11 Nov

DEMOKRASI ALA MILLENIAL INDONESIA

Demonstrasi di Era Millenial

Sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia tidak pernah dapat dilepaskan dari peran generasi muda. Terjadinya proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dan bergulirnya era Reformasi tahun 1998 selalu melibatkan peran pemuda. Begitu pula dengan peristiwa demonstrasi UU Cipta Kerja atau omnibus law yang sedang hangat menghiasi media massa belakangan ini. Untuk ke sekian kalinya generasi muda turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang mereka anggap sudah tidak lagi didengar oleh para wakil rakyat.

Kesediaan anak muda untuk ikut menyampaikan aspirasi mereka dengan cara demonstrasi ini dalam beberapa aspek dapat dianggap sebagai hal yang positif di dalam pelaksanaan demokrasi. Demonstrasi menjadi salah satu indikasi bahwa proses demokrasi berjalan dengan baik. Aspirasi rakyat dapat disampaikan di muka publik dan dapat didengar oleh representasi mereka di lembaga perwakilan.

Sebagaimana wajarnya di dalam negara demokrasi, fenomena ini tentu ditanggapi secara berbeda-beda. Ada pihak yang mengapresiasi, namun tentu saja ada pihak yang mengkritik dan tidak setuju. Terlebih ketika demonstrasi yang dilakukan kemudian dikotori dengan perilaku anarkis yang merusak fasilitas umum. Wajar kemudian jika muncul beragam reaksi penolakan terhadap demonstrasi anarkis ini. Begitu juga dengan komentar-komentar para politisi yang kemudian memandang negatif pelaksanaan demonstrasi yang dilakukan oleh kaum muda, atau yang populer disebut dengan generasi millenial ini. Bergulirlah kemudian pernyataan bahwa generasi millenial dianggap hanya bisa berdemo dan kurang berkontribusi bagi persoalan negeri ini. Pernyataan yang menyerang generasi millenial ini adalah pernyataan yang sangat berisiko, terlebih di dalam konteks politik. Ada beberapa alasan. Pertama, generasi millenial Indonesia memiliki populasi yang dapat dibilang tidak sedikit. Laman setkab.go.id melansir survei BPS yang dilakukan pada tahun 2018. Survei ini mencatat generasi millenial Indonesia sejumlah 90 juta orang. Angka ini jelas menjadi modal politik yang sangat besar. Membidik generasi millenial karenanya merupakan keuntungan yang besar dalam politik. Sebaliknya, ‘menyerang’ generasi millenial juga hal yang sangat berisiko. Alasan kedua, generasi millenial adalah generasi yang memiliki karakter khas. Generasi ini lahir ketika komputer, internet, dan segala atributnya sudah hadir di hadapan mereka. Mereka berpikiran terbuka, terbiasa menerima informasi dari bermacam sumber, dan media sosial adalah teman mereka sehari-hari. Generasi ini membagikan keluh kesah, gaya hidup, kebahagiaan mereka di media sosial, yang tidak jarang menjadi viral. Ketika viral, maka opini pun berkembang. Opini generasi millenial bisa saja berkembang menjadi opini masyarakat lintas generasi. Risiko ini harus disadari oleh siapa pun yang bergelut di dunia politik.

Rakyat Millenial

Demokrasi menjadi sistem politik yang populer dan dianut oleh banyak negara karena sistem politik ini memberikan rakyat kedaulatan di dalam jalannya pemerintahan. Abraham Lincoln menyebutnya dengan istilah sederhana, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Peraturan dibuat oleh rakyat, dijalankan oleh rakyat, diawasi oleh rakyat, tentunya melalui orang-orang yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Terlepas dari representatif dan tidaknya orang-orang yang duduk di lembaga perwakilan, demokrasi membuka peluang bagi setiap rakyat untuk berperan dalam berbagai bentuk.

Rakyat adalah aktor utama di dalam negara demokrasi. Suara dari satu orang adalah hal yang penting dan harus dihargai. Tidak peduli apakah suara itu berasal dari golongan usia lanjut, atau dari golongan millenial, semuanya penting. Semuanya harus didengarkan. Peristiwa demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan pasca disahkannya UU Cipta Kerja ini sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia dan merupakan mekanisme yang wajar di dalam negara demokrasi. Demonstrasi adalah wujud dari penyampaian secara terbuka pendapat rakyat kepada pemerintah, ketika rakyat menilai bahwa aspirasinya tidak lagi didengar oleh para wakilnya di pemerintahan. Begitu pun halnya dengan rangkaian demonstrasi yang terjadi selama pengesahan UU Cipta Kerja. Rakyat menilai bahwa aspirasi rakyat tidak didengarkan, sehingga dipakailah penyampaian pendapat secara terbuka dalam bentuk demonstrasi. Ini adalah proses yang wajar di dalam demokrasi.

Oleh karena setiap suara sangat penting di dalam negara demokrasi, maka suara generasi millenial Indonesia juga seharusnya tidak dipandang sebelah mata. Selain karena generasi millenial adalah bagian dari rakyat, generasi millenial juga menjadi modal politik yang penting mengingat jumlah dan perilaku mereka yang dekat dengan media informasi. Abad ke-21 adalah abad informasi. Baudrillard seorang filsuf kenamaan Perancis sudah memperingatkan bahwa informasi selalu lekat dengan tiga hal, representasi, simulasi, dan manipulasi. Oleh karenanya, siapa pun yang menguasai sumber-sumber informasi akan memiliki peluang yang besar untuk mempengaruhi opini publik, termasuk opini politik. Generasi millenial sangat dekat dan bahkan akrab dengan teknologi informasi. Tiktok, instagram, Youtube adalah platform yang mereka gunakan setiap hari. Di platform ini konten berkembang dengan sangat cepat, berdatangan bagaikan tsunami informasi yang tak bisa dibendung. Memilih jalan politik yang melawan arus generasi millenial jelas merupakan tindakan yang berisiko. Kebencian, ketidaksukaan dan berbagai sentimen lain akan viral dan dalam sekejap mempengaruhi opini publik dalam skala yang lebih luas.

Generasi Potensial

Hampir satu dekade lalu, generasi millenial terbukti memegang peran yang besar di dalam proses pemilihan kepala daerah di sejumlah provinsi di Indonesia. Sebagai contoh terpilihnya Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 silam. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pasangan Jokowi – Ahok dalam memenangkan Pilkada DKI Jakarta salah satunya disebabkan karena pendekatan yang dilakukan di media media sosial, pop culture, dan juga game. Ketiganya adalah dunia yang dekat dengan generasi millenial. Pendekatan yang relatif sama juga dijalankan di dalam Kabinet Kerja II yang memasukkan beberapa kalangan millenial di dalam staf khusus kepresidenan. Disadari atau tidak, upaya-upaya semacam ini membuat kalangan generasi millenial ikut merasa memiliki dan ikut berkontribusi di dalam jalannya pemerintahan.Generasi millenial harus dirangkul. Pemerintah sudah memberikan langkah yang bagus dengan memasukkan kalangan generasi millenial pada beberapa jabatan penting di lingkatan eksekutif. Citra dan niat baik ini harus terus dijaga agar perasaan ikut memiliki juga terus terjaga. Banyak penelitian telah menunjukkan potensi besar yang dimiliki oleh generasi millenial ini di berbagai bidang kehidupan. Salah satunya dalam bidang politik. Mereka adalah pemilih pemula yang potensial. Energi dan semangat mereka masih besar. Optimisme mereka adalah kekuatan. Tantang mereka dengan pertanyaan: apa yang bisa kalian berikan untuk bangsa dan negaramu?

18 Jun

METAFISIKA INFORMASI DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN JEAN BAUDRILLARD: KONTEKSTUALISASINYA DENGAN PERTAUTAN MEDIA DAN POLITIK DI INDONESIA

Apakah informasi itu? Apakah setiap informasi selalu mengandung kebenaran? Apakah informasi sama dengan pengetahuan? Apakah ada informasi yang salah? Bingung kan?

Di era teknologi sekarang ini banyak sekali berita-berita berseliweran di berbagai media. Tidak jarang, kita main share berita yang kita dapatkan begitu saja. Kalau beritanya mengandung kebenaran sih masih mending. Tapi kalau ternyata beritanya menyesatkan, trus gimana dong?

Informasi oleh sebagian orang di sekitar kita diidentikkan dengan kebenaran. Padahal di era teknologi informasi seperti ini, informasi dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan penciptanya. Kebenaran pun menjadi kriteria nomor sekian. Berbahaya karenanya jika pemahaman ini tidak diluruskan.

Tulisan metafisika informasi ini pernah dipublikasikan di Jurnal Filsafat Vol. 27, No. 2 Tahun 2017. Tautan langsung untuk mengakses tulisan ini adalah sebagai berikut:

https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/32804

Selamat membaca, dan ditunggu feedbacknya ya…

Abstrak

Abad ke-21 adalah abadnya informasi. Informasi tersebar lewat koran, majalah, televisi; dan ketika internet sudah berkembang sedemikian pesat, informasi juga tersebar dengan sangat masif lewat internet. Artikel ini ditulis karena dua alasan. Pertama, masyarakat kadang masih menganggap informasi identik dengan kebenaran. Kedua, metafisika informasi ini penting untuk dikaji jika dikaitkan dengan fenomena pertautan media dan politik di Indonesia. Artikel ini menganalisis metafisika informasi dengan ‘membongkar’ struktur informasi yang merujuk pada pemikiran Jean Baudrillard. Bagi Baudrillard, informasi adalah komoditas; dengan kata lain, ia adalah sesuatu yang dikonsumsi oleh masyarakat. Ketika informasi menjadi komoditas maka produksi informasi adalah sebuah peluang. Bagi Baudrillard, di balik fenomena informasi sebenarnya terdapat tiga unsur sekaligus, yaitu representasi, manipulasi, dan simulasi. Ketiga unsur di atas, saling mempengaruhi. Informasi sesungguhnya merupakan hasil dari proses representasi, yaitu proses menghadirkan kembali realitas dan kemudian mentransmisikan representasi realitas tadi kepada orang lain. Manipulasi juga menjadi unsur penting dalam informasi. Menurut Baudrillard, unsur simulasi dalam informasi ini masih erat berhubungan dengan unsur yang pertama, yaitu representasi. Baudrillard mengatakan bahwa dalam simulasi, informasi akan diaktualisasi, artinya akan didramatisasi dengan cara spektakuler, namun sekaligus dijauhkan dari komunikasi, dan direduksi menjadi tanda.

PENDAHULUAN

Abad ke-21 adalah abad informasi. Hikmat Budiman dalam bukunya Lubang Hitam Kebudayaan, mengemukakan bahwa dunia manusia sekarang ini adalah dunia yang penuh dengan huru hara, tetapi tanpa rasa haru (Budiman, 2002: 27). Informasi datang bertubi- tubi, silih berganti dalam kehidupan manusia. Ia tersebar lewat koran, majalah, televisi; dan ketika internet sudah berkembang sedemikian pesat, informasi juga tersebar dengan sangat masif lewat internet. Portal berita onlinesocial media seperti FacebookTwitterInstagram; maupun layanan pesan-pesan instan seperti Whatsapp dan Line, adalah rumah bagi informasi tentang apa pun, dan dari siapa pun. Inilah ke-huru-hara-an itu. Informasi datang silih berganti, berita tentang kejahatan datang bergantian dengan berita tentang politik, perceraian artis, bencana banjir, gempa bumi, pemilihan presiden AS, launching iPhone terbaru, yang kemudian disisipi dengan iklan komersial tentang susu, rokok, jajanan anak, pembalut wanita, properti, dan lain sebagainya. Timeline di social media Twitter misalnya, dalam hitungan menit saja, update beritanya sudah mencapai ratusan. Masifnya perkembangan informasi ini membuat manusia ‘kebingungan’ sehingga keharuan atau kedalaman pemahaman menjadi absen ketika mencerna informasi-informasi yang datang silih berganti. Bagaimana mau sedih ketika melihat informasi tentang bencana banjir, kalau satu menit kemudian tersaji berita tentang selebriti idaman? Bagaimana akan merasakan haru menyaksikan informasi tentang kejahatan kalau dalam sekejap kemudian berganti dengan iklan promo diskon besar-besaran produk idaman? Informasi datang bertubi-tubi, tapi tidak ada penghayatan yang berarti.

Artikel ini menjadi penting untuk dikaji setidaknya karena dua alasan. Alasan pertama, dan yang bagi penulis adalah yang paling penting, yaitu bahwa masyarakat kadang masih menganggap informasi identik dengan kebenaran. Bahwa setiap informasi yang tersaji, pasti mengandung kebenaran. Hal ini dapat dilihat dengan mudah ketika memantau Newsfeed dalam layanan social media, misalnya Facebook. Sering dijumpai, seorang teman di Facebook dengan mudahnya membagi informasi yang ia baca dari portal berita online tertentu. Padahal kredibilitas portal berita tersebut di dalam menyajikan informasi tentunya masih perlu dipertanyakan. Bahaya dari hal ini adalah ketika informasi yang disebarkan, yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan tadi, kemudian mengundang provokasi satu pihak untuk merugikan pihak tertentu. Tentu akan sangat mengerikan. Dengan demikian, ide bahwa informasi identik dengan kebenaran adalah ide yang sudah ‘usang’ dan perlu ditelaah kembali. Kebenaran tidak lagi menjadi prinsip pertama dalam informasi.

Tahun 2014 yang lalu, Kemkominfo Republik Indonesia merilis hasil riset yang dilakukan tentang jumlah pengguna internet di Indonesia. Riset tersebut menemukan bahwa 82 juta orang Indonesia sudah melek internet. Angka tersebut menempatkan Indonesia pada urutan ke-8 dunia. Dari angka tersebut, 80%-nya adalah remaja usia 15-19 tahun. Menariknya, dalam hal penggunaan Facebook, Indonesia adalah peringkat ke-4 dunia.

Riset ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah akrab dengan internet. Setiap hari, masyarakat membaca berita di internet, mencari informasi di Google, mencari data di Academia.edu ketika menyusun makalah, dan sebagainya. Bahkan, terkadang dijumpai fenomena ketika tenaga pendidik ‘terpaksa’ mencari jawaban di Google saat mendapati pertanyaan yang sulit dari muridnya tentang satu hal. Memang perilaku-perilaku seperti ini tidak sepenuhnya salah. Internet dengan berbagai macam kemudahannya sudah membuat hidup menjadi lebih layak untuk dihidupi bagi sebagian orang. Namun, satu hal yang mengerikan adalah apabila masih ada yang beranggapan bahwa internet adalah satu-satunya pusat informasi dan sumber kebenaran yang paling absah.

Alasan keduabagi penulis, kajian tentang metafisika informasi ini menjadi penting untuk ditelaah apabila dikaitkan dengan fenomena pertautan media dan politik di Indonesia, khususnya di era reformasi. Sejak era Reformasi bergulir, media massa memang menjadi kekuatan baru dalam demokrasi di Indonesia. Media-media baru bermunculan, dan berusaha menyajikan informasi tentang apa pun kepada masyarakat. Media massa, di era reformasi, tidak hanya menjadi alat penerangan masyarakat, tetapi bahkan menjadi sebuah industri besar yang memproduksi dan bahkan mereproduksi informasi-informasi kepada masyarakat. Pada proses inilah peluang terjadinya pertautan antara media dan politik tersebut muncul. Bukti untuk menguatkan hal ini cukup jelas, misalnya dengan melihat beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia yang dengan sangat gencarnya membanjiri masyarakat dengan informasi tentang sepak terjang salah satu partai, yang belakangan diketahui ternyata partai itu dimiliki oleh pemilik stasiun swasta. Pada proses ini, media menjadi alat partai politik untuk membentuk opini masyarakat, dengan tujuan menggalang dukungan masyarakat terhadap partai politik tersebut. Melihat realitas tersebut, media massa, sebagai salah satu pihak yang memproduksi informasi, dengan demikian menjadi pihak yang paling penting untuk dikritisi keberadaannya melalui kajian metafisika informasi ini.

Inilah dua pertimbangan yang melatarbelakangi penulisan artikel ini. Artikel ini akan mencoba menganalisis metafisika informasi melalui ‘pembongkaran’ struktur informasi dengan merujuk pada pemikiran salah satu filsuf kontemporer Prancis, yaitu Jean Baudrillard. Harus diakui, pemikiran Baudrillard memang mampu memberikan perspektif baru tentang bagaimana menafsirkan kembali relasi manusia dengan dunia. Tampaknya, untuk beberapa tahun ke depan, pemikirannya juga masih akan terus menjadi rujukan. Artikel ini akan mencoba mengetengahkan pandangan Baudrillard tentang informasi dari perspektif spesifik yaitu metafisika yang kemudian akan dikaitkan dengan fenomena pertautan media dan kekuasaan di Indonesia. Metafisika dipilih sebagai sudut pandang dalam artikel ini karena metafisika adalah cabang filsafat yang mengatasi pengalaman empiris manusia. Metafisika menjadi bidang yang paling dasar dan menjadi inti dari studi filsafat (Soeprapto, 1994: 22). Melalui pengkajian informasi dalam perspektif metafisika ini, harapannya ditemukan pemahaman yang fundamental tentang hakikat informasi dan struktur dasar yang melingkupinya.

APA ITU INFORMASI?

Apa yang terbersit dalam pikiran ketika mendengar kata informasi? Mayoritas mungkin akan mengatakan berita. Sebagian yang lain mengatakan koran, surat kabar, atau tayangan televisi. Sebagian lainnya mungkin mengatakan kebenaran. Tidak dapat dipungkiri memang, sebagian orang mengatakan bahwa informasi identik dengan kebenaran. Paling tidak, itulah persepsi yang menyelinap dalam pemahaman masyarakat awam (the man on the street). Memang ada banyak persepsi yang akan muncul ketika mendengar kata informasi. Jawaban yang terakhir di atas, namun demikian, kiranya perlu untuk ditelaah lebih mendalam. Apakah benar informasi identik dengan kebenaran? Apakah informasi benar-benar merepresentasikan realitas pada keadaannya secara apa adanya?

