KOMUNIKASI PEMIMPIN ALA SBY
Pada tahun 2012, perbincangan tentang status keistimewaan Yogyakarta menjadi perbincangan hangat di media massa. Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan diterbitkan di media cetak, jika tidak salah di Solopos, untuk ikut meramaikan diskusi tentang isu tersebut. Namun sayang, oleh karena satu dan lain hal, arsipnya tidak ketemu. Jika ada pembaca yang bisa menemukan tautan untuk artikel ini, saya akan sangat terbantu.
Presiden SBY kembali menjadi pembicaraan di berbagai media. Pidatonya dalam pembukaan rapat kabinet (26/11) yang kemudian diklarifikasi pada hari Kamis (2/12) lalu telah mengundang polemik di kalangan masyarakat. Sebagaimana dilansir di beberapa media, pernyataan presiden SBY pada rapat kabinet tersebut sangat disayangkan oleh berbagai kalangan karena SBY dianggap tidak mengetahui substansi dari keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya sudah diatur di dalam konstitusi (UUD ’45). Menanggapi reaksi publik yang tidak terduga itu, presiden SBY pun menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi pidato yang dianggapnya telah disalah-pahami oleh masyarakat. Banyak hal yang ia sampaikan sehingga pidatonya menjadi agak tidak jelas. Bahkan apa yang ia sampaikan terkesan hanya merupakan retorika yang berbau apologi karena semua yang dikeluhkan oleh publik, ia klarifikasi semuanya. Tentang aspek sejarah, pasal 18 UUD ’45, solidaritasnya terhadap bencana Merapi, sikap hormatnya atas Sultan dan PakuAlam, dan masih banyak lagi. Banyak pihak yang kemudian menilai klarifikasi SBY ini merupakan strategi pencitraan karena ia tampak seperti berusaha meraih kembali simpati publik, terutama dari masyarakat Yogyakarta, setelah pidatonya mengundang kontroversi di berbagai media.
Terlepas dari materi yang disampaikan di dalam klarifikasinya tersebut ada beberapa kelemahan yang sebenarnya bisa kita amati di dalam kebiasaan komunikasi atau pidato yang dilakukan oleh SBY. Pertama, dibandingkan dengan orang-orang yang pernah menjabat sebagai presiden RI, SBY terkesan terlalu sering berbicara di hadapan publik sehingga seringkali ia sendiri justru kerepotan menanggapi reaksi publik akibat pidato-pidatonya yang kontroversial. Hal ini sebenarnya sangat disayangkan karena di antara orang-orang yang menjadi stafnya, sudah ada orang yang ditunjuk sebagai juru bicaranya, yaitu Julian Aldrin Pasha. Semestinya, SBY menyerahkan sebagian besar fungsi penerangannya tersebut kepada juru bicaranya, sehingga ketika mungkin ada kesalahan ucap (sliped tangue), hal itu tidak sampai berpengaruh terhadap kredibilitasnya sebagai kepala negara.
Kedua, SBY juga sering berbicara out of context atau terkadang tidak memperhatikan konteks. Misalnya menyertakan isu A dalam pidatonya mengenai B. Hal ini tentu juga menjadi masalah karena persoalan yang kecil bisa menjadi persoalan yang besar akibat dari penyebaran “prematur” dari satu isu, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Ketiga, entah disengaja atau tidak, hampir semua pidato yang dikemukakan SBY, selalu disiarkan secara live di berbagai media elektronik. Hal ini sangat potensial menimbulkan polemik karena ketika disiarkan di media massa, sebagian besar masyarakat tidak akan menyadari konteks di mana pidato tersebut disampaikan. Akibatnya, yang menjadi fokus perhatian hanya materi pidatonya. Akan sangat berbahaya jika materi pidatonya tersebut adalah persoalan yang sensitif, dan hal ini pula yang sebenarnya memicu polemik di media massa akhir-akhir ini.
Apabila presiden SBY masih menginginkan kepercayaan publik, kelemahan di atas tentu perlu diatasi karena hal itu tidak hanya mengurangi kredibilitasnya sebagai kepala negara, tetapi juga merugikan kepentingan politik yang ia miliki. Presiden SBY perlu ‘memperbaiki’ gaya komunikasi yang selama ini dilakukan sehingga kedudukannya sebagai kepala negara tidak tereduksi oleh kontroversi yang ia munculkan sendiri.
Sabda Pandhita Ratu
Terkait dengan komunikasi seorang pemimpin, ada satu petuah luhur yang pernah dikemukakan oleh Raja Surakarta Hadiningrat, yaitu Pakubuwana IV, yang dituliskan ke dalam sebuah serat yang diberi nama Wulangreh.Beliau sudah memberi rambu-rambu kepada setiap manusia, khususnya para pemimpin agar tidak memiliki watak adiguna, yaitu watak seorang manusia yang mengandalkan kata-katanya (seperti ular yang mengandalkan bisa-nya). Pemimpin yang demikian ini tidak akan mendapatkan keluhuran, tetapi justru akan mati sampyoh karena pada akhirnya ia tidak akan memperoleh kebaikan dari sifatnya tersebut, dan justru keburukan yang akan ia dapatkan. Ajaran luhur ini tentu bisa menjadi bahan refleksi bagi para pemimpin kita agar tidak terjebak di dalam kesulitan yang ditimbulkan oleh kata-katanya sendiri.Seorang pemimpin adalah sosok yang menjadi panutan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karenanya perkataan yang dikemukakan tidak hanya dimaknai sekedar kata-kata, tetapi lebih dari itu. Perkataannya bisa saja menjadi hukum, yang tentu saja membawa implikasi yang sangat besar terhadap kekuasaan yang ia miliki. Karenanya seorang pemimpin haruslah berhati-hati dalam memilih kata. Di dalam ajaran filsafat kepemimpinan Jawa, hal ini sering disebut dengan sabda pandhita ratu, dan sebenarnya patut disayangkan apabila pemimpin negeri ini tidak menyadari akan hal ini. Ajaran mengenai sabda pandhita ratu secara garis besar berarti bahwa perkataan seorang pemimpin adalah ibarat ucapan pandhita yang selalu manjur, dalam arti ucapannya selalu memiliki efek yang mendalam. Oleh karenanya kata-kata seorang pemimpin tan kena wola wali atau tidak boleh plin-plan. Untuk menghindari hal ini, maka pemimpin seharusnya lebih banyak diam namun diam yang penuh strategi. Ia hanya berkomentar ketika sangat dibutuhkan, dan komentarnya adalah komentar yang menunjukkan sikap finalatau prinsipnya atas masalah yang sedang dihadapi. Inilah yang seharusnya menjadi gaya komunikasi seorang pemimpin, dan bukannya mengobral pidatoyang tidak jelas substansinya.