MEMPELAJARI ANATOMI BENCANA MERAPI
Ketika Gunung Merapi yang berlokasi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah bergejolak sekitar tahun 2011/2012, penulis ikut membahas permasalahan bencana tersebut. Artikel ini dimuat di rubrik Gagasan di Harian Solopos, tetapi tahun persisnya tidak ingat.
Sudah seminggu lebih Merapi meletus, namun hingga sekarang belum juga muncul tanda-tanda penurunan aktivitasnya. Bahkan jumlah korban jiwa justru semakin bertambah seiring meningkatnya letusan gunung teraktif di dunia ini. Berdasarkan pemberitaan yang dilansir oleh beberapa media massa, sebagian besar korban jiwa dalam letusan Merapi adalah penduduk yang tidak mematuhi himbauan pemerintah dan lembaga terkait dengan perintah evakuasi. Hal ini tentu menjadi persoalan karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ternyata masyarakat tidak memiliki kesadaran mengenai ancaman dan bahaya Merapi.
“Anatomi” bencana Merapi
Sesuai dengan World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang, bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Terkait dengan letusan Merapi tahun 2010 ini, maka faktor bahaya adalah ancaman Merapi itu sendiri, dan faktor kerentanan adalah kesiapan atau daya tahan masyarakat di lereng Merapi terhadap bahaya gunung tersebut.
Sesuai dengan realitas yang bisa kita lihat bersama, tampak bahwa ternyata letusan Merapi telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ini berarti bahwa letusan Merapi memang telah menjadi bencana, dan pangkal persoalannya pun cukup jelas, yaitu faktor kerentanan (vulnerability), dalam hal ini adalah masyarakat yang kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya dari gunung tersebut.
Ada setidaknya dua faktor yang menjadi penyebab kerentanan atau ketidaksiapan masyarakat di sekitar lereng Merapi. Pertama, ada kearifan lokal yang bercorak mitis (mitos) di kalangan masyarakat lereng Merapi bahwa Merapi dan penduduk merupakan satu kesatuan, sehingga muncul keyakinan bahwa Merapi tidak akan melukai penduduk sekitarnya. Keyakinan ini dikuatkan dengan hadirnya tokoh seperti Mbah Maridjan yang dianggap memiliki peran “istimewa”, yaitu sebagai penjaga hubungan penduduk dengan Merapi. Kedua, masyarakat melupakan sejarah letusan Merapi di masa lalu, sehingga mereka pada umumnya tidak menyadari atau menganggap enteng bahaya letusan Merapi. Dua faktor di atas berujung pada satu sikap yaitu keyakinan bahwa letusan Merapi tidak akan seburuk seperti yang diperkirakan, sehingga sejumlah penduduk pun tetap bertahan di rumah mereka meskipun pemerintah sudah menghimbau untuk mengungsi. Sikap inilah yang menjadi faktor kerentanan (vulnerability) dalam bencana Merapi, dan hal ini terbukti dari banyaknya jumlah korban yang meninggal di dalam rumah karena tidak mematuhi himbauan evakuasi.
Dari “mitos” ke “logos”
Untuk menghindari kejadian yang sama di masa yang akan datang, faktor kerentanan manusia ini perlu di atasi, dan kuncinya adalah mitos yang berkembang di masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas. Mitos memang tidak selamanya salah karena mitos memberikan cara pandang yang lebih arif terhadap lingkungan. Namun, akan menjadi persoalan apabila mitos digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan keputusan penting seperti di dalam letusan Merapi ini. Oleh karenanya, masyarakat seharusnya perlu sedikit membuka diri terhadap “logos”, dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang bisa menjelaskan banyak hal tentang Merapi dengan cara yang bisa dimengerti oleh rasio.
Sejak awal, Dr. Surono (kepala PVMBG) telah mengemukakan temuan ilmiah mengenai peningkatan aktivitas Merapi. Dan perhitungan yang dilakukan juga selalu bisa diandalkan. Oleh karenanya, dalam rangka mengurangi faktor kerentanan, masyarakat seharusnya memperhatikan pertimbangan ilmiah tersebut, khususnya terkait dengan himbauan untuk proses evakuasi. Namun sayangnya, masyarakat terlalu menganggap remeh bahaya Merapi sehingga faktor kerentanan tersebut bukannya teratasi tetapi justru semakin membesar, yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa.
Mengubah pandangan masyarakatBertolak dari persoalan di atas, peristiwa meletusnya Gunung Merapi yang terhitung dahsyat ini perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi dan refleksi, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di lereng Merapi. Sebagai solusi jangka panjang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama,harus dibangun kesadaran mengenai bahaya (hazard) Merapi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bung Karno pernah berpesan “Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah), oleh karenanya peristiwa letusan tahun ini harus diingat dan diceritakan kepada generasi berikut sehingga kesadaran akan bahaya Merapi tetap ada di ingatan masyarakat. Kedua, masyarakat juga perlu melakukan perubahan cara pikir. Yaitu dengan membiasakan diri menerima penjelasan dan pertimbangan ilmiah karena dalam banyak hal pertimbangan ilmiah bisa memberikan penjelasan yang lebih masuk akal. Pertimbangan ilmiah bersifat empiris-rasionalis, dan bukan spekulatif sehingga masih bisa diandalkan untuk “mengawal” objek alamiah, seperti Merapi. Kedua upaya di atas akan membantu mengatasi faktor kerentanan di pihak manusia. Sehingga ketika di waktu yang akan datang bahaya (hazard) kembali mengancam, masyarakat bisa menghadapinya dengan kerentanan (vulnerability) yang minimum sehingga peristiwa alam tidak perlu menjadi bencana. Semoga.