Ada satu hal yang jelas tentang informasi, yaitu bahwa kata ‘informasi’ bukanlah kata yang asing di telinga masyarakat. Di hampir setiap instansi pemerintah, selalu ada meja kecil yang di atasnya terdapat tulisan kecil dengan dibungkus mika: INFORMASI. Di sinilah orang bisa bertemu dengan pegawai khusus yang siap sedia menjawab berbagai pertanyaan dari pengunjung. Hal yang sama bisa juga dengan mudah ditemukan di mall, toko buku, dan pusat perbelanjaan lainnya. Di sekolah, di kampus, juga sering tersedia papan dengan tempelan kertas-kertas lusuh yang mulai luntur dengan tulisan: PAPAN INFORMASI. Negara Indonesia bahkan memiliki kementerian khusus yang mengurusi informasi. Undang- undang tentang informasi juga ada. Apakah sesungguhnya yang dinamakan dengan informasi itu? Apakah informasi sama dengan berita? Ataukah berbeda? Apakah informasi identik dengan kebenaran?

Secara etimologis, istilah informasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “informare” yang terdiri atas dua kata, yaitu “in” yang berarti “ke dalam” dan “forma” yang berarti “membentuk”. Berdasarkan penelusuran etimologis tersebut, informasi dapat diartikan sebagai sebuah proses, dan bukan sebagai kata benda. Informasi adalah proses pembentukan pemahaman dalam akal budi manusia (mind). Makna ini, dalam bahasa Inggris, dekat dengan istilah “a forming of the mind”.

Secara terminologi, ada berbagai pemahaman tentang informasi pada saat ini. Kata ‘informasi’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki tiga arti: 1) penerangan; 2) pemberitahuan; dan 3) keseluruhan makna yang menunjang amanat yang terlihat dalam bagian-bagian amanat itu. Dari ketiga makna informasi tersebut, khususnya mengacu pada makna pertama dan kedua, dapat diketahui bahwa kedatangan informasi terhadap seseorang, menimbulkan dampak tertentu pada diri orang tersebut. Semula tidak terang, menjadi lebih terang tentang satu hal. Semula belum tahu, kemudian menjadi tahu ketika sudah menerima informasi. Makna ini, namun demikian akan berujung pada persoalan epistemologi yang pelik: apakah ketika seseorang menjadi lebih tahu setelah menerima informasi itu, sama artinya dengan mengatakan bahwa informasi itu selalu mengandung kebenaran? Jika pernyataan ini dibantah, tentu ada masalah baru, karena itu sama halnya mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak selalu mengandung kebenaran. Artikel ini, namun demikian tidak akan membahas itu secara detail karena bahasan artikel ini adalah metafisika, bukan epistemologi.

Kiranya Pembaca akan setuju bahwa arti ‘informasi’ yang disajikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas, kurang memadai untuk menjadi titik tolak analisis metafisik dalam artikel ini. Oleh karena itu, artikel ini akan menguraikan bahasan yang lebih memadai tentang informasi, yaitu tulisan Fred Dretske, yang berjudul “The Metaphysics of Information” (2016). Menurut Dretske, informasi secara esensial memiliki tiga properti, yaitu pertama, ia terarah pada sesuatu; kedua, ia berkaitan dengan kebenaran; ketiga, ia dapat ditransmisikan atau dipindahkan (Dretske, 2016: 274). Maksud dari keterarahan dalam informasi adalah bahwa informasi selalu mengarah pada sesuatu. Informasi selalu ‘tentang’ sesuatu. Information is always information about something. If it isn’t about anything, it isn’t information (Dretske, 2016: 274). Sebuah mobil, bukanlah sebuah informasi. Tapi sebagai sebuah benda, mobil bisa saja ‘membawa’ informasi, misalnya tentang mesinnya atau tentang material penyusunnya. Berkaitan dengan kebenaran, Dretske menganggap bahwa informasi pasti mengandung kebenaran. Not only must information be about something, what it says about what it is about, must be true for it to count as information. If it isn’t true, it isn’t information (Dretske, 2016: 276). Pandangan ini tentu harus ditempatkan pada tataran normatif, bahwa informasi memang ‘seharusnya’ mengandung kebenaran. Jika tidak ditempatkan pada ranah normatif, maka pandangan ini tentu saja masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, ide yang menyamakan informasi dengan kebenaran sebenarnya sudah ‘usang’.

Ide ini sudah diruntuhkan oleh gerakan posmodern yang meruntuhkan narasi-narasi besar salah satunya tentang kebenaran. Ciri ketiga dari informasi menurut Dretske adalah bahwa informasi itu bisa dipindahkan, bisa disebarkan, melalui berbagai sarana. Kabel telepon, surat kabar, internet, portal berita online, semuanya adalah sarana bagi pemindahan dan atau penyebaran informasi. Doede Nauta, Jr. dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Information (1972) memberikan perspektif yang lain tentang informasi. Pertama, menurut Nauta, informasi tersusun atas kebaruan- kebaruan. Itulah mengapa informasi disebut dengan ‘news’Information is a news; what is known already is no information. So, something is information to the extent that is unknown, unexpected, surprising, or improbable (Nauta, 1972: 19). Kedua, informasi adalah sebuah proses. The whole process is enacted on a playing field which essentially lies between randomness (chaos or ‘mere chance’) and determinism (black and white fixation of eventualities) (Nauta, 1972: 19). Berdasarkan analisis yang dikemukakan oleh Doede Nauta tersebut, tidak terlihat keterkaitan informasi dengan kebenaran. Nauta justru mengemukakan bahwa informasi sangat berhubungan erat dengan probabilitas (Nauta, 1972: 18). Nauta, dengan menyebut probabilitas, secara tidak langsung mengatakan bahwa informasi bisa jadi mengandung kebenaran, tetapi bisa jadi juga tidak. Kebaruanlah yang lebih penting dalam informasi, dan bukannya kebenaran.

METAFISIKA: UPAYA MEMBONGKAR STRUKTUR REALITAS

Metafisika adalah kajian filsafat yang sangat tua. Usianya dapat dikatakan setua dengan usia filsafat itu sendiri. Bukti dari pernyataan ini dapat dilihat dengan mudah dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, yaitu ketika para filsuf berusaha mencari arkhe atau prinsip pertama dari segala sesuatu. Ketika Thales mengatakan bahwa arkhe itu adalah air; Herakleitos mengatakan api; dan Pythagoras mengatakan bilangan, yang mereka lakukan sebenarnya sedang bermetafisika dan membangun satu pemikiran metafisika karena para filsuf tersebut berusaha menemukan ‘yang tetap’ di antara segala ‘yang berubah’. Sebagai kajian yang tidak lagi muda, tentu ada banyak perkembangan dan mungkin juga perubahan dalam metafisika. Salah satu perkembangan yang dapat dilihat dalam metafisika adalah tentang arti dari istilah metafisika itu sendiri.

Secara etimologis, istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ta meta ta physica”. Perkataan tersebut terdiri atas dua kata pokok, yakni “meta” yang berarti “sesudah” dan “physikos” yang berarti “bersangkutan dengan alam”, atau “physis” yang berarti “alam”. Berdasarkan bentukan dua kata tersebut, metafisika bisa diartikan sebagai “sesudah fisika” atau “di belakang realitas fisik” (Mudhofir, 2001: 236; Siswanto, 2004: 2). Secara historis istilah metafisika sangat lekat dengan Aristoteles, meskipun sebenarnya kajian metafisika dalam filsafat sudah dilakukan oleh para filsuf sebelum Aristoteles. Joko Siswanto menjelaskan bahwa lekatnya istilah metafisika dengan Aristoteles salah satunya disebabkan karena Aristoteles adalah filsuf yang pertama kali memperkenalkan persoalan metafisika secara sistematis. Aristoteles, selain itu juga memperkenalkan bahasa-bahasa teknis dalam metafisika yang hingga sekarang masih digunakan, misalnya seperti kategori, substansi, aksidensi, dan sebagainya (Siswanto, 2004: 4).

Sekarang, metafisika dipahami secara berbeda-beda oleh para filsuf. Aristoteles, semula memberikan pengertian terhadap istilah metafisika yaitu sebagai cabang filsafat yang mengkaji yang-ada sebagai yang-ada (being qua being). Menurut sudut pandang ini, untuk mengkaji satu hal dari sudut pandang metafisika, harus terlebih dahulu disepakati bahwa hal tersebut termasuk dalam yang-ada (being).

Frederick Sontag, memahami metafisika sebagai filsafat pokok yang menelaah prinsip pertama atau the first principle. Menurut perspektif Sontag, kajian metafisika atas satu persoalan berarti mencari prinsip pertama dalam persoalan tersebut. Kajian ini, meskipun tidak bisa diidentikkan dengan penyelidikan tentang arkhe di masa Yunani Kuno, tapi corak penyelidikannya memiliki kesamaan. Mengkaji metafisika moral, berarti mengkaji prinsip pertama dalam moral; metafisika ekonomi, berarti mengkaji prinsip pertama dalam ekonomi; metafisika informasi, berarti mencari prinsip pertama dalam informasi. Satu definisi yang hampir sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Sontag di atas, adalah definisi yang dikemukakan oleh Van Peursen. Sebagaimana dikutip oleh Joko Siswanto (2004: 7), van Peursen mendefinisikan metafisika sebagai cabang filsafat yang mengkaji persoalan mengenai akar terdalam dari segala yang ada. Pemikiran Peursen mengenai metafisika tersebut bisa dikatakan merupakan gabungan dari batasan yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Frederick Sontag karena “akar terdalam” yang dimaksudkan oleh van Peursen di atas, mengakomodasi “prinsip pertama” yang dimaksudkan oleh Sontag, sedangkan penegasan mengenai yang-ada sebagai objek material metafisika, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Aristoteles, juga ditegaskan oleh Van Peursen dalam definisi yang ia kemukakan tersebut.

Anton Bakker, memiliki pandangan yang berbeda tentang metafisika. Metafisika adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum (Bakker, 1992: 16). Struktur tersebut digelar dan diselidiki dengan berpijak pada delapan persoalan, yaitu (1) otonomi dan korelasi; (2) sifat-sifat pengada; (3) dinamika pengada; (4) kejasmanian dan kerohanian; (5) kegiatan dan penyebaban; (6) arti dan nilai pengada; (7) norma pengada; serta (8) tiada.

Menutup pembahasan tentang metafisika, artikel ini akan mencoba merumuskan satu catatan penyimpul. Jika metafisika dalam sejarahnya dipahami secara berbeda-beda, lalu metafisika yang menjadi ‘pisau’ analisis dalam artikel ini mendefinisikan metafisika seperti apa? Guna menjawab pertanyaan ini, artikel ini akan mengutip pandangan Joko Siswanto, yang nantinya akan menjadi pijakan analisis terhadap metafisika informasi. Menurut Joko Siswanto, objek material metafisika adalah ‘yang-ada’ (Siswanto, 2004: 7). Artinya, cakupan kajian metafisika sangat luas dan terbuka. Sejauh ia masuk dalam ‘yang ada’ maka ia bisa dikaji dari sudut pandang metafisika, termasuk juga informasi. Objek material tersebut, kemudian akan dikaji dari objek formal metafisika, yaitu diselidiki noumenon dari kenyataan. Yang-ada, sebagai objek material ditempatkan sebagai gejala atau phaenomenon, yang kemudian dicari realitas terdalamnya. Realitas terdalam ini, menurut Anton Bakker adalah struktur yang berlaku mutlak dan umum; menurut Sontag dan Van Peursen adalah prinsip pertama; dan menurut Joko Siswanto adalah noumenon.Artikel ini dengan demikian bermaksud menyelidiki struktur terdalam dari fenomena atau gejala dalam kehidupan sehari-hari manusia, yaitu informasi, dengan tujuan menemukan prinsip pertama, noumenon, realitas terdalam yang ada di dalamnya.

JEAN BAUDRILLARD: SELAYANG PANDANG

Jean Baudrillard bukanlah nama yang baru dalam kajian filsafat. Namanya selalu menjadi referensi berbagai kajian tentang kapitalisme lanjut, post-Marxisme, posmodernisme, media massa, iklan, tayangan televisi, semiotika kontemporer, dan berbagai macam kajian budaya pop mutakhir. Jean Baudrillard lahir di Reims pada tanggal 20 Juni 1929. Ada beberapa catatan terkait dengan kehidupan akademiknya. Ia pernah belajar di Universitas Sorbonne di Paris. Pada tahun 1966 Baudrillard berhasil menyelesaikan studi Ph. D-nya dengan karya yang berjudul Le Systeme des Objets. Tahun 1966-1972 ia bekerja sebagai asisten profesor. Pada tahun 1972 ia menjadi profesor dan mulai mengajar sosiologi di Universite de Paris-X Nanterre (Azwar, 2014: 39).

Beberapa filsuf besar tercatat mempengaruhi pemikirannya, antara lain Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Levi-Strauss, Althusser, George Bataille, Marel Mauss, Henri Lefebvre, J. Lacan, Roger Caillois, Gilles Deleuze, dan Marshall McLuhan (Imam Aziz (Ed.), 2001: 2).Melihat beberapa nama filsuf yang memengaruhi pemikirannya tersebut, dapat diketahui betapa luasnya lingkup pemikiran Baudrillard.

Jean Baudrillard dikenal sebagai tokoh yang bergelut dalam bidang filsafat, sosiologi, cultural studies, dan komentator politik. Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang fotografer. Minatnya tentang budaya populer membuat Baudrillard selalu menjadi rujukan bagi kajian-kajian yang membahas tentang persoalan informasi dan budaya pop. Beberapa konsep kunci dari Jean Baudrillard ini antara lain adalah manipulasi tanda, logika konsumsi, simulasi, simulacra, representasi, dan hiperrealitas. Konsep-konsep kunci tersebut merupakan hasil analisis Baudrillard atas fenomena yang mengemuka di masyarakat pada eranya, yang sebenarnya sangat dipengaruhi oleh ide Marxisme tentang bagaimana kapitalisme berusaha mengajukan ‘kebutuhan-kebutuhan’ baru kepada masyarakat.

Tentang manipulasi tanda, Baudrillard berpendapat bahwa penataan tanda adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dalam mengarahkan masyarakat kepada pola konsumsi tertentu (Baudrillard, 1970: 30). Tanda-tanda, dengan kata lain diciptakan sedemikian rupa untuk menggiring masyarakat pada pola konsumsi tertentu. Proses manipulasi tanda-tanda ini dapat dilihat dengan mudah pada produksi iklan yang secara sengaja mengajukan ‘realitas’ baru kepada masyarakat. Juga lewat tayangan berbagai opera sabun di televisi. Ketika Microsoft merilis sistem operasi Windows 8, iklan tentang piranti lunak terbaru tersebut menghiasi media masa. Tagline yang diusung pada waktu itu adalah: Work and Play, Together. Tentu saja tagline ini dibumbui dengan berbagai tayangan animasi yang berusaha menunjukkan bahwa dengan Windows 8, orang benar- benar akan mengalami itu: Work and Play, Together. Contoh lain dapat dilihat dari tayangan iklan ponsel Samsung yang memiliki fitur split screen. Pada iklan tersebut, direpresentasikan satu ‘realitas’ bahwa dengan ponsel itu, pengguna bisa bekerja sambil menyaksikan video lewat aplikasi YouTube. Orang, dengan menggunakan ponsel tersebut bisa bekerja, sekaligus menonton video favorit mereka. Sekilas, hal ini masuk akal dan terdengar sangat menjanjikan. Pada praktiknya, bekerja sambil bermain itu satu situasi yang menyakitkan. Di satu sisi permainan tidak bisa dinikmati; dan di sisi yang lain pekerjaan tak kunjung selesai. Bagaimana Baudrillard menjelaskan hal ini?

Bagi Baudrillard, dalam iklan, dan tentunya dalam berbagai tayangan lain di media, yang terjadi adalah proses simulasi. Simulasi menurut Baudrillard ini, secara sederhana dijelaskan oleh Haryatmoko sebagai proses representasi atas suatu objek yang justru kemudian berubah menggantikan objek itu sendiri (Haryatmoko, 2016: 80). Yang terjadi kemudian adalah, representasi menjadi lebih penting dari objek yang berusaha direpresentasikan. Iklan kecantikan misalnya, mulanya sebenarnya ingin merepresentasikan realitas bahwa “sebagian wanita yang cantik memiliki kulit putih dan rambut lurus”. Realitas ini kemudian direpresentasikan dalam bentuk baliho yang dipajang di perempatan-perempatan jalan. Apa yang sesungguhnya terjadi pada fenomena tersebut adalah proses simulasi karena ketika masyarakat melihat iklan tersebut, bukanlah realitas bahwa “sebagian wanita yang cantik memiliki kulit putih dan rambut lurus” yang ditangkap, tetapi justru “wanita yang cantik berkulit putih dan berambut lurus”. Pada tahap ini, simulasi telah menciptakan realitas yang baru, realitas yang dilebih-lebihkan, itulah yang dinamakan hiperrealitas. Hiperrealitas terbentuk karena adanya simulasi-simulasi, dan simulasi ini pada akhirnya tidak lagi merepresentasikan realitas lagi. Apa yang ia representasikan menjadi tidak jelas. Pada tahap ini simulasi sudah menjadi simulacrum. Baudrillard mensinyalir bahwa zamannya, adalah era simulasi yang dimulai dengan menghapuskan acuan-acuan dalam semiotika (memanipulasi tanda-tanda, hipersemiotika) (Baudrillard, 1981: 11). Proses ini hingga sekarang masih dapat diamati: pelantikan lurah di wilayah kumuh, Donald Trump tidak mau menerima gajinya sebagai presiden AS, blusukan para calon gubernur DKI Jakarta, dan iklan- iklan yang menghiasi berbagai media. Simulacrum ada di mana-mana. Di Instagram, Facebook, Twitter, dan juga di dalam informasi.

