir hidupnya. Berdasarkan uraian mengenai tahap-tahap di atas, tampaklah bahwa untuk mencapai “Ada” manusia harus me- nempuh tahapan atau fase-fase. Oleh karena itulah, manusia oleh Marcel disebut sebagai homo viator atau makhluk yang menjadi, karena memang ia mengalami beberapa fase atau tahapan untuk menuju pada “Ada” atau kehidupan yang dialami dan dijalani secara sadar, bebas, dan sepenuh hati.
SIMPULAN
Membahas pemikiran Gabriel H. Marcel, khususnya mengenai ontologi yang ia kembangkan, bukanlah persoalan yang mudah. Hal tersebut sangatlah sulit dilakukan karena filsafatnya yang tidak sis- tematis menimbulkan kesulitan tersendiri ketika mencoba melakukan klasifikasi atas pemikirannya. Marcel, selain itu juga menggunakan terma-terma dalam metafisika (misalnya “Ada”) dengan pemaknaan yang sangat berbeda. Ciri khas eksistensialismenya bagaimanapun tetap terlihat karena ia menempatkan “Ada” tersebut juga dalam kate- gori manusia.
Berkaitan dengan analisis atas perilaku terorisme di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme, khususnya yang dilakukan dengan bom bunuh diri, adalah perilaku yang secara ontologis meru- pakan bagian dari upaya yang dipilih manusia untuk mencapai “Ada”, yang juga menyangkut pertemuan antara “Aku” dan “Engkau”. Proses pertimbangan yang terjadi di dalam diri pelaku teror adalah bagian dari proses “menjadi”nya, (homo viator) dan kesemuanya itu dapat dije- laskan dalam perspektif filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel. Terle- pas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuat- an), dalam perspektif Marcel, perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang “manusiawi” karena “prosedur” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal keputusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Cetakan Ke-3, Gra- media Pustaka Utama, Jakarta.
Hendropriyono, AM., 2009, Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Keen, Sam, 1984. “The Development of the Idea of Being,” in Schilpp and Hahn (eds.)
Marcel, Gabriel H., 1949, Being and Having, Translated by Katharine Farrer, Dacre Press, Westminster, UK.
________________, 1951, The Mystery of Being, Vol.1, Reflection and Mys- tery, Translated by G. S. Fraser, The Harvill Press, London.
___________________, 1973, Tragic Wisdom and Beyond, Translated by Stephen Jolin and Peter McCormick, Publication of the Northwestern University Studies in Phenomenology and Existential Philosophy, ed. John Wild. Evanston, Northwestern University Press, IL.
___________________, 1995, The Philosophy of Existentialism, Translated by Manya Harari, Carol Publishing Group, New York.