METAFISIKA INFORMASI

Informasi adalah fenomena atau gejala yang menampakkan diri dalam kehidupan manusia. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan bahkan setiap detik, informasi datang kepada manusia secara masif

dan bertubi-tubi. Membahas informasi dari perspektif metafisika, berarti membahas informasi dalam kedudukannya sebagai fenomena, yang kemudian ditelaah guna menemukan noumenon dari informasi tersebut (Siswanto, 2004: 7). Analisis metafisik atas informasi dalam artikel ini selanjutnya akan menggunakan sudut pandang pemikiran Anton Bakker. Ada tiga aspek atau dimensi metafisika informasi yang akan dibahas pada bagian ini, yaitu (1) otonomi dan korelasi, atau persoalan kuantitas realitas; (2) kejasmanian dan kerohanian atau persoalan kualitas realitas; dan (3) norma pengada. Uraian lebih rinci tentang telaah metafisik atas informasi tersebut selanjutnya dapat dilihat pada pembagian subbab berikut ini.

1. Otonomi dan Korelasi: Pluralitas dalam Informasi

Menurut Bakker persoalan tentang otonomi dan korelasi merupakan pertanyaan ontologis paling fundamental karena jawaban atas pertanyaan tersebut menentukan sudut pandang pertama mengenai kenyataan secara keseluruhan, dan sekaligus memberikan arah utama bagi seluruh ontologi (Bakker, 1992: 25). Secara umum, pertanyaan yang harus dijawab pada aspek ini adalah: apakah realitas terdalam itu tunggal atau jamak? Pertanyaan tersebut menyangkut dua macam aspek, yaitu aspek ekstensif yang berhubungan dengan pertanyaan; apakah keseluruhan kenyataan tunggal atau majemuk?, serta aspek komprehensif yang berhubungan dengan pertanyaan; apakah keseluruhan kenyataan seragam atau bermacam ragam? (Bakker, 1992: 25). Mempertanyakan aspek otonomi dan korelasi dalam informasi, dengan kata lain ingin menanyakan, apakah realitas terdalam dalam informasi bersifat tunggal atau plural?

Tema tentang informasi adalah salah satu tema yang menjadi perhatian Baudrillard dalam filsafatnya. Perlu diingat bahwa Baudrillard membangun filsafatnya dengan berpijak pada tesis-tesis Neo-Marxisme. Hal ini berimplikasi pada pembahasan Baudrillard tentang informasi. Membicarakan informasi, dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang perilaku konsumsi dan kapitalisme. Bagi Baudrillard, informasi adalah komoditas; dengan kata lain, ia adalah sesuatu yang dikonsumsi oleh masyarakat. Logika sederhana ini kemudian berujung pada hukum ekonomi yang terkenal: di mana ada permintaan, maka di situ ada penawaran. Ketika informasi menjadi komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan, maka produksi informasi adalah sebuah peluang.

Bagi Baudrillard, di balik fenomena informasi sebenarnya terdapat tiga unsur sekaligus, yaitu representasi, manipulasi, dan simulasi. Ketiga unsur di atas, ternyata saling mempengaruhi, dalam artian ada korelasi di antara ketiga unsur tersebut. Penjelasannya kira-kira akan dijelaskan pada paragraf berikutnya.

Terkait dengan unsur representasi, bagi Baudrillard, informasi sesungguhnya merupakan hasil dari proses representasi. Maksud dari representasi di sini adalah proses menghadirkan kembali realitas dan kemudian mentransmisikan representasi realitas tadi kepada orang lain. Medianya bermacam- macam, bisa foto, media massa, video, iklan, koran, dan sebagainya. Karena informasi adalah proses representasi realitas, oleh karenanya sebagaimana dikemukakan oleh Dretske,information is always information about something. Informasi selalu berkaitan dengan ‘sesuatu’, yaitu objek yang berusaha direpresentasikan. Pada tahap ini, kiranya tesis Dretske menjadi masuk akal, yaitu bahwa informasi memang seharusnya mengandung kebenaran karena informasi sebisa mungkin merepresentasikan realitas, dan kemudian mentransmisikan informasi tersebut kepada orang lain apa adanya, sesuai dengan kondisi sebenar-benarnya di realitas. Jika aksi para demonstran memang membuat taman menjadi rusak, maka informasi harus membawa kebenaran itu, dan kemudian mentransmisikannya kepada orang lain tanpa reduksi. Namun demikian, menurut Baudrillard, yang terjadi sekarang tidaklah demikian. Ketika informasi telah menjadi komoditas, yang terjadi tidak hanya sekedar representasi. Pembahasan ini mengantarkan pada pembahasan unsur yang kedua, yaitu simulasi.

Simulasi adalah salah satu ide utama dari Baudrillard dan menurut Baudrillard, unsur simulasi dalam informasi ini masih erat berhubungan dengan unsur yang pertama, yaitu representasi. Simulasi adalah representasi atas suatu objek yang justru berubah menggantikan objek itu sendiri. Simulasi ini juga dapat ditemukan dalam informasi, bahkan informasi adalah simulasi itu sendiri. Mengapa demikian? Ambil satu contoh: peristiwa demonstrasi tanggal 4 November 2016. Demonstrasi itu sendiri sebenarnya bukanlah informasi. Tetapi demonstrasi ini menjadi informasi manakala media melihat peristiwa tersebut, meliputnya, mengambil gambarnya, dan kemudian mentransmisikan ‘tanda-tanda’ di dalamnya kepada masyarakat melalui sebuah segmen media massa: Kabar Terkini. Melalui berita tersebut, industri media berusaha merepresentasikan satu objek, dalam hal ini demonstrasi.

Pada ranah ideal normatif, maka apa yang dikemukakan oleh Dretske tidak salah, bahwa informasi harusnya mengandung kebenaran. Jika informasi itu tidak mengandung kebenaran, misalnya Kabar Terkini memberitakan bahwa dalam demonstrasi tersebut terjadi ledakan bom; padahal nyatanya tidak, maka menurut Dretske itu bukanlah informasi. Di sinilah kelemahan Dretske. Jika setiap informasi harus mengandung kebenaran, maka berita yang dimuat di surat kabar mayoritas adalah kebohongan, karena pembaca dan bahkan redaksinya tidak pernah mengetahui benar tidaknya berita yang dimuat di surat kabar tersebut. Jika media massa ketika menyajikan informasi harus bisa meyakinkan bahwa informasi yang mereka bawa itu benar, bisa jadi banyak media akan gulung tikar. Inilah mengapa ide yang menyamakan informasi dengan kebenaran menjadi usang.

Baudrillard memiliki pandangan yang jauh berbeda. Dalam simulasi, orang tidak lagi bisa membedakan apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak. Bukan karena orang tidak lagi peduli dengan kebenaran tetapi lebih karena informasi sebagai simulasi memang bukan lagi masalah meniru atau membuat duplikat dari suatu objek, yakni peristiwa, tetapi masalah menggantikan tanda-tanda riil yang kemudian diperlakukan seakan sebagai yang riil itu sendiri (Baudrillard, 1981: 11). Simulacrum pada akhirnya tidak akan lagi bisa ditukar dengan realitas, tetapi saling menukar dengan dirinya sendiri, dalam satu lingkaran tak terputus yang tidak membutuhkan acuan (Baudrillard: 1981: 16).

Satu unsur terakhir yang perlu dibicarakan terkait dengan persoalan metafisika otonomi dan korelasi dalam informasi ini adalah manipulasi. Harus diakui bahwa dalam proses simulasi terjadi manipulasi. Baudrillard menyebutnya dengan manipulasi tanda-tanda. Manipulasi ini juga menjadi unsur penting dalam informasi. Baudrillard mengatakan bahwa dalam simulasi, informasi akan diaktualisasi, artinya akan didramatisasi dengan cara spektakuler, namun sekaligus dijauhkan dari komunikasi, dan direduksi menjadi tanda (Haryatmoko, 2016: 66). Manipulasi tanda dalam informasi ini dapat dilihat dari bagaimana sebuah media meliput satu peristiwa dan memberitakan peristiwa tersebut kepada masyarakat. Kembali pada peristiwa demonstrasi tadi, ketika kamera media menyorot api yang menyala-nyala, maka terjadi manipulasi tanda, dramatisasi atas peristiwa tersebut sehingga yang terbangun adalah ‘realitas’ bahwa demonstrasinya berakhir ricuh. Padahal nyatanya, bisa jadi yang dibakar adalah sampah yang berserakan. Pelaku demonstrasi membakar sampah justru sebagai bentuk tanggung jawab mereka atas lingkungan. Tapi lagi-lagi, dalam simulacrum manusia tidak lagi bisa membedakan mana yang riil dan yang tidak. Realitas nyatanya sudah dilebih-lebihkan, menjadi hiperrealitas dan ia justru menjadi realitas kedua yang menggantikan realitas yang sesungguhnya. Informasi tidak lagi berkaitan dengan kebenaran.

Menutup pembahasan tentang otonomi dan korelasi ini, artikel ini ingin menegaskan bahwa metafisika informasi dalam pandangan Baudrillard bercorak pluralistik, yaitu bahwa informasi sebagai realitas memiliki tiga unsur terdalam, yaitu representasi, simulasi, dan manipulasi. Ketiganya saling berhubungan, sehingga dinamakan ber-korelasi. Saling mendukung satu dengan yang lain.

2. Materialitas informasi

Persoalan fundamental lain dalam metafisika, yang juga perlu dicari jawabannya adalah persoalan kejasmanian dan kerohanian realitas, dalam hal ini informasi. Metafisika juga berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan; apakah keseluruhan kenyataan bersifat jasmani atau rohani? (Bakker, 1992: 103). Dalam konteks ini, maka bahasan ini akan berusaha menjawab pertanyaan, apakah unsur terdalam informasi dalam pandangan Baudrillard berdimensi material atau spiritual?

Guna menjawab pertanyaan ini, perlu dilihat kembali basis pemikiran Baudrillard, yang tentu tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Marxisme. Menurut Baudrillard, manipulasi tanda melalui representasi dan simulasi terjadi karena adanya hasrat untuk mengonsumsi. Hasrat ini muncul demi pengakuan sosial, yaitu karena diingini oleh orang lain, dan bukan karena kebutuhan. Sebagai contoh, orang membeli handphone dengan fitur 4G LTE karena umumnya handphone orang-orang sudah 4G LTE. Orang membeli tas Hermes seharga milyaran rupiah demi pengakuan sosial, bahwa ia bisa membeli barang yang orang lain tidak bisa membelinya. Nilai guna barang bukan ada pada bendanya, tetapi hasil dari konstruksi masyarakat atas barang tersebut. Konstruksi itu terjadi melalui manipulasi tanda-tanda, simulasi, dan representasi, lewat iklan, tayangan berita selebritis, dan lain sebagainya.

Melihat latar belakang pemikiran Baudrillard yang sangat dipengaruhi oleh neo-Marxisme di atas, dapat dilihat corak materialisme historis dalam pandangan Baudrillard. Baudrillard tampaknya sepakat dengan Marx bahwa di eranya, bahkan hasrat untuk mengonsumsi itu, ternyata masih menjadi penentu gerak sejarah. Sejarah ternyata dijalankan oleh upaya-upaya manusia memenuhi kebutuhan ekonomi dan pada akhirnya tereduksi menjadi kepentingan material saja. Melihat basis pemikiran Baudrillard di atas, dapat disimpulkan bahwa informasi, sebagai komoditas konsumsi masyarakat, menurut Baudrillard berdimensi material.

3.

tampaknya sepakat dengan Marx bahwa di eranya, bahkan hasrat untuk mengonsumsi itu, ternyata masih menjadi penentu gerak sejarah. Sejarah ternyata dijalankan oleh upaya-upaya manusia memenuhi kebutuhan ekonomi dan pada akhirnya tereduksi menjadi kepentingan material saja. Melihat basis pemikiran Baudrillard di atas, dapat disimpulkan bahwa informasi, sebagai komoditas konsumsi masyarakat, menurut Baudrillard berdimensi material.

3. Hasrat Mengonsumsi sebagai Norma Ontologis Transendental

Pertanyaan ketiga yang akan dijawab dalam metafisika informasi ini adalah pertanyaan tentang norma ontologis transendental. Pertanyaan ini harus dijawab sebagai implikasi atas temuan yang pertama, yaitu tentang corak metafisika yang pluralistik. Ketika realitas terdalam informasi bersifat plural, yaitu memiliki unsur representasi, simulasi, dan manipulasi, maka dalam sudut pandang metafisika juga harus bisa dijelaskan norma apa yang mengikat ketiganya sehingga ber-korelasi satu sama lain?

Representasi, simulasi, dan manipulasi, adalah tiga kata kunci dalam pemikiran Baudrillard tentang informasi. Tiga aspek tersebut memang saling mempengaruhi satu sama lain, namun demikian, ketiga aspek ini terikat ke dalam satu kesatuan bukannya tanpa alasan. Ada satu aspek fundamental yang menjadi pengikat atau menjadi norma yang mengatasi ketiga aspek tersebut. Norma ontologis transendental ini dapat dilacak dari akar pemikiran yang mempengaruhi Jean Baudrillard, yaitu Neo Marxisme. Menurut Baudrillard, munculnya simulasi dan manipulasi, dalam merepresentasikan suatu peristiwa menjadi sebuah informasi, tidak lain karena adanya ‘hasrat untuk mengonsumsi’ yang berlebihan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bagi Baudrillard, informasi adalah komoditas; dengan kata lain, ia adalah sesuatu yang dikonsumsi oleh masyarakat. Logika sederhana ini kemudian berujung pada hukum ekonomi yang terkenal: di mana ada permintaan, maka di situ ada penawaran. Ketika informasi menjadi komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan, maka produksi informasi adalah sebuah peluang. Hasrat mengonsumsi inilah yang menjadi faktor penggerak utama munculnya representasi, simulasi, dan manipulasi. Manipulasi, representasi, dan simulasi ada pada informasi, tidak lain karena adanya hasrat untuk mengonsumsi tersebut. Hasrat ini dijaga lewat iklan-iklan, yang kemudian melahirkan kebutuhan-kebutuhan baru di masyarakat. Hasrat mengonsumsi, dengan kata lain menjadi norma ontologis transendental yang mengatasi semua aspek dalam informasi.

REPRESENTASI, MANIPULASI, DAN SIMULASI DALAM PERTAUTAN INFORMASI DAN POLITIK DI INDONESIA

Representasi, simulasi, dan manipulasi dalam informasi ini, sering sekali muncul dalam pertautan media dan kekuasaan di Indonesia. Partai politik A menggunakan media B untuk memproduksi informasi; sedangkan partai politik B menggunakan media A untuk memproduksi informasi. Idealnya, keduanya mengarah pada satu tujuan yang sama yaitu berusaha merepresentasikan satu realitas kepada masyarakat. Hanya saja, dalam proses representasi tersebut, sering terjadi manipulasi atas realitas yang direpresentasikan, sehingga representasi itu justru berubah menjadi simulasi, yang menggantikan realitas yang sebenarnya. Fenomena seperti ini, adalah fenomena yang biasa muncul dalam dunia politik Indonesia, khususnya pasca-reformasi, terlebih pada masa pemilihan presiden tahun 2014 silam.

Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, Indonesia mengalami perkembangan demokrasi yang luar biasa pesatnya. Salah satu perkembangan tersebut adalah berupa munculnya berbagai produk hukum, di antaranya adalah Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang seolah memberikan ‘harapan baru’ dalam dunia pers Indonesia. Pada era Orde Baru, media massa diawasi secara ketat oleh pemerintah. Kritik-kritik media massa terhadap kebijakan pemerintah, tidak jarang, berujung pada sanksi pembredelan. Akibatnya, kebebasan pers di era Orde Baru tampak seperti kebebasan yang semu. Media massa secara langsung maupun tidak langsung, dikontrol oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Ketika era Orde Baru berakhir, dan berganti dengan era Reformasi, media massa yang pada era Orde Baru semula diawasi, dibredel, dan dikontrol secara ketat, di era reformasi bagaikan banteng yang lepas dari kandangnya. Perubahan ini tidak lain terjadi karena diterbitkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini, ibarat ‘dokumen sakti’ yang kemudian membuat pers di Indonesia semakin berkembang, dan bebas. Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 ini misalnya, mengatakan bahwa: terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Mencermati bunyi pasal 4 tersebut, undang- undang ini benar-benar menjadi payung hukum yang amat sakti bagi pers, yang mengamankannya dari sanksi oleh penguasa.

Sekilas, terbitnya peraturan perundang-undangan tentang pers di Indonesia tersebut memang membawa perubahan pers di Indonesia ke arah yang lebih baik. Pers menjadi lebih bebas, independen, dan tidak perlu khawatir dengan sanksi berupa penyensoran, atau bahkan pembredelan oleh pemerintah. Bagi penulis, namun demikian, ada sisi negatif yang muncul dari dijaminnya kebebasan pers ini. Pers di Indonesia menjadi sangat kuat di era Reformasi. Jaminan ‘bebas intervensi’ dan bebas sanksi yang diberikan kepada pers melalui UU Pers membuat pers menjadi sangat ‘berkuasa’ di Indonesia. Pers bisa mengabarkan tentang apa pun, tentang siapa pun, dan untuk kepentingan apa pun, termasuk untuk kepentingan ekonomi atau politik. Pers menjadi kekuatan baru demokrasi di era Reformasi.

Hal ini pula yang kemudian berimplikasi pada menjamurnya media massa di Indonesia. Sejak diterbitkannya UU tentang Pers, banyak media massa muncul dan memperebutkan perhatian masyarakat lewat informasi-informasi yang disajikan. Proses ini, dari sudut pandang pemikiran Baudrillard adalah upaya berbagai media tadi untuk melakukan representasi realitas melalui informasi. Masifnya perkembangan media ini menjadi sangat nyata ketika internet berkembang dengan sangat cepat di Indonesia. Media on-line semakin berkembang, persaingan antarmedia semakin ‘panas’, sehingga informasi pun berubah menjadi komoditas, yang ‘diperdagangkan’ lewat media online. Pada titik inilah bahaya itu muncul, kebenaran informasi menjadi tidak penting; karena yang lebih penting bagi pers saat ini adalah menarik perhatian massa sebanyak-banyaknya kepada berita yang disajikan. Pada proses inilah manipulasi itu muncul. Realitas yang berusaha dikomunikasikan kepada masyarakat melalui informasi, dimanipulasi sedemikian rupa dengan tujuan untuk menggiring opini masyarakat. Representasi dari realitas yang sudah dimanipulasi tersebut, kemudian disebarkan secara masif melalui berbagai media, menjadi viral dan menyita perhatian masyarakat. Viral tersebut pada akhirnya akan menjadi trending topic, yang justru menjadi referensi utama masyarakat ketika membahas realitas yang berusaha direpresentasikan tadi. Menurut perspektif Baudrillard, informasi yang sudah menjadi viral ini akan menjadi simulasi yang justru menjadi lebih penting daripada realitas yang ingin disampaikan.

Viral dan juga trending topic, menjadi salah satu ‘senjata’ utama media untuk memproduksi informasi-informasi baru tersebut. Media pun menjadi semakin kuat. Ia menjadi kekuatan yang membentuk opini masyarakat tentang apa pun. Kebenaran sebuah informasi bukan lagi menjadi pertimbangan utama karena yang paling penting adalah menarik masyarakat untuk mengakses informasi yang disajikan selama dan sebanyak mungkin. Media, dengan begitu akan semakin kuat, paling tidak secara ekonomi.

Ketika informasi sudah menjadi komoditas, bagi penulis, yang terjadi semakin mengkhawatirkan. Media, menjadi kekuatan dominan di Indonesia saat ini. Melihat peran strategis media massa tersebut, tidak jarang kemudian banyak pihak yang menggunakan media sebagai senjata untuk ‘mengamankan’ kepentingan mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa eksistensi sebuah media, salah satunya juga dipengaruhi oleh motif ekonomi, yaitu menjadikannya sebagai sebuah industri yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. Di sinilah letak bahayanya. Ketika media meletakkan aspek ekonomi sebagai prioritas, maka ia bisa kehilangan idealismenya. Media berubah menjadi pasar. Ia menampung kepentingan siapa pun, sejauh itu memberikan keuntungan ekonomi yang besar. Ia juga bisa mengarahkan masyarakat untuk memilih atau tidak memilih salah satu kandidat dalam pertarungan politik kekuasaan.

Fenomena semacam ini, menjadi pemandangan umum di berbagai media massa di Indonesia ketika menjelang pelaksanaan pemilu atau pilkada. Survei elektabilitas, quick count, dan berbagai upaya-upaya yang terkesan ilmiah, disuguhkan di berbagai media massa yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pertimbangan masyarakat ketika memilih salah satu kandidat. Tentu masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia di tahun 2014 silam. Ketika Indonesia sedang larut dalam hingar bingar pemilihan presiden, masyarakat disuguhi dengan fenomena yang menggelikan. Dua media massa elektronik sama-sama menayangkan hasil perhitungan cepat atau quick count, dengan hasil yang berbeda. Media massa pertama memenangkan pasangan nomor urut 1; sedangkan media massa kedua memenangkan pasangan nomor urut 2. Menariknya adalah, hasil perolehan suara sementara yang diperoleh oleh pasangan calon nomor urut 1, sebagaimana ditayangkan oleh stasiun televisi 1, ternyata ketika dijumlah, lebih dari 100%. Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa informasi bisa di-plintir sedemikian rupa untuk kepentingan politik sesaat. Pada proses inilah representasi, manipulasi, dan simulasi atas realitas tersebut dapat ditemukan. Di sanalah representasi, manipulasi, dan simulasi muncul dalam pertautan media dan politik di Indonesia.

SIMPULAN

Metafisika adalah kajian yang menawarkan sudut pandang radikal di dalam ‘membongkar’ struktur dasar realitas. Segala hal bisa dibahas dari sudut pandang metafisika karena metafisika mengkaji segala yang ada. Sejauh ia ada, maka ia dapat dibahas secara metafisik, hanya tinggal sudut pandang mana yang akan menjadi acuan. Metafisika informasi yang diuraikan dalam artikel ini harus diakui memang belum mampu membongkar ‘struktur’ informasi sebagai realitas karena hanya beberapa pertanyaan saja yang mampu dijawab. Namun setidaknya, melalui artikel ini dapat dilihat bagaimana Baudrillard memandang informasi yang ternyata menyiratkan pandangan metafisika informasi yang bercorak pluralistik-materialistik, dengan hasrat untuk mengonsumsi sebagai norma dasar pengikat semua unsur metafisiknya. Menurut Baudrillard struktur informasi tidak dapat dilepaskan dari ketiga aspek, yaitu representasi, simulasi, dan manipulasi. Melalui representasi, informasi berusaha menghadirkan lagi satu ‘peristiwa’ dan mengomunikasikannya kepada subjek melalui berbagai media. Proses komunikasi ini, memiliki potensi yang besar untuk didominasi oleh simulasi, yaitu proses ketika ‘peristiwa’ yang berusaha dihadirkan tadi justru digantikan dengan realitas ‘kedua’ yang pada akhirnya justru menjadi lebih dominan daripada realitas yang berusaha dihadirkan. Ketika hal ini terjadi, manipulasi adalah proses yang terjadi setelahnya. Informasi pun menjadi komoditas. Ketika informasi sudah menjadi komoditas, yang terjadi semakin mengkhawatirkan. Media, menjadi kekuatan dominan di Indonesia saat ini sehingga tidak jarang banyak pihak yang menggunakan media sebagai senjata untuk ‘mengamankan’ kepentingan mereka, termasuk kepentingan politik. Di sinilah tampak pertautan antara media dan politik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Muhammad, 2014, “Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan Upaya Pustakawan Mengidentifikasi Informasi Realitas”, Jurnal Khazanah Al Hikmah, Vol. 2 No. 1 Januari 2014, halaman 38-48.

Bakker, Anton, 1992, Ontologi atau Metafisika Umum, Kanisius, Yogyakarta.

Baudrillard, Jean, 1970, La société de Consommation, Denöel, Paris. ________, 1981, Simulacres et Simulation, Galilée, Paris.


Budiman, Hikmat, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Kanisius,Yogyakarta.


Haryatmoko, 2016, Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, Kanisius, Yogyakarta.


Imam Aziz, M., 2001, Galaksi Simulacra Jean Baudrillard, LKiS, Yogyakarta.


Mudhofir, Ali, 2001, Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


Nauta, Doede, 1972, The Meaning of Information, Mouton, The Hague, Paris
Siswanto, Joko, 2004, Metafisika Sistematik, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta.


Soeprapto, Sri, 1994, “Kedudukan Metafisika dalam Kawasan Keilmuan”, dalam Jurnal Filsafat Seri 18 Mei 1994, Halaman 21-25, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Website:
Dretske, Fred, 2016, “The Metaphysics of Information” (diambil dari http://wittgensteinrepository.org/agora- ontos/article/viewFile/2065/2273, diakses pada tanggal 9 November 2016 pukul 08.03 WIB).

Informasi, diambil dari http://www.kbbi.web.id/informasi, diakses pada tanggal 16 November 2016 pukul 11.13 WIB.

Information, diambil dari http://www.dictionary.com/browse/information pada tanggal 28 Desember 2016 pukul 10.05 WIB

Jean Baudrillard, diambil dari https://en.wikipedia.org/wiki/Jean_Baudrillard, diakses pada tanggal 16 November 2016 pukul 19.46 WIB.

Kemkominfo: Pengguna Internet di Indonesia Capai 82 Juta, diambil dari https://kominfo.go.id/content/detail/3980/kemkominfo-pengguna-internet-di-indonesia-capai-82-juta/0/berita_satker, diakses pada tanggal 16 November 2016 pukul 09.10 WIB). Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, diambil dari Situs resmi DPR Republik Indonesia, http://dpr.go.id/dokjdih/document/uu/441.pdf, diakses pada tanggal 28 Desember 2016 pukul 09.20 WIB.

13 Jun

ONTOLOGI TERORISME DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT EKSISTENSIALISME GABRIEL H. MARCEL

Tindakan terorisme adalah salah satu tindakan yang mengancam harmoni sosial di Indonesia. Pemicunya bermacam-macam, dan motifnya pun berbeda-beda. Pelakunya nekat, dan terkesan tidak berpikir panjang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tulisan ini mencoba memahami perilaku terorisme ini dalam perspektif ontologi eksistensialisme Gabriel H. Marcel. Tulisan ini sudah diterbitkan di Jurnal Filsafat, Vol. 24 No. 1 Tahun 2014. Silakan akses melalui tautan berikut:

https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/34760

Selamat membaca..!

Abstrak

Terorisme adalah salah satu kejahatan yang paling mengerikan. Berbagai upa- ya telah dilakukan oleh pemerintah, namun demikian, hingga saat ini terorisme masih saja menjadi isu serius. Sebagai sebuah perilaku manusia, kejahatan terorisme adalah satu hal yang dapat dinilai dari berbagai macam perspektif, termasuk juga dari frame filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel sebagai- mana yang diuraikan pada tulisan ini. Berkaitan dengan analisis atas perilaku terorisme di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme, khususnya yang dilakukan dengan bom bunuh diri, adalah perilaku yang secara ontologis merupakan bagian dari upaya yang dipilih manusia untuk mencapai “Ada”, yang juga menyangkut pertemuan antara “Aku” dan “Engkau”. Terlepas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuatan), dalam perspek- tif Marcel, perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang “manusiawi” karena “prosedur” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal keputusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil.

PENDAHULUAN

Pada tahun 2013 pemerintahan SBY–Boediono sudah hampir memasuki akhir masa kerjanya. Banyak yang mengemukakan adanya kemajuan, namun tidak sedikit pula yang mengatakan adanya kemun- duran. Terlepas dari penilaian positif dan negatif atas kinerja pemerin- tahan SBY–Boediono tersebut, ada satu hal yang tentu tidak bisa di- pungkiri begitu saja, yaitu bahwa masih ada banyak permasalahan serius di negeri ini yang belum mampu diatasi. Di antara sekian banyak persoalan tersebut, terorisme adalah isu yang sampai sekarang masih menjadi isu utama di negeri ini.

Terorisme sebenarnya bukanlah permasalahan baru karena isu ini sudah ada di masa pascakemerdekaan, misalnya dalam bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bermaksud memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isu teror- isme ini, namun demikian, kembali mencuat sepuluh tahun terakhir. Era Reformasi yang mengusung semangat demokrasi dan kebebasan seolah memberi peluang baru bagi munculnya pandangan-pandangan yang dulu sempat terbungkam. Kondisi ini menimbulkan permasalah- an tersendiri karena seolah justru memperparah keadaan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Di satu sisi, bangsa kita harus terus bertahan di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang membanjiri masyarakat dengan ideologi dan nilai yang bermacam-ma- cam. Namun di sisi yang lain, soliditas Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara juga semakin berkurang.

Salah satu pandangan yang muncul kembali di era Reformasi ini adalah kaum radikal yang tegas menolak proses modernisasi dan pe- netrasi ideologi Barat. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap yang wajar dan sah-sah saja karena siapapun boleh menyikapi modernisasi dan globalisasi sesuai dengan pendapat mereka masing-masing. Na- mun demikian, satu hal yang menjadi persoalan serius dari munculnya pandangan semacam ini adalah terkait dengan cara mereka “berargu- men”, yaitu dengan menyebarkan teror. Terorisme kemudian menjadi satu kejahatan yang paling mengerikan, yang kini juga telah meresah- kan masyarakat di negeri ini. Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh pemerintah, tidak terkecuali pemerintahan SBY. Namun demi- kian, hingga saat ini terorisme masih saja menjadi isu serius.

AM. Hendropriyono mengatakan bahwa terorisme biasanya ber- akar pada penindasan dan ketidakadilan sosial, namun sekali ia mun- cul, ia memiliki karakter seperti Candrabirawa, yaitu karakter yang sela- lu mampu untuk timbul kembali setelah tenggelam. Terorisme selalu “patah tumbuh hilang berganti” sehingga selalu membayangi masya- rakat dengan bahaya dan kekejamannya (Hendropriyono, 2009: 8-9). Isu terorisme memang menjadi isu yang mutakhir saat ini. Terlepas da- ri apapun latar belakang pandangan yang ada di belakangnya, teror- isme tetaplah merupakan kejahatan yang mengerikan.

Sebagai sebuah perilaku manusia, kejahatan terorisme adalah satu hal yang dapat dinilai dari berbagai macam perspektif, termasuk juga dari frame filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel sebagaimana yang akan diuraikan pada tulisan ini. Filsafat Gabriel H. Marcel de- ngan demikian akan dipakai sebagai objek formal yang akan menjadi ‘pisau analisis’ bagi kejahatan terorisme di Indonesia, yang menjadi ob- jek material, khususnya berkaitan dengan kaum fundamentalis agama yang selama ini dianggap sebagai motor penggerak aksi teror yang di- lakukan. Analisis Marcel dengan demikian akan mencakup dua wila- yah sekaligus. Pertama, kejahatan teror itu sendiri, dan kedua, sikap pe- laku teror tersebut.

GAMBARAN SEKILAS TENTANG PEMIKIRAN ONTOLOGI DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME GABRIEL H. MARCEL

Gabriel H. Marcel (1889-1973) adalah seorang filsuf, yang seka- ligus menjadi seorang kritikus drama, penulis naskah, dan musisi. Ia dilahirkan dari seorang ibu penganut Yahudi, dan ayah penganut Katolik. Namun ia baru masuk Katolik secara sungguh-sungguh pada tahun 1929 setelah melakukan petualangan rohani cukup lama. Filsa- fatnya sering disebut dengan istilah “Eksistensialisme Kristen”. Na- mun ia sendiri menolak sebutan itu karena ia memang menolak sistematisasi dalam filsafat. Sebutan yang paling ia terima adalah “neo- sokratisme” karena ia menganggap bahwa sebutan tersebut sesuai dengan orang yang senantiasa mencari dan bertanya-tanya (Bertens, 2001: 64).

Metodologi filosofis yang dikembangkan oleh Marcel adalah unik, meskipun dalam beberapa hal menunjukkan kemiripan dengan metode eksistensialisme dan fenomenologi. Marcel menegaskan bah- wa filsafat harus dimulai dengan pengalaman kongkret, dan bukannya abstraksi. Oleh karenanya ia membuat contoh-contoh kongkret bagi ide-ide filosofis yang sedang ia selidiki. Pengalaman kongkret tersebut kemudian ia tarik ke tataran pemikiran, untuk kemudian diterapkan kembali pada pengalaman-pengalaman yang kongkret. Metodenya, dengan demikian bisa dirangkum sebagai metode yang “working…up from life to thought and then down from thought to life again, so that [one] may try to throw more light upon life” (Marcel, 1951: 41).

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, Marcel sendiri menolak sistematisasi dalam filsafat. Oleh karenanya, sulit untuk memahami pemikiran Marcel tersebut secara komprehensif. Meski demikian, ada beberapa terma atau istilah yang menjadi kata kunci dalam filsafat Marcel. Beberapa kata kunci dalam pemikiran Marcel tersebut, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Ontological Exigence dan Broken World sebagai Titik Tolak Menuju “Ada”

Pandangan Marcel mengenai jalan menuju “Ada” ini bisa dijelas- kan demikian. Marcel menganggap bahwa eksistensi adalah lapangan pengalaman langsung, yaitu wilayah yang mendahului kesadaran. Eksistensi dengan kata lain adalah “taraf hidup begitu saja”, atau taraf hidup yang tanpa direfleksi. Manusia adalah subjek yang mempunyai kesadaran, tetapi manusia seringkali juga belum menyadari apakah arti eksistensi ini karena ia mendahului kesadaran. Agar dalam hidup di dunia ini manusia dapat mencapai arti sepenuh-penuhnya, maka orang perlu meninggalkan taraf prasadar tersebut dan menuju ke kesa- daran yang sungguh-sungguh. Maksudnya adalah ada semacam peru- bahan pemaknaan atas kehidupan, dari relasi yang semula hanya menganggap situasi yang dialami sebagai nasib kepada keadaan yang betul-betul diterima secara bebas dan sadar. “Ada” manusia dengan demikian ditentukan oleh kesadaran dan otonominya. Singkatnya, orang perlu merintis jalan dari eksistensi menuju “Ada” yang dapat di- tempuh melalui tiga fase, yaitu admiration (kekaguman), reflection (re- fleksi) dan exploration (eksplorasi) (Bertens, 2001: 66).

Pandangannya mengenai perlunya jalan menuju “Ada” ini mun- cul karena refleksinya atas kehidupan yang ia lihat di masa modern yang telah mengubah manusia menjadi commuters atau manusia yang hanya menjalani rutinitas. Menurut Marcel, dunia semacam itu adalah dunia yang rusak (broken world) dan manusianya adalah manusia yang tereduksi hanya sebagai manusia fungsional (functionalized man). Ma- nusia semacam inilah yang menurut Marcel kehilangan kesadarannya sebagaimana dimaksud di atas, atau dalam bahasa Marcel kehilangan ontological exigence.

“… with a sort of global and intuitive characterization of the man in whom the sense of the ontological—the sense of being, is lacking, or, to speak more correctly, the man who has lost awareness of this sense.” (Marcel, 1995: 9).

Menurut Marcel, apa yang menentukan manusia adalah urgensi- nya atas hal-hal yang sifatnya ontologis (Marcel, 1973: 34). Oleh karena- nya, “Ada” adalah sesuatu yang sangat diperlukan oleh manusia, yang bisa ditempuh melalui jalan refleksi terhadap pengalaman manusia menuju hal-hal yang sifatnya ontologis. Bagi Marcel, ontological exi- gence adalah urgensi yang melekat pada diri manusia dalam arti sesua- tu yang kodrati dan menjadi ciri khas manusia.

The [ontological] exigence is not reducible to some psychological state, mood, or attitude a person has; it is rather a movement of the human spirit that is inseparable from being human” (Keen, 1984: 105).

Ontological exigence tersebut selanjutnya membawa implikasi lain dalam pemikiran Marcel, yaitu perhatiannya pada hal-hal yang tran- senden. Menurut Marcel, pengalaman mengenai yang transenden sa- ngatlah penting karena dengan begitu dunia bisa menjadi bermakna (Marcel, 1951: 46). Gagasan mengenai pengalaman transenden ini sekaligus membawa kepada pemikiran Marcel mengenai pembedaan antara problem dan mystery.

2. Problem dan Mystery

Pembedaan antara problem dan mystery merupakan suatu tema yang dapat membuka bermacam-macam perspektif baru dalam filsafat Marcel. Dikatakan demikian karena kedua hal tersebut membawa implikasi kepada pemikiran Marcel yang lain. Problem adalah masalah yang diajukan kepada saya sebagai subjek, yang berasal dari luar diri saya, sehingga ia mempunyai konotasi “objektif”, dan saya sendiri sebagai subjek tidak terlibat di dalamnya. Berbeda halnya dengan mys- tery. Mystery tidak pernah diajukan kepada saya sebagai subjek secara objektif. Mystery tidak berada di depan atau di luar saya sebagai subjek, tetapi berada di dalam diri saya sebagai subjek, atau lebih tepat lagi saya sebagai subjek termasuk mystery itu. Suatu misteri melibatkan diri saya sebagai subjek. Bertanya tentang misteri serentak juga berarti ber- tanya tentang diri saya sendiri sebagai subjek. Beberapa contoh tentang mystery misalnya inkarnasi, kehadiran, kejahatan, cinta, serta penge- nalan dan teristimewa “Ada” (Bertens, 2001: 71). Lebih lanjut, kedua konsep tersebut bisa dihubungkan dengan pemikiran Marcel menge- nai “Being” (etre) dan “Having” (avoir). Problem diliputi suasana “mem- punyai” sedangkan mystery diliputi suasana “Ada”. Hal ini selanjutnya akan mengarah pada pandangan Marcel mengenai refleksi

3. Refleksi Pertama dan Refleksi Kedua (Primary Reflection and Secondary Reflection)

Sebagaimana dikemukakan di atas, permulaan filsafat, menurut Marcel, bukannya kesangsian seperti halya pada banyak filsuf modern, melainkan admiration yang mencakup keheranan maupun kekagum- an. Apabila dikaitkan dengan pemikirannya mengenai urgensi onto-

logis, maka admiration bisa dikatakan merupakan fase pertama bagi jalan menuju “Ada”. Admiration bisa dikatakan merupakan kesadaran akan adanya mystery, dan untuk menuju pada fase berikutnya, mystery tersebut perlu direfleksikan. Refleksi ini dibedakan menjadi dua, yaitu refleksi pertama dan refleksi kedua.

Refleksi pertama mempunyai ciri berikut: abstrak, analitis, universal, dan dapat diverifikasi.

Roughly, we can say that where primary reflection tends to dissolve the unity of experience which is first put before it, the function of secondary reflection is essentially recuperative; it reconquers that unity (Marcel, 1951: 83).

Refleksi ini cenderung memecahkan, mengkotak-kotakkan kesa- tuan pengalaman yang dihayati manusia. Refleksi ini menyelidiki, menganalisis pengalaman. Subjek dilepaskan dari situasi kongkretnya dan dengan demikian ditampilkan kerangka yang mati.

Refleksi kedua tidak mengobjekkan tetapi berlangsung berdasar- kan partisipasi atau bisa dikatakan juga berlangsung dalam suasana Recueillement (recollection). Refleksi kedua tidak berbicara tentang objek tetapi tentang kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pende- katan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Kiranya sudah jelas bahwa refleksi kedua ini berlangsung konteks “persona”. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai “Ada” yang sebenarnya, yang tetap tersembunyi “Pemikiran objektif”. Refleksi ini oleh karenanya merupakan sarana penting bagi filsafat. Tugas refleksi ini bukan untuk memecah-belah dan mencerai-beraikan kehidupan, tetapi sebaliknya membangun kembali secara terus-menerus jalinan kehidupan yang telah dicabik-cabik oleh analisis yang ceroboh. Jadi dengan kata lain, refleksi ini memperlakukan kehidupan sebagai bagian dari “Ada” (Bertens, 2001: 67). Dua refleksi di atas sebenarnya adalah bagian dari metode Marcel untuk menarik suatu pemikiran kongkret (refleksi I) dan kemudian mengembalikannya pada situasi kongkret (refleksi II). Melalui dua refleksi tersebut, sudah terbuka jalan bagi kontak baru dengan realitas yaitu fase yang disebut exploration. Pada fase ini kita mengakui bahwa kita menjadi bagian dari “Ada”, yang berarti bahwa saya menerima secara bebas realitas keberadaan kita termasuk juga diri kita sendiri.

4. Kehadiran

Menurut Gabriel H. Marcel, misteri “Ada“ tidak tampak dengan cara yang semestinya kalau tidak diselidiki dari sudut intersubjektivi- tas, dalam arti relasi antarmanusia. Sebagaimana ciri khas pandangan eksistensialis, “Ada“ selalu berarti “Ada Bersamanya“. Oleh karena- nya, untuk memahami pemikiran Marcel mengenai intersubjektivitas tersebut perlu dipahami satu konsep dalam pemikiran Marcel, yaitu “kehadiran“ (presense). Kata “hadir” dalam relasi intersubjektivitas di sini tidak berarti berada di tempat yang sama. Saya bisa saja berada dengan banyak orang lain dalam satu ruangan yang sama, tetapi itu belum berarti bahwa saya “hadir“ bagi mereka atau mereka bagi saya. Dua orang baru hadir yang satu bagi yang lain, bila mereka mengarah- kan diri yang satu kepada yang lain dengan cara yang sama sekali ber- lainan dari cara mereka menghadapi objek-objek. Kehadiran hanya da- pat diwujudkan jika “Aku“ berjumpa dengan “Engkau“ (Marcel, 1951: 76).

Marcel membedakan relasi “Aku–Engkau” dengan relasi “Aku– Ia“. Relasi “Aku–Ia“ adalah relasi yang menempatkan orang lain dalam aspek-aspek fungsionalnya, sedangkan relasi “Aku–Engkau“ adalah relasi yang menempatkan sesama sebagai sesama.

If I treat a ‘Thou’as a ‘He’, I reduce the other to being only nature; an animated object which works in some ways and not in others. If, on the contrary, I treat the other as ‘Thou’, I treat him and appre- hend him qua freedom. I apprehend him qua freedom because he is also freedom and not only nature (Marcel 1949: 106–107).

Kehadiran ini direalisasikan secara istimewa dalam cinta, yaitu ketika “Aku“ dan “Engkau“ mencapai taraf “Kita“. Kesatuan ontologis yang dicapai dalam “Kita“ melebihi dua orang yang dijumlahkan satu dengan yang lain. “Aku“ bukanlah satu bagian dan “Engkau“ bagian lain yang bersama-sama disambung menjadi “Kita“. Pada taraf “Kita“, “Aku“ dan “Engkau“ dianggap menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian. Timbullah communion atau kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. Communion ini boleh dianggap sebagai “Kehadiran“ dalam bentuk yang paling sempurna, dan di sini peralihan dari eksistensi ke “ Ada “ sudah selesai (Bertens, 2001: 76).

RELEVANSI FILSAFAT EKSISTENSIALISME
GABRIEL H. MARCEL DENGAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA

Telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa kejahatan teror- isme yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir ini bisa dianalisis dari perspektif ontologis dalam filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel. Apabila melihat keduanya, kejahatan terorisme di satu pihak dan pemikiran Marcel di pihak lain, memang ada banyak relevansi di antara keduanya. Artinya ada beberapa pemikiran Marcel yang sesuai atau bisa dipakai untuk menganalisis persoalan kejahatan terorisme yang terjadi di Indonesia.

Sebelum ini dilakukan, namun demikian kiranya ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, teror yang dimaksud adalah teror mela- lui peledakan bom bunuh diri. Objek analisis memang tindakan teror tersebut, namun titik berat analisis akan lebih pada pelaku bom bunuh diri itu sendiri. Maksudnya adalah demikian, sebagai bagian dari filsa- fat eksistensialisme, Marcel menekankan pembahasan filsafatnya pada perbuatan manusia kongkret, termasuk juga berkaitan dengan pan- dangannya mengenai “Ada”. Oleh karena itu, sasaran analisis dalam pembahasan ini pun pada tindakan kongkret dalam teror, yaitu pelaku bom bunuh diri. Kedua, sebagaimana dikemukakan oleh banyak pihak, aksi teror yang dilakukan selama ini dimotori oleh pandangan funda- mentalisme agama yang bercampur dengan kepentingan politik, baik untuk menentang modernisasi Barat maupun untuk mengajukan alter- natif ideologi yang baru. Penulis dalam hal ini, oleh karenanya, juga menggunakan asumsi di atas. Maksudnya, dalam menganalisis latar belakang kejahatan aksi teror, penulis juga menggunakan pandangan fundamentalisme agama sebagaimana yang pernah ditemukan pene- liti terdahulu.

1. Modernitas sebagai the Broken World

Menilik kembali pada pemikiran Marcel, objek kajian filsafatnya adalah pada perilaku manusia yang kongkret (ciri khas eksistensialis- me), dan dalam hal ini, kejahatan teror dengan cara bom bunuh diri adalah satu contoh perilaku kongkret manusia. Bahkan bisa dikatakan itu merupakan perilaku eksistensial karena si pelaku membuat kepu- tusan besar dan penting di dalam hidupnya. Berkaitan dengan pan- dangan Marcel mengenai the broken world, ia menganggap bahwa di dunia modern dan serba teknis seperti sekarang ini perilaku manusia tereduksi menjadi perilaku yang juga bersifat teknis, rutin, dan dengan demikian menjadi “dangkal”. Manusia tidak dikenali dari “Ada”nya tapi dari fungsi-fungsi yang ia miliki, misalnya sebagai pegawai bank X, sebagai ayahnya Y, sebagai penghuni rumah nomer Z, dan sebagai- nya. Artinya, dunia modern secara tidak disadari telah mengubah manusia yang secara esensial memiliki urgensi ontologis (ontological exigence) hanya menjadi “manusia yang terfungsionalisasi”. Keadaan ini, dalam pandangan Marcel, sebenarnya melemahkan, bahkan bisa menghilangkan urgensi ontologis manusia yang sebenarnya justru menjadi penentu manusia itu sendiri. Bisa dikatakan juga bahwa dalam dunia semacam ini tidak ada ruang bagi mystery maupun perso- alan mengenai yang transenden karena urgensi ontologis memang mati.

2. Fundamentalisme Beragama sebagai Ontological Exigence

Marcel menekankan bahwa manusia perlu keluar dari situasi ter- sebut karena apabila manusia menjalani dirinya sebagai “manusia yang terfungsionalisasi” ia hanya menjalani eksistensinya tanpa ber- usaha membangun kesadaran akan ketidaksadarannya itu. Fase perta- ma yang bisa dilakukan adalah admiration. Berkaitan dengan pelaku kejahatan teror, tindakan sebagaimana dimaksudkan oleh Marcel ter- sebut dijalankan dengan baik oleh si pelaku teror. Terlepas apakah lan- dasan spiritual itu berasal dari dirinya sendiri atau berasal dari hasil brain wash (cuci otak), yang jelas si pelaku masih menyisakan ruang yang cukup lebar bagi persoalan mengenai yang transenden, yang ber- arti juga ia memiliki ontological exigence yang kuat. Ia justru tidak terma-

suk dalam functionalized person karena ia masih memiliki mystery di da- lam hidupnya yang mungkin ia temukan jawabannya di dalam keya- kinan yang ia anut. Pada taraf ini bisa dikatakan bahwa pelaku teror sudah beranjak dari taraf eksistensial, yaitu “hidup apa adanya” dan mulai mengarah pada kesadaran mengenai dirinya karena keterbuka- annya atas urgensi ontologis tadi.

3. Simbol-simbol Agama sebagai Mystery

Marcel selanjutnya mengemukakan bahwa urgensi ontologis yang semakin menguat akan memberi ruang pada pengalaman me- ngenai yang transenden, dan ini sekaligus akan memberi ruang bagi munculnya mystery. Pada diri pelaku teror, hal ini bisa dijelaskan de- ngan cukup mudah karena ruang bagi pengalaman mengenai yang transenden adalah hal yang umum terjadi di dalam pemahaman ke- agamaan. Artinya, ketika ia mengarahkan urgensi ontologisnya kepa- da ajaran agama yang fundamental, pengalaman akan hal-hal yang transenden tersebut sekaligus ia dapatkan. Pandangan fundamental- isme agama pun kemudian menyajikan beberapa hal, yang dalam wak- tu yang tidak lama berubah menjadi mystery dalam diri pelaku teror tersebut. Tuhan, surga, neraka, jihad, dan berbagai misteri lainnya menghinggapi dirinya, dan sebagaimana dikatakan oleh Marcel, mys- tery ini tidak bisa dengan mudah dihilangkan begitu saja karena subjek sekaligus berada dalam mystery itu. Katakanlah, ketika seseorang men- jadi penganut agama X, maka ia akan terikat dengan hak dan kewajib- an yang melekat di dalam agama X tersebut. Sama halnya dengan yang terjadi dengan pelaku teror tersebut. Artinya, bahwa konsep-konsep yang ia dapatkan di dalam ajaran agama yang ia anut menjadi mystery bagi dirinya dan mau tidak mau ia sebagai subjek harus ikut terlibat di dalam mystery tersebut, dalam arti menghayati dan menjalaninya.

4. Merefleksikan Situasi Konkret: Refleksi I dan II

Pergumulan manusia dengan mystery adalah satu indikasi positif ke arah pencapaian mengenai “Ada”. Ia sekaligus memberi ruang bagi ontological exigence (satu hal yang sangat ditekankan dalam proses me- nuju “Ada”) dan ia sekaligus membuka diri bagi jalan refleksi, baik refleksi pertama yang sifatnya analitis, maupun refleksi kedua yang lebih bercorak filosofis. Kembali pada pelaku teror, refleksi pertama adalah berkaitan dengan cara ia mengkotak-kotakkan pengalaman yang ia miliki. Ini bisa dikatakan merupakan penyelidikan atas penga- laman karena pengalaman yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari ia tarik ke tataran pemikiran. Pada taraf ini ia akan menggabung-gabung- kan dan membanding-bandingkan pengalaman yang ia kumpulkan dengan (misalnya) ajaran-ajaran yang ia jumpai dalam keyakinan yang ia anut, dalam hal ini fundamentalisme agama. Ketika pengalaman ter- sebut sudah terkotakkan, dalam arti terklasifikasikan dan dapat dinilai dengan ajaran-ajaran yang ia dapatkan, maka fase selanjutnya adalah refleksi kedua.

Marcel mengatakan bahwa refleksi kedua berhubungan dengan kehadiran. Kehadiran ini merupakan sesuatu yang penting karena misteri “Ada” tidak tampak dengan cara yang semestinya jika tidak diselidiki dari sudut intersubjektivitas. Oleh karenanya, refleksi kedua juga berhubungan dengan relasi intersubjektivitas ini yang lebih bersi- fat dialogis, yaitu menghadapkan antara persona dengan persona. Apabila kita kembali pada persona pelaku teror, maka pada proses ini sebenarnya terjadi setidaknya dua hal: identifikasi relasi intersubjektif dan sekaligus recollecting hasil yang diperoleh pada refleksi I untuk disesuaikan atau diterapkan kembali pada pengalaman konkret.

5. Intersubjektivitas Pelaku-Korban: “Aku–Ia”

Bagi Marcel, “Ada” selalu berarti “Ada Bersamanya”. Artinya, ji- ka manusia ingin mencapai “Ada”, manusia selain memiliki kesadaran tentang “Ada”nya juga harus memiliki kesadaran juga tentang “Ada”- nya bersama “Ada”yang lain. Ketika persona-persona yang saling bere- lasi mampu mencapai hal tersebut maka tercapailah yang dinamakan “kehadiran”. “Kehadiran” namun demikian tidak selalu bisa dicapai dalam relasi intersubjektif manusia karena hal tersebut tergantung bagaimana manusia menempatkan manusia yang lain dalam relasi tersebut. Ketika manusia lain ditempatkan dalam posisi sebagai “Ia” maka ia hanya dianggap sebagai manusia yang dipandang secara fung- sional saja. Hal yang sama juga bisa kita jumpai di dalam diri pelaku

teror. Sebagai manusia (subjek) ia jelas menghadapi kenyataan bahwa ada manusia yang lain, yang memiliki pandangan yang berseberangan dengannya. Cara ia menjalin dengan manusia yang lain inilah yang menentukan keputusan mengenai “Adanya”. AM. Hendropriyono me- nyebutkan bahwa pelaku teror biasanya adalah orang yang kejam dan tidak menghargai manusia lain sebagaimana mestinya. Manusia lain hanya diposisikan sebagai “benda” yang bisa ia perlakukan dengan seenaknya melalui aksi teror yang ia lakukan tersebut. Hal ini dalam frame pemikiran Marcel merupakan satu contoh yang menunjukkan bahwa “kehadiran” tidak ikut serta dalam relasi intersubjektif yang dibangun oleh pelaku teror tersebut dengan orang lain. Alasannya sederhana, manusia lain adalah berbeda dari dirinya sehingga dengan kata lain pelaku teror ini hanya memandang manusia lain sebagai “Ia”, tidak sebagai “Engkau”.

6. “Engkau” Absolut dan Pencapaian “Ada”

“Engkau”nya pelaku teror ini adalah “Engkau” yang absolut yang ia jumpai dalam ajaran-ajaran yang ada di keyakinan yang ia anut. Itulah “Engkau”nya sehingga ketika pelaku teror sudah merasa- kan “kehadirannya” bisa dikatakan ia telah mencapai “Ada”nya, yaitu mencapai kesadaran penuh mengenai dirinya. Diri yang tidak lagi di- maknai sebagai nasib (eksistensial), tetapi sudah dimaknai dan diteri- ma secara sadar dan bebas, hingga akhirnya ia membuat satu keputus- an eksistensial: meledakkan bom bunuh diri demi “Engkau”nya.

Itulah gambaran singkat mengenai relevansi pemikiran ontologis Marcel dengan kejahatan teror yang akhir-akhir ini terjadi di negara kita. Satu kesimpulan yang bisa dirangkum di sini adalah bahwa di mata awam, meledakkan bom bunuh diri dan membunuh orang yang mungkin tidak berdosa adalah perbuatan biadab yang jauh dari nilai kemanusiaan. Namun apabila dilihat dari perspektif Marcel, terlepas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuatan), perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang manu- siawi karena “prosedur ” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal kepu- tusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil di akhir hidupnya. Berdasarkan uraian mengenai tahap-tahap di atas, tampaklah bahwa untuk mencapai “Ada” manusia harus me- nempuh tahapan atau fase-fase. Oleh karena itulah, manusia oleh Marcel disebut sebagai homo viator atau makhluk yang menjadi, karena memang ia mengalami beberapa fase atau tahapan untuk menuju pada “Ada” atau kehidupan yang dialami dan dijalani secara sadar, bebas, dan sepenuh hati.

SIMPULAN

Membahas pemikiran Gabriel H. Marcel, khususnya mengenai ontologi yang ia kembangkan, bukanlah persoalan yang mudah. Hal tersebut sangatlah sulit dilakukan karena filsafatnya yang tidak sis- tematis menimbulkan kesulitan tersendiri ketika mencoba melakukan klasifikasi atas pemikirannya. Marcel, selain itu juga menggunakan terma-terma dalam metafisika (misalnya “Ada”) dengan pemaknaan yang sangat berbeda. Ciri khas eksistensialismenya bagaimanapun tetap terlihat karena ia menempatkan “Ada” tersebut juga dalam kate- gori manusia.

Berkaitan dengan analisis atas perilaku terorisme di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme, khususnya yang dilakukan dengan bom bunuh diri, adalah perilaku yang secara ontologis meru- pakan bagian dari upaya yang dipilih manusia untuk mencapai “Ada”, yang juga menyangkut pertemuan antara “Aku” dan “Engkau”. Proses pertimbangan yang terjadi di dalam diri pelaku teror adalah bagian dari proses “menjadi”nya, (homo viator) dan kesemuanya itu dapat dije- laskan dalam perspektif filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel. Terle- pas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuat- an), dalam perspektif Marcel, perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang “manusiawi” karena “prosedur” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal keputusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Cetakan Ke-3, Gra- media Pustaka Utama, Jakarta.

Hendropriyono, AM., 2009, Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Keen, Sam, 1984. “The Development of the Idea of Being,” in Schilpp and Hahn (eds.)

Marcel, Gabriel H., 1949, Being and Having, Translated by Katharine Farrer, Dacre Press, Westminster, UK.

________________, 1951, The Mystery of Being, Vol.1, Reflection and Mys- tery, Translated by G. S. FraserThe Harvill Press, London.

___________________, 1973, Tragic Wisdom and Beyond, Translated by Stephen Jolin and Peter McCormick, Publication of the Northwestern University Studies in Phenomenology and Existential Philosophy, ed. John Wild. Evanston, Northwestern University Press, IL.

___________________, 1995, The Philosophy of Existentialism, Translated by Manya Harari, Carol Publishing Group, New York.

12 Jun

ALIRAN PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN KONTRIBUSINYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PANCASILA DI INDONESIA

Persoalan pendidikan adalah salah persoalan yang paling banyak diperbincangan di berbagai media. Tidak hanya di media cetak populer saja, tetapi juga di berbagai manuskrip jurnal ilmiah. Tulisan ini adalah manuskrip yang telah diterbitkan di Jurnal CIVIS Universitas PGRI Semarang, Vol. 2 No. 1 Januari 2012. Tautan lengkap untuk mengakses artikel ini adalah sebagai berikut:

http://journal.upgris.ac.id/index.php/civis/article/view/594

Selamat membaca..!

Abstrak

Penetapan Pancasila sebagai dasar negara membawa implikasi besar, yakni bahwa Pancasila perlu dijabarkan baik sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai pandangan hidup, maupun sebagai filsafat negara (philosofisch grondslag). Namun demikian, permasalahan besar justru muncul di era reformasi inikarena kenyataannya Pancasila justru semakin jauh ditinggalkan. Faktor pendidikan menjadi faktor yang memiliki peran besar dalam persoalan ini.
Berdasarkan kajian fenomenologis yang penulis lakukan terhadap pelaksanaan pendidikan Pancasila di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah, satu persoalan besar yang menyebabkan “gagalnya” pendidikan Pancasila adalah karena pemilihan metode pembelajaran yang kurang tepat. Metode ini oleh karenanya perlu disempurnakan dengan “belajar” pada aliran progresivisme pendidikan yang menekankan pentingnya pengalaman dalam proses belajar. Proses belajar perlu mengakomodasi peran pengalaman tersebut dengan menghadirkan contoh kasus yang konkret dan empiris, sehingga dengan mengalami, peserta didik akan lebih mengerti dan memahami.

A. Pendahuluan

Negara, sebagai suatu entitas kolektif,adalah ibarat sebuah „organisme‟ besar yang terdiri atas sejumlah besar manusia yang memiliki tujuan bersama. Negara, oleh karenanya juga memerlukan sebuah pandangan hidup sebagai kerangka berpikir kolektif yang berisi pandangan atau pemahaman negara mengenai kehidupan yang sedang dijalani. Pandangan hidup ini merupakan sesuatu yang vital karena keberadaannya akan sangat menentukan strategi penyelenggaraan negara, sehingga eksistensi atau keutuhan negara bisa terjaga yang pada akhirnya akan menuju pada tercapainya tujuan bersama.


Indonesia, sebagai sebuah negara juga memiliki pandangan hidup yang dijabarkan dari dasar negara, yaitu Pancasila. Pancasila, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia merdeka, melalui proses perumusan yang berliku. Dimulai sejak sidang BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, dan 10 -17 Juli 1945, lalu dilanjutkan dengan pembentukan Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta, sampai akhirnya diputuskan sebagai dasar negara di dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara ini membawa banyak implikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun kemudian dijabarkan baik sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai pandangan hidup, maupun sebagai filsafat negara (philosofisch grondslag). Penjabaran dan pemaknaan Pancasila tersebut dilakukan agar Pancasila bisa benar- benar menjadi dasar bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sehingga nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila tersebut bisa diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan.


M. Sastrapratedja mengemukakan bahwa agar Pancasila sebagai dasar negara bisa diimplementasikan dan dikontekstualisasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan berbagai „mediasi‟, antara lain interpretasi, internalisasi dan sosialisasi (melalui pendidikan), dan melalui institusioalisasi yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai yang terlembaga (Sastrapratedja, 2007: 26). Gagasan Sastrapratedja tersebut sebenarnya sudah dapat dilihat dalam pengembangan yang sudah dilakukan selama ini yaitu dijadikannya Pancasila sebagai salah satu objek kajian di lingkungan akademik, baik dalam bentuk pengajaran pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan di Indonesia, maupun dalam bentuk kajian mengenai Pancasila yang lebih diarahkan sebagai upaya interpretasi, penjabaran yang lebih luas, dan penggalian yang lebih dalam mengenai nilai-nilai di dalam Pancasila tersebut. Arah dan tujuan dari upaya sosialisasi dan implementasi Pancasila sudah sangat jelas, yaitu agar Pancasila bisa diamalkan atau diimplementasikan baik secara objektif maupun secara subjektif.


Upaya sosialisasi Pancasila melalui pendidikan sudah bisa dilihat bersama di dalam kurikulum pendidikan di Indonesia yang memberikan porsi untuk pengajaran Pancasila kepada peserta didik. Pendidikan Pancasila, sudah
diajarkan sebagai salah satu mata pelajaran dalam berbagai kurikulum pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Pendidikan Pancasila di lingkungan pendidikan tinggi bahkan sudah „selangkah lebih jauh‟ karena kajian filsafati atas Pancasila juga ikut disosilisasikan dalam bentuk mata ajaran filsafat Pancasila, yang mengupas lebih mendalam mengenai aspek-aspek filsafati yang bisa dijumpai di dalam dasar negara Indonesia tersebut. Namun demikian, permasalahan besar justru muncul berkaitan dengan sosialisasi dan upaya implementasi Pancasila, khususnya secara subjektif tersebut, karena kenyataannya Pancasila justru semakin jauh ditinggalkan. Pendidikan Pancasila cenderung dianggap tidak penting, bahkan fenomena yang muncul di masyarakat, peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan sudah tidak lagi hafal bunyi dari masing- masing sila Pancasila. Persoalan ini tentu merupakan persoalan yang serius dalam kaitannya dengan upaya sosialisasi dan implementasi Pancasila, terutama dalam upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam diri masing-masing individu warga negara Indonesia. Tendensi untuk meninggalkan Pancasila semakin menguat di era reformasi.

Berbagai spekulasi untuk mengidentifikasi pangkal permasalahan ini pun kemudian muncul, dan bagi penulis, faktor pendidikan menjadi faktor yang memiliki peran besar dalam persoalan ini. Seperti yang diketahui bersama, pendidikan Pancasila sudah diberikan mulai dari pendidikan dasar, hingga pendidikan tinggi, namun kenyataannya internalisasi dari nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan individu tidak juga berhasil. Fenomena yang menunjukkan tendensi itu bisa dilihat dengan jelas dari kejadian-kejadian di tengah-tengah masyarakat. Melunturnya spiritualitas, hilangnya rasa kemanusian, tendensi chauvinistik, terlupakannya kerakyatan, dan keadilan yang seakan menjadi sangat utopis, adalah contoh nyata dari belum berhasilnya upaya implementasi Pancasila. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ada yang salah dengan pendidikan Pancasila yang selama ini diajarkan? Pertanyaan ini tentu sangat relevan dalam kajian pendidikan, khususnya filsafat pendidikan, karena salah satu kajian filsafat pendidikanadalah mengkaji asumsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari berbagai macam filsafat dan aliran pendidikan. Kajian filsafat pendidikan oleh karenanyaakan sangat berguna di dalam mencari format pendidikan seperti apa yang akan bisa diterapkan di dalam pelaksanaan pendidikan Pancasila di Indonesia. Hal ini kiranya penting karena sebagaimana dikemukakan oleh Dardiri, pendidikan juga perlu menaruh perhatian pada persoalan nilai ( Dardiri:9), dan dalam hal ini, Pancasila juga berkaitan dengan nilai-nilai. Tujuan pembahasan ini oleh karenanya menjadi jelas, yaitu untuk mengketengahkan salah satu aliran di dalam filsafat pendidikan yang bisa digunakan di dalam upaya pengembangan pendidikan Pancasila yang semakin lama semakin memperlihatkan kegagalannya.

B. Pandangan Aliran Progresivisme Mengenai Pendidikan

Sesuai dengan namanya, aliran atau teori pendidikan progresivisme adalah teori pendidikan yang memfokuskan pentingnya pendidikan sebagaisarana “kemajuan” atau liberasi peserta didik. Kemajuan atau progres tersebut adalah kemajuan dalam arti bahwa pendidikan yang dilakukan oleh aliran ini beranjak dari aliran pendidikan tradisional yang selalu menekankan pada otoritas pendidik dan otoritas teks yang berlebihan. Menurut progresivisme, pendidikan “otoriter” semacam itu memilikibanyak kelemahan karena secara ontologis, pandangan tersebut memang sudah keliru. Bagi progresivisme, manusia secara kodrati sudah dibekali dengan berbagai kemampuan, sehingga secara kodrati juga sudah dapat menghadapi dan mengatasi masalah yang menekan atau mengancam keberadaannya (Barnadib, 1997:28). Pendidikan yang otoriter menurut progresivisme akan mengalami kegagalan dan hanya akan menghadapi berbagai kesulitan dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang baik, karena tidak memberi ruang yang semestinya kepada kemampuan manusia yang sebenarnya justru merupakan “motor penggerak” atau daya kreatif dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi di dalam kehidupan.

Bertolak dari keberadaan teori pendidikan tradisional yang memberikan porsi berlebihan bagi otoritas pendidik dan cara belajar pasif yang hanya fokus pada kajian tekstual, aliran progresivisme berkembang dan menawarkan perspektif, cara, dan metode yang baru dalam sistem pembelajaran. Asumsi pokok dari aliran ini adalah bahwa dengan memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam proses belajar, peserta didik akan mampu membuat kemajuan, karena dengan kebebasan, potensi manusia untuk maju dan berkembang bisa berjalan dengan optimal .Sesuai dengan asumsi tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ornstein dan Levine, progresivisme pendidikan merumuskan beberapa prinsip umum berkaitan dengan metode pembelajaran, yaitu pertama, peserta didik seharusnya memiliki kebebasan untuk berkembang secara natural; kedua, ketertarikan (interest) merupakan stimulus yang paling bagus bagi proses belajar; ketiga, pendidik haruslah berperan sebagai pembimbing atau pemandu proses belajar; keempat, harus ada kerja sama yang bagus antara antara pihak orang tua dengan pihak sekolah; dan kelima, institusi pendidikan juga harus berperan sebagai laboratorium bagi reformasi dan eksperimentasi pendidikan (Ornstein, 1985:203).

Berdasarkan beberapa prinsip pokok yang diuraikan di atas, tampak bahwa aliran pendidikan progresivisme ini mendasarkan teori pendidikannya pada filsafat pendidikan pragmatisme yang menekankan pentingnya aspek pengalaman di dalam proses belajar (learning by doing). Oleh karenanya, sebagaimana bisa dijumpai di dalam aliran pragmatisme, teori pendidikan progresivisme juga mengusung metode pendidikan alternatif yang memanfaatkan aktivitas peserta didik, serta mendasarkan proses pembelajaran pada pengalaman dan pemecahan masalah (problem solving) (Ornstein, 1985:203). Murid, oleh aliran progresivisme bukan ditempatkan sebagai subjek pendidikan, melainkan sebagai “orang yang belajar” (peserta didik/learner). Asumsi mengenaipeserta didik tersebut membawa implikasi tersendiri karena bagi progresivisme pendidikan, pendidikan lebih ditempatkan sebagai aktivitas dan pengalaman daripada sebagai pembelajaran verbal dan literal, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan proses pendidikan yang individual dan kompetitif (Ornstein, 1985:203).

Berkaitan dengan peran institusi pendidikan di dalam proses belajar, progresivisme menempatkan sekolah atau institusi pendidikan sebagai tempat yang memberikan kebebasan penuh kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen, dalam arti memperkaya pengalaman seluas-luasnya. Sesuai dengan aliran filsafat pendidikan yang mendasarinya, yakni pragmatisme, progresivisme pendidikan juga menekankan pentingnya proses belajar sebagai pembelajaran mengenai problem solving. Oleh karenanya, dalam rangka membekali peserta didik dengan kemampuan problem solving tersebut, sekolah juga menjadi tempat yang menyediakan semacam “simulasi” kepada peserta didik mengenai realitas yang biasa dihadapi dalam kehidupan yang sebenarnya, dan kemudian memberi kebebasan kepada peserta didik untuk memecahkan persoalan yang diajukan tersebut. Peran institusi pendidikan yang semacam ini, menurut progresivisme sangatlah penting karena sejalan dengan asumsi dasar aliran ini mengenai nilai, progresivisme memiliki pandangan mengenai arti pentingnya konteks sosial dalam proses pembelajaran. Nilai tidaklah bersifat eksklusif karena keberadaannya bukan tidak ditentukan oleh faktor- faktor yang lain. Oleh karenanya berbagai jenis nilai, baik terkait dengan nilai kebenaran (soal pengetahuan), maupun nilai kebaikan (soal moral), dikatakan ada apabila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil eksperimentasi yang dialami manusia di dalam pergaulan hidup sehari-hari (Barnadib, 1997: 32). Inti dari uraian tersebut adalah bahwa dalam aliran pendidikan progresivisme, pengalaman menjadi media yang sangat penting bagi keberhasilan proses belajar.“Pengalaman adalah guru yang paling berharga”, oleh karenanya di dalam pelaksanaan proses pendidikan, progresivisme berusaha sebisa mungkin menghadirkan suatu pengalaman di dalam proses belajar sehingga ketika nantinya peserta didik hidup di realitas masyarakat yang sebenarnya, mereka sudah memiliki pengalaman yang cukup mengenai bagaimana cara memecahkan berbagai macam persoalan. Dengan kata lain, melalui cara seperti ini, kemajuan atau progress manusia sebagai tujuan dari aliran progresivisme tersebut, benar- benar akan bisa dicapai karena liberasi manusia yang dicita-citakan juga bisa diwujudkan dalam proses pendidikan.

Kaitannya dengan kurikulum pendidikan, progresivisme sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk memberlakukan kurikulum yang baku di dalam proses pendidikan karena ketika peserta didik menjadi pusat perhatian, maka kurikulum juga semestinya berasal dari peserta didik, dalam arti sesuai dengan minat dan ketertarikan peserta didik (Barnadib, 1997: 205). Pendidik dalam aliran progresivisme berorientasi pada pandangan filsafat eksperimentalis, sehingga secara umum peran pendidik adalah sebagai fasilitator yang akan membantu peserta didik di dalam mencari cara-cara baru di dalam menyelesaikan proyek mereka masing-masing, dalam arti ketertarikan atau minat mereka atas suatu persoalan (Barnadib, 1997: 205)

Itulah beberapa pandangan pokok mengenai pendidikan menurut aliran progresivisme. Terlepas dari kelemahan yang bisa dijumpai dalam aliran ini, progresivisme pendidikan jelas memiliki beberapa nilai positif yang bisa dipakai sebagai referensi, baik di dalam mengatasi persoalan di bidang pendidikan maupun di dalam mewujudkan sistem pendidikan yang ideal di Indonesia. Bagian selanjutnya, akan menjelaskan mengenai kontribusi aliran pendidikan progresivisme di atas di dalam memecahkan salah satu persoalan pendidikan di Indonesia, yakni mengenai “gagalnya” pembelajaran Pancasila, khususnya di era reformasi sekarang ini.

C. Kontribusi Aliran Pendidikan Progresivisme dalam Pengembangan Pendidikan Pancasila

Selaras dengan pendahuluan yang diangkat di bagian awal tulisan ini, “kegagalan” pendidikan, khususnya pendidikan Pancasila, adalah salah satu isu yang menyebabkan meredupnya eksistensi Pancasila di era reformasi sekarang ini. Asumsi ini, bagi penulis sangat nyata karena pendidikan Pancasila sudah menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Jika kenyataannya Pancasila tetap belum dapat dipahami dengan cara yang diharapkan, tentu aspek pendidikan memegang peran yang besar dalam persoalan tersebut. Bagi penulis, persoalan yang bisa diidentifikasi sebagai penyebab “kegagalan” pendidikan Pancasila, setidaknya ada pada dua kemungkinan. Pertama, kekeliruan dalam hal asumsi ontologis mengenai peserta didik; dan kedua, aplikasi dari metode yang tidak sesuai dengan asumsi ontologis pendidikan kita sehingga yang terjadi pendidikan menjadi tidak tepat sasaran karena materi yang diberikan tidak sesuai dengan “wadahnya”.

Terkait dengan persoalan di atas, penulis tidak akan mencoba memecahkan persoalan dari sudut pandang pertama karena itu menyangkut kajian mengenai manusia (filsafat manusia) sehingga akan menjadi sangat luas dan berkepanjangan. Penulis, dalam makalah ini akan mencoba menganalisis “kegagalan” pendidikan Pancasila dari sudut pandang kedua, yakni dengan menganalisis apakah metode pembelajaran yang selama ini diterapkan di dalam pendidikan Pancasila memang sudah tepat, dalam arti sudah sesuai dengan aspek ontologis peserta didiknya. Kaitannya dengan persoalan ini, penulis nantinya akan mencoba mengatasi kelemahan metode pendidikan Pancasila tersebut dengan mencari sisi positif dari aliran pendidikan yang telah penulis uraikan di bagian sebelumnya, yakni aliran pendidikan progresivisme.

Berbicara mengenai pendidikan Pancasila, bisa dikatakan bahwadi dalam proses pendidikan Pancasila, yang terjadi adalahsemacam “transfer” kebudayaan dari satu generasi ke generasi penerusnya, mengingat Pancasila adalah sistem nilai yang digali dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidik dalam hal ini adalah pihak yang mewakili generasi pewaris, sedangkan murid adalah pihak yang mewakili generasi yang diwarisi.Sampai pada tahapan ini, sebenarnya pendidikan Pancasila bukanlah sesuatu yang salah karena dalam konteks kenegaraan, ideologi bangsa memang perlu dijadikan sebagai materi pendidikan karena ideologi bagaimanapun harus tetap eksis sebagai “filter” yang akan menyaring setiap unsur kebudayaan asing yang masuk; dan sekaligus sebagai “kacamata” yang akan selalu menentukan cara pandang suatu bangsa terhadap setiap persoalan yang dihadapi.Ideologi dengan demikian sangat diperlukan dalam rangka menjaga tujuan-tujuan negara. Kaitannya dengan Pancasila, bisa disimpulkan bahwa sebagai ideologi, Pancasila memang perlu diwariskan kepada setiap generasi melalui proses pendidikan.

Namun demikian, yang menurut penulis menjadi persoalan utama dalam pelaksanaan pendidikan Pancasila selama ini, adalah terkait dengan pemilihan metode yang kurang tepat. Melalui analisis fenomenologis sederhana, bisa diketahui bersama bahwa metode pembelajaran Pancasila, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah, adalah berupa pengajaran mimbar, yakni di satu sisi pendidik sangat aktif berbicara di depan kelas mengenai Pancasila, sedangkan di sisi lain, peserta didik lebih pasif karena hanya mendengarkan dan mencoba memahami materi yang disampaikan oleh pendidik tadi. Bagi penulis, ini adalah satu kesalahan karena metode pembelajaran seperti inilah yang dikritik oleh aliran progresivisme. Pembelajaran yang memberi otoritas yang berlebihan terhadap pendidik dan teks yang disampaikan tidak akan melahirkan kemajuan (progress) karena dalam metode semacam ini, banyak kemampuan dan potensi peserta didik yang tidak diberi ruang untuk berkembang.

Satu hal penting yang bisa diambil dari aliran progresivisme pendidikan di dalam pemecahan persoalan pendidikan Pancasila ini adalah mengenai pentingnya menekankan aspek pengalaman dalam proses belajar. Masyarakat kita telah sejak lama mengenal pepatah bahwa “pengalaman adalah guru yang paling berharga”. Oleh karena itu konsep learning by doing yang diusung oleh aliran progresivisme, perlu untuk dicoba diaplikasikan dalam sistem pembelajaran Pancasila, terlebih apabila mengingat isi atau materi Pancasila yang terkait dengan aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Caranya adalah seperti yang telah dikemukakan di atas, yaitu dengan menghadirkan semacam contoh kasus (persoalan) kepada peserta didik, kemudian pendidik memfasilitasi peserta didik terkait dengan bagaimana cara Pancasila melihat kasus tersebut?; atau bagaimana peserta didik mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam memecahkan persoala tersebut. Perlu diingat bahwa progresivisme menekankan pentingnya pengalaman di dalam keberhasilan pendidikan, dan pengalaman di sini, tentunya adalah pengalaman sebagaimana yang dialami ketika peserta didik berada pada lingkungan sosial-masyarakat yang sesungguhnya. Oleh karenanya, apabila pendidik ingin menghadirkan suatu kasus, kasus itu adalah kasus yang benar-benar bisa dialami oleh peserta didik, dalam arti dialami secara empiris, misalnya dalam bentuk adegan. Hal ini penting karena menghadirkan pengalaman secara abstrak atau sebagai ilustrasi, tetap saja akan berbeda karena peserta didik dalam arti itu tidak “mengalami”, melainkan membayangkan. Tentu hasilnya akan berbeda apabila kasus-kasus tersebut benar-benar dihadirkan secara empiris, dalam arti menjadi adegan: peserta didik akan lebih memahami karena dengan mengalami, peserta didik akan lebih memahami situasi sehingga proses belajar pun akan lebih membuahkan hasil.

D. Penutup

Berdasarkan kajian fenomenologis yang penulis lakukan terhadap pelaksanaan pendidikan Pancasila di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah, satu persoalan besar yang menyebabkan “gagalnya” pendidikanPancasila adalah karena pemilihan metode pembelajaran yang kurang tepat. Metode pembelajaran Pancasila dengan cara “kuliah- mimbar”, yang menekankan peran aktif pendidik dengan berceramah didepan kelas, kiranya memiliki kelemahan. Kelemahannya tidak hanya sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran progresivisme, yaitu bahwa metode semacam ini tidak membawa kemajuan, namun juga lemah karena tidak sesuai dengan materi Pancasila yang meskipun abstrak, sangatlah aplikatif dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Metode ini oleh karenanya perlu disempurnakan dengan “belajar” pada aliran progresivisme pendidikan yang menekankan pentingnya pengalaman dalam proses belajar. Pengalaman adalah guru yang paling berharga, oleh karenanya proses belajar perlu mengakomodasi peran pengalaman tersebut dengan menghadirkan contoh kasus yang konkret dan empiris sehingga dengan mengalami, peserta didik akan lebih mengerti dan memahami, sehingga tujuan pendidikan pun bisa tercapai.

Inilah kontribusi utama dari aliran progresivisme yang bisa dipakai di dalam pengajaran pendidikan di Indonesia, termasuk juga dalam pendidikan Pancasila. Aliran progresivisme sebenarnya memang tidak terlalu banyak berbicara mengenai nilai. Meski demikian, bagi penulis, pentingnya aspek pengalaman sebagaimana yang diusung progresivisme tersebut, tetap bisa diterapkan dalam pendidikan Pancasila (meski Pancasila adalah sistem nilai) karena apa yang penulis ambil dari pemikiran progresivisme pendidikan adalah soal metode dalam pembelajaran. Artinya, apapun materinya, soal metode sebenarnya tetap bisa diterapkan di dalam hal yang berbeda, termasuk soal Pancasila ini. Terlepas dari itu semua, tulisan yang penulis susun ini hanyalah upaya sederhana untuk mencoba memecahkan persoalan besar dalam pendidikan kita, bahkan mungkin persoalan besar dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Sebagai karya yang sederhana, oleh karenanya tentu masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki. Meski demikian, dengan segala keterbatasan tersebut, penulis yakin bahwa sebagai salah satu aliran yang meramaikan diskursus persoalan pendidikan, progresivisme adalah satu aliran yang beberapa asumsi pokoknya bisa digunakan untuk memperbaiki dan memajukan

E. DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam, 1997, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, cet. ke-9, Yogyakarta, Andi Offset

Dardiri, Ahmad, tanpa tahun, “Aspek-Aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan”, dalam Diktat Filsafat Pendidikan.

Ornstein, Allan C dan Levine, Daniel U, 1985, An Introduction to the Foundation of Education, HoughtonMifflin Company, Boston.

Sastrapratedja, M., 2007, “Pancasila sebagai Prinsip Humanisasi Masyarakat, Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila dalam Bidang Sosial Budaya” dalam Memaknai Kembali Pancasila, Yogyakarta, Badan Penerbitan Filsafat Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Penerbit Lima dan Faisal Foundation

24 May

PRESTASI PERSIBA DI TENGAH KISRUH PSSI

Kabupaten Bantul pernah memiliki squad sepakbola kebanggan masyarakat, yaitu Persiba. Pada tahun 2011 tim ini berhasil menorehkan prestasi karena berhasil masuk ke liga kelas satu waktu itu. Namun sayang, pada saat yang sama terjadi kekacauan di PSSI waktu itu. Tulisan ini sedikit merespon fenomena sosial yang cukup menarik tersebut. Beruntung, Koran Merapi menerbitkan artikel ini dalam rubrik Ngudarasa

Spektakuler!!! Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perjuangan skuad Persiba Minggu (22/5/11) lalu ketika sukses menggulung Persidafon dengan skor telak 5-2. Momentum itu sekaligus menjadi saat yang paling bersejarah bagi Persiba karena impian untuk berlaga di tingkatan tertinggi persepakbolaan nasional (ISL) pun akhirnya tercapai. Warga DIY, khususnya Bantul tentu patut berbangga dengan prestasi Persiba ini karena untuk pertama kalinya, Persiba menjadi wakil DIY yang ikut berlaga di kompetisi tertinggi sepakbola dalam negeri.

Namun demikian, ada satu hal ironis yang membarengi prestasi besar yang diperoleh Persiba tersebut. Apalagi kalau bukan kisruh PSSI yang hingga saat ini tidak menunjukkan titik terang. Kongres Nasional yang diselenggarakan 20 Mei 2011 kemarin bahkan hanya menimbulkan kekisruhan yang lebih akut karena pendukung calon yang ditolak oleh FIFA ngotot untuk tetap mengusung calon ketua umum yang tersingkir. Sanksi FIFA pun sudah di depan mata. Hal ini jelas merupakan persoalan yang serius karena jika sampai sanksi dari FIFA benar-benar dijatuhkan pada PSSI, maka semua prestasi yang ditorehkan oleh para atlet sepakbola nasional tidak akan memiliki arti penting di mata dunia internasional karena pada akhirnya mereka tidak diperbolehkan berlaga di ajang internasional. Begitu juga halnya dengan prestasi Persiba yang diperoleh musim ini. Segala macam upaya yang dilakukan untuk menjuarai setiap kompetisi pun bisa jadi sia-sia jika kisruh di tubuh PSSI ini tidak kunjung selesai.

Mencermati kegagalan Kongres PSSI yang lalu, sangat terlihat bahwa Kelompok 78 yang oleh banyak pihak dianggap sebagai biang kegagalan kongres (Vivanews, 22 Mei 20011) hanya mementingkan kekuasaan, dan terkesan sama sekali tidak memikirkan nasib sepakbola nasional. Betapa tidak, sudah jelas bahwa pencalonan Arifin dan George ditolak oleh FIFA, namun mereka tetap saja ngotot agar FIFA mencabut penolakannya atas dua calon tersebut. Jika memang mereka memikirkan nasib sepakbola nasional, khususnya menyangkut eksistensinya di dunia internasional, Kelompok 78 harusnya legawa dan bersama-sama dengan peserta kongres lainnya, memilih calon baru yang benar-benar pantas untuk menjadi ketua umum PSSI.

Membangun kesadaran di kalangan pemimpin memang bukan perkara mudah, terlebih apabila para pemimpin tersebut sudah haus akan kekuasaan, persis seperti yang terlihat pada kongres kemarin. Namun demikian, kesadaran terhadap nasib persepakbolaan nasional tersebut bagaimanapun sangatlah penting karena selain menjadi wadah bagi generasi bangsa di dalam melahirkan berbagai macam prestasi, sepakbola juga bisa menjadi senjata yang sangat efektif untuk menggenjotrasa nasionalisme bangsa Indonesia. Ajang piala AFF 2010 yang lalu, telah memberikan pelajaran yang sangat berharga betapa sepakbola bisa mendatangkan ‘keajaiban nasionalisme’. Ketika di babak penyisihan Timnas Indonesia memperoleh kemenangan berturut-turut atas Malaysia, Laos, dan Thailand, perhatian masyarakat pun tertuju pada pemberitaan tersebut sehingga seketika para pemain timnas menjadi idola, bak pahlawan yang dielu-elukan oleh seluruh rakyat. Kebanggaan rakyat atas negaranya pun meningkat tajam, dan seketika nasionalisme bangsa Indonesia membahana hingga ke pelosok negeri. Kaos, jaket, dan berbagai macam atribut Timnas diminati oleh seluruh rakyat sehingga prestasi Timnas pun berdampak di bidang ekonomi karena banyak pengusaha kaos yang kemudian ikut mendapat ‘buah manis’ lantaran mendapat omzet yang jauh melebihi biasanya.

Apa yang kita saksikan dalam dunia sepakbola ketika itu adalah pelajaran berharga yang seharusnya diingat oleh para petinggi PSSI yang sekarang sedang beradu ego mereka masing-masing. Sepakbola Indonesia harus benar-benar ditangani dengan serius karena ia tidak hanya merupakan wadah berprestasi bagi insan sepakbola di seluruh tanah air, tetapi ia bahkan bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk membangkitkan rasa nasionalisme bangsa. Nasionalisme adalah sikap yang terkait dengan rasa baggga terhadap suatu negara. Dan rasa bangga tersebut sebenarnya akan muncul dengan sendirinya ketika sepakbola kita menorehkan prestasi di laga internasional. 

Prestasi sepakbola nasional di masa mendatang inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan para petinggi PSSI, dan bukannya malah saling bertikai atau bahkan membangkang terhadap keputusan FIFA. Kisruh PSSI harus segera diatasi demi membangun kembali prestasi sepakbola nasional. Tanpa kepengurusan yang baik, dunia sepakbola nasional akan mati. Berbagai macam prestasi anak negeri, termasuk prestasi yang diperoleh Persiba saat ini pun, akan menjadi sia-sia karena tidak ada lagi penghargaan atas prestasi mereka. Tentu saja hal ini sangat tidak kita harapkan.

24 May

MEMPELAJARI ANATOMI BENCANA MERAPI

Ketika Gunung Merapi yang berlokasi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah bergejolak sekitar tahun 2011/2012, penulis ikut membahas permasalahan bencana tersebut. Artikel ini dimuat di rubrik Gagasan di Harian Solopos, tetapi tahun persisnya tidak ingat.

Sudah seminggu lebih Merapi meletus, namun hingga sekarang belum juga muncul tanda-tanda penurunan aktivitasnya. Bahkan jumlah korban jiwa justru semakin bertambah seiring meningkatnya letusan gunung teraktif di dunia ini. Berdasarkan pemberitaan yang dilansir oleh beberapa media massa, sebagian besar korban jiwa dalam letusan Merapi adalah penduduk yang tidak mematuhi himbauan pemerintah dan lembaga terkait dengan perintah evakuasi. Hal ini tentu menjadi persoalan karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ternyata masyarakat tidak memiliki kesadaran mengenai ancaman dan bahaya Merapi.

“Anatomi” bencana Merapi

Sesuai dengan World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang, bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Terkait dengan letusan Merapi tahun 2010 ini, maka faktor bahaya adalah ancaman Merapi itu sendiri, dan faktor kerentanan adalah kesiapan atau daya tahan masyarakat di lereng Merapi terhadap bahaya gunung tersebut.

Sesuai dengan realitas yang bisa kita lihat bersama, tampak bahwa ternyata letusan Merapi telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ini berarti bahwa letusan Merapi memang telah menjadi bencana, dan pangkal persoalannya pun cukup jelas, yaitu faktor kerentanan (vulnerability), dalam hal ini adalah masyarakat yang kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya dari gunung tersebut.

Ada setidaknya dua faktor yang menjadi penyebab kerentanan atau ketidaksiapan masyarakat di sekitar lereng Merapi. Pertama, ada kearifan lokal yang bercorak mitis (mitos) di kalangan masyarakat lereng Merapi bahwa Merapi dan penduduk merupakan satu kesatuan, sehingga muncul keyakinan bahwa Merapi tidak akan melukai penduduk sekitarnya. Keyakinan ini dikuatkan dengan hadirnya tokoh seperti Mbah Maridjan yang dianggap memiliki peran “istimewa”, yaitu sebagai penjaga hubungan penduduk dengan Merapi. Kedua, masyarakat melupakan sejarah letusan Merapi di masa lalu, sehingga mereka pada umumnya tidak menyadari atau menganggap enteng bahaya letusan Merapi. Dua faktor di atas berujung pada satu sikap yaitu keyakinan bahwa letusan Merapi tidak akan seburuk seperti yang diperkirakan, sehingga sejumlah penduduk pun tetap bertahan di rumah mereka meskipun pemerintah sudah menghimbau untuk mengungsi. Sikap inilah yang menjadi faktor kerentanan (vulnerability) dalam bencana Merapi, dan hal ini terbukti dari banyaknya jumlah korban yang meninggal di dalam rumah karena tidak mematuhi himbauan evakuasi.

Dari “mitos” ke “logos

Untuk menghindari kejadian yang sama di masa yang akan datang, faktor kerentanan manusia ini perlu di atasi, dan kuncinya adalah mitos yang berkembang di masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas. Mitos memang tidak selamanya salah karena mitos memberikan cara pandang yang lebih arif terhadap lingkungan. Namun, akan menjadi persoalan apabila mitos digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan keputusan penting seperti di dalam letusan Merapi ini. Oleh karenanya, masyarakat seharusnya perlu sedikit membuka diri terhadap “logos”, dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang bisa menjelaskan banyak hal tentang Merapi dengan cara yang bisa dimengerti oleh rasio.

Sejak awal, Dr. Surono (kepala PVMBG) telah mengemukakan temuan ilmiah mengenai peningkatan aktivitas Merapi. Dan perhitungan yang dilakukan juga selalu bisa diandalkan. Oleh karenanya, dalam rangka mengurangi faktor kerentanan, masyarakat seharusnya memperhatikan pertimbangan ilmiah tersebut, khususnya terkait dengan himbauan untuk proses evakuasi. Namun sayangnya, masyarakat terlalu menganggap remeh bahaya Merapi sehingga faktor kerentanan tersebut bukannya teratasi tetapi justru semakin membesar, yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa.

Mengubah pandangan masyarakatBertolak dari persoalan di atas, peristiwa meletusnya Gunung Merapi yang terhitung dahsyat ini perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi dan refleksi, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di lereng Merapi. Sebagai solusi jangka panjang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama,harus dibangun kesadaran mengenai bahaya (hazard) Merapi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bung Karno pernah berpesan “Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah), oleh karenanya peristiwa letusan tahun ini harus diingat dan diceritakan kepada generasi berikut sehingga kesadaran akan bahaya Merapi tetap ada di ingatan masyarakat. Kedua, masyarakat juga perlu melakukan perubahan cara pikir. Yaitu dengan  membiasakan diri menerima penjelasan dan pertimbangan ilmiah karena dalam banyak hal pertimbangan ilmiah bisa memberikan penjelasan yang lebih masuk akal. Pertimbangan ilmiah bersifat empiris-rasionalis, dan bukan spekulatif sehingga masih bisa diandalkan untuk “mengawal” objek alamiah, seperti Merapi. Kedua upaya di atas akan membantu mengatasi faktor kerentanan di pihak manusia. Sehingga ketika di waktu yang akan datang bahaya (hazard)  kembali mengancam, masyarakat bisa menghadapinya dengan kerentanan (vulnerability) yang minimum sehingga peristiwa alam tidak perlu menjadi bencana. Semoga.

24 May

MEMBANGUN MASYARAKAT SADAR BENCANA

Mengawali tahun 2012, di Indonesia terjadi banyak bencana alam. Artikel yang sempat diterbitkan di Koran Merapi ini, ditulis untuk merespon fenomena alam tersebut.

Pada umumnya, orang selalu menaruh harapan baru ketika datang tahun yang baru. Ini pula yang kemarin terlihat ketika tahun 2011 berakhir dan digantikan dengan tahun 2012. Banyak orang berharap agar keadaan di tahun 2012 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, ternyata kenyataannya tidak semudah yang diinginkan. Di awal tahun 2012 ini justru ada banyak kejadian buruk yang menimbulkan kerugian, bahkan membawa korban Jiwa. Salah satunya adalah terjadinya angin kencang atau angin puting beliung di sejumlah tempat di Indonesia.

Beberapa hari yang lalu berbagai pemberitaan di media massa menayangkan bagaimana topan Iggy yang hanya “nyrempet” ke wilayah Indonesia telah menyebabkan banyak kerugian. Akibat ulah topan tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada setidaknya 14 orang meninggal dunia di wilayah Jawa dan Bali (Kompas.com, 29 Januari 2012). Tak hanya itu, angin puting beliung juga terjadi di Gunung Kidul. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, namun peristiwa tersebut mengakibatkan setidaknya 10 rumah rusak (Kedaulatan Rakyat, 2 Februari 2012).

Banyaknya kerusakan yang dialami oleh masyarakat kita akibat peristiwa alam, misalnya angin puting beliung tersebut, sebenarnya mengindikasikan banyak hal. Pertama, berbagai fenomena alam tersebut menunjukkan bahwa alam memang sedang bergolak dalam rangka mengembalikan keseimbangannya. Kita sepatutnya sadar bahwa sebenarnya manusia adalah bagian dari alam, dan mau tidak mau, kita harus menerima “perlakuan” alam tersebut. Kedua, dan yang paling penting, kerusakan di pihak manusia tersebut menunjukkan bahwa manusia belum atau kurang siap di dalam menghadapi fenomena alam tersebut, sehingga tidak mampu meminimalisir akibat buruk yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.

World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Jepang, menyepakati bahwa bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Dalam kasus angin puting beliung yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, faktor bahaya sangatlah jelas, yakni angin puting beliung itu sendiri. Sedangkan faktor kerentanan adalah kesiapan kita di dalam menghadapi peristiwa tersebut, termasuk juga prosedur mitigasi bencana yang kita miliki. Ketika faktor bahaya (angin puting beliung) tersebut dihadapi dengan kerentanan yang tinggi (kesiapan yang rendah di pihak manusia), maka terjadilah kerusakan di pihak manusia. Di posisi inilah, peristiwa tersebut dapat disebut sebagai bencana.

Jika anatomi dari bencana puting beliung tersebut sudah dapat kita ketahui, tentu pertanyaan besarnya adalah: lalu bagaimana kita bisa mengurangi kerusakan di pihak manusia? Jawabannya adalah sangat jelas, yaitu bahwa kita perlu mengurangi faktor kerentanan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin jika sewaktu-waktu bencana yang sama datang. Upaya ini dapat ditempuh setidaknya dengan 3 cara. Pertama, perlu disadari bahwa cuaca sebenarnya adalah satu keadaan yang bisa “diramalkan”, termasuk potensi terjadinya angin kencang. Untuk itu, pemerintah harus mampu menyediakan informasi seluas-luasnya tentang potensi-potensi tersebut kepada masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah bisa menggunakan media elektronik, seperti radio atau televisi, agar masyarakat bisa terus mengikuti perkembangan informasi cuaca.

Kedua, baik pemerintah maupun masyarakat harus pro-aktif di dalam menyediakan informasi tentang angin puting beliung. Pemerintah bisa menempuh upaya ini dengan melakukan sosialisasi ke berbagai daerah tentang angin puting beliung, beserta panduan untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Penyediaan poster atau pamflet barangkali sudah cukup efektif untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat. Sebaliknya, di pihak lain, masyarakat juga harus secara mandiri memperkaya diri dengan informasi tentang bencana alam, sehingga upaya dari kedua pihak bisa bertemu pada satu titik, yang nantinya akan meningkatkan pemahaman masyarakat itu sendiri.

Ketiga, dan yang tidak kalah penting, perlu disosialisasikan mitigasi untuk bencana puting beliung itu sendiri. Mitigasi bencana tersebut akan memberikan panduan kepada masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan sebelum, ketika, dan setelah bencana terjadi. Termasuk upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat di daerah rawan agar lebih siap secara fisik dan mental di dalam menghadapi bencana yang sama di masa yang akan datang. Upaya ini barangkali adalah yang paling penting karena dengan tersedianya mitigasi bencana yang baik, maka kerusakan ataupun jatuhnya korban benar-benar dapat diminimalisasi.Itulah tiga upaya yang dapat dilakukan untuk membangun masyarakat sadar bencana. Kesadaran terhadap bencana adalah satu hal yang bukan saja penting, tapi juga harus dimiliki karena memang secara geografis negara kita adalah negara yang rawan dengan berbagai macam bencana. Dengan kesadaran yang tinggi terhadap potensi bencana, maka masyarakat kita akan lebih siap di dalam menghadapi bencana apapun. Semoga…

24 May

KOMUNIKASI PEMIMPIN ALA SBY

Pada tahun 2012, perbincangan tentang status keistimewaan Yogyakarta menjadi perbincangan hangat di media massa. Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan diterbitkan di media cetak, jika tidak salah di Solopos, untuk ikut meramaikan diskusi tentang isu tersebut. Namun sayang, oleh karena satu dan lain hal, arsipnya tidak ketemu. Jika ada pembaca yang bisa menemukan tautan untuk artikel ini, saya akan sangat terbantu.

Presiden SBY kembali menjadi pembicaraan di berbagai media. Pidatonya dalam pembukaan rapat kabinet (26/11) yang kemudian diklarifikasi pada hari Kamis (2/12) lalu telah mengundang polemik di kalangan masyarakat. Sebagaimana dilansir di beberapa media, pernyataan presiden SBY pada rapat kabinet tersebut sangat disayangkan oleh berbagai kalangan karena SBY dianggap tidak mengetahui substansi dari keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya sudah diatur di dalam konstitusi (UUD ’45). Menanggapi reaksi publik yang tidak terduga itu, presiden SBY pun menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi pidato yang dianggapnya telah disalah-pahami oleh masyarakat. Banyak hal yang ia sampaikan sehingga pidatonya menjadi agak tidak jelas. Bahkan apa yang ia sampaikan terkesan hanya merupakan retorika yang berbau apologi karena semua yang dikeluhkan oleh publik, ia klarifikasi semuanya. Tentang aspek sejarah, pasal 18 UUD ’45, solidaritasnya terhadap bencana Merapi, sikap hormatnya atas Sultan dan PakuAlam, dan masih banyak lagi. Banyak pihak yang kemudian menilai klarifikasi SBY ini merupakan strategi pencitraan karena ia tampak seperti berusaha meraih kembali simpati publik, terutama dari masyarakat Yogyakarta, setelah pidatonya mengundang kontroversi di berbagai media.

Terlepas dari materi yang disampaikan di dalam klarifikasinya tersebut ada beberapa kelemahan yang sebenarnya bisa kita amati di dalam kebiasaan komunikasi atau pidato yang dilakukan oleh  SBY. Pertama, dibandingkan dengan orang-orang yang pernah menjabat sebagai presiden RI, SBY terkesan terlalu sering berbicara di hadapan publik sehingga seringkali ia sendiri justru kerepotan menanggapi reaksi publik akibat pidato-pidatonya yang kontroversial. Hal ini sebenarnya sangat disayangkan karena di antara orang-orang yang menjadi stafnya, sudah ada orang yang ditunjuk sebagai juru bicaranya, yaitu Julian Aldrin Pasha. Semestinya, SBY menyerahkan sebagian besar fungsi penerangannya tersebut kepada juru bicaranya, sehingga ketika mungkin ada kesalahan ucap (sliped tangue), hal itu tidak sampai berpengaruh terhadap kredibilitasnya sebagai kepala negara.

Kedua, SBY juga sering berbicara out of context atau terkadang tidak memperhatikan konteks. Misalnya menyertakan isu A dalam pidatonya mengenai B. Hal ini tentu juga menjadi masalah karena persoalan yang kecil bisa menjadi persoalan yang besar akibat dari penyebaran “prematur” dari satu isu, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ketiga, entah disengaja atau tidak, hampir semua pidato yang dikemukakan SBY, selalu disiarkan secara live di berbagai media elektronik. Hal ini sangat potensial menimbulkan polemik karena ketika disiarkan di media massa, sebagian besar masyarakat tidak akan menyadari konteks di mana pidato tersebut disampaikan. Akibatnya, yang menjadi fokus perhatian hanya materi pidatonya. Akan sangat berbahaya jika materi pidatonya tersebut adalah persoalan yang sensitif, dan hal ini pula yang sebenarnya memicu polemik di media massa akhir-akhir ini.

Apabila presiden SBY masih menginginkan kepercayaan publik, kelemahan di atas tentu perlu diatasi karena hal itu tidak hanya mengurangi kredibilitasnya sebagai kepala negara, tetapi juga merugikan kepentingan politik yang ia miliki. Presiden SBY perlu ‘memperbaiki’ gaya komunikasi yang selama ini dilakukan sehingga kedudukannya sebagai kepala negara tidak tereduksi oleh kontroversi yang ia munculkan sendiri.

Sabda Pandhita Ratu

Terkait dengan komunikasi seorang pemimpin, ada satu petuah luhur yang pernah dikemukakan oleh Raja Surakarta Hadiningrat, yaitu Pakubuwana IV, yang dituliskan ke dalam sebuah serat yang diberi nama Wulangreh.Beliau sudah memberi rambu-rambu kepada setiap manusia, khususnya para pemimpin agar tidak memiliki watak adiguna, yaitu watak seorang manusia yang mengandalkan kata-katanya (seperti ular yang mengandalkan bisa-nya). Pemimpin yang demikian ini tidak akan mendapatkan keluhuran, tetapi justru akan mati sampyoh karena pada akhirnya ia tidak akan memperoleh kebaikan dari sifatnya tersebut, dan justru keburukan yang akan ia dapatkan. Ajaran luhur ini tentu bisa menjadi bahan refleksi bagi para pemimpin kita agar tidak terjebak di dalam kesulitan yang ditimbulkan oleh kata-katanya sendiri.Seorang pemimpin adalah sosok yang menjadi panutan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karenanya perkataan yang dikemukakan tidak hanya dimaknai sekedar kata-kata, tetapi lebih dari itu. Perkataannya bisa saja menjadi hukum, yang tentu saja membawa implikasi yang sangat besar terhadap kekuasaan yang ia miliki. Karenanya seorang pemimpin haruslah berhati-hati dalam memilih kata. Di dalam ajaran filsafat kepemimpinan Jawa, hal ini sering disebut dengan sabda pandhita ratu, dan sebenarnya patut disayangkan apabila pemimpin negeri ini tidak menyadari akan hal ini. Ajaran mengenai sabda pandhita ratu secara garis besar berarti bahwa perkataan seorang pemimpin adalah ibarat ucapan pandhita yang selalu manjur, dalam arti ucapannya selalu memiliki efek yang mendalam. Oleh karenanya kata-kata seorang pemimpin tan kena wola wali atau tidak boleh plin-plan. Untuk menghindari hal ini, maka pemimpin seharusnya lebih banyak diam namun diam yang penuh strategi. Ia hanya berkomentar ketika sangat dibutuhkan, dan komentarnya adalah komentar yang menunjukkan sikap finalatau prinsipnya atas masalah yang sedang dihadapi. Inilah yang seharusnya menjadi gaya komunikasi seorang pemimpin, dan bukannya mengobral pidatoyang tidak jelas substansinya.

24 May

HUMANISME EKOLOGIS BERBASIS TRI HITHA KARANA

Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan pernah diterbitkan di Balipost. Saya berusaha mencari tautan untuk mencari terbitan di Balipost, tetapi sampai sekarang belum bisa menemukannya. Apabila ada yang bisa membantu saya menemukan tautannya, tentu saya akan sangat berterima kasih.

Indonesia kembali berduka. Hujan yang turun dengan intensitas cukup tinggi telah menyebabkan banjir di sejumlah daerah di seluruh negeri ini. Meski tidak banyak korban jiwa dalam bencana banjir tersebut, namun jika diakumulasikan, kerugian material dari bencana banjir jelas tak terhitung lagi. Banyak infrastruktur yang rusak, kegiatan perekonomian masyarakat juga terganggu, dan masih banyak akibat yang lainnya. Beberapa pihak kemudian menyalahkan alam atas bencana ini, namun ini tentu tidak benar karena entah besar atau kecil, jelas ada campur tangan manusia dalam bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Manusia dan hukum alam

Bumi yang kita tempati adalah tempat yang memiliki aturan yang sangat ‘tegas’. Ada hukum alam yang di dalamnya terdapat hukum sebab-akibat; ada pula hukum Tuhan yang bekerja dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. Meski peristiwa atau kejadian alam di sekitar kita tampaknya kacau, kita percaya bahwa alam adalah tempat yang harmonis. Dalam arti bahwa setiap bagian berada pada tempatnya masing-masing, dan bekerja bersama-sama membentuk satu keadaan yang kita beri nama “keseimbangan”. Karena keseimbangan ini pula, di dalam agama Hindu kita kenal ajaran mengenai Tri Hitha Karanayang salah satu isinya adalah ajaran untuk menjaga hubungan baik kita dengan alam.

Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk mengembalikan keseimbangannya ketika keseimbangan ini mengalami gangguan. Gempa bumi, gunung meletus, dan banjiryang dari sudut pandang manusia dianggap sebagai “bencana”, dalam frame yang lebih besar hanyalah bagian dari mekanisme alam untuk mengembalikan keseimbangannya, yang sebenarnya justru amat diperlukan bagi keseimbangan alam itu sendiri.Namun persoalannya adalah bahwa di samping keseimbangan itu berubah oleh mekanisme yang dimiliki oleh alam, manusia ternyata juga ikut berperan dalam merubah keseimbangan itu. Campur tangan manusia ini bahkan terlalu ekstrim sehingga alam pun mengembalikannya dengan cara yang ekstrim. 

Ketika manusia mulai berpikir secara fungsional, maka ia sudah membuat jarak dengan alam, bahkan mulai berpikir tentang bagaimana caranya agar alam yang ada dihadapannya bisa digunakan seluas-luasnya untuk kepentinganmanusia. Ada perbedaan yang tegas dan jelas antara manusia dan alam sehingga manusia seringkali lupa bahwa ia sendiri adalah bagian dari alam yang masih terikat dengan segala hukum yang bekerja di dalamnya. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap humanistik yang berlebihan atau kelewatan karena dalam titik ekstrim manusia tidak akan memperhatikan lagi seberapa jauh kerusakan lingkungan yang telah diakibatkannya. Nalar yang bekerja menjadi nalar kapitalis-ekonomis sehingga yang menjadi orientasi utama adalah keuntungan manusia sendiri.

Tri Hitha Karana dan humanisme-ekologis

Perubahan iklim yang mulai kita rasakan, beserta berbagai bencana yang muncul, menunjukkan pada kita bahwa mungkin selama ini kita memang salah memperlakukan alam yang kita tinggali. Berbagai bencana di tanah air memberitahukan kepada kita bahwa kita perlu membangun solusi, baik jangka pendek maupun jangka panjang agar peristiwa serupa tidak terulang di masa yang akan datang. Solusinya, perlu ada semacam gerakan untuk memperbaiki lingkungan kita, dan dalam hal ini sebenarnya perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang akan dilaksanakan di sejumlah daerah.Diakui atau tidak, manusia memiliki campur tangan yang besar atas kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, dan sebagaimana diuraikan di atas, hal ini terjadi karena faktor mentalitas, yaitu sikap kita yang salah dalam menempatkan dan memperlakukan alam. Oleh karenanya, perlu dilakukan tindakan yang juga berkaitan dengan mentalitaskita, yaitu melakukan re-orientasi fundamental mengenai persepsi kita atas alam. Hal ini berarti bahwa kita perlu melakukan rekonstruksi menyeluruh pada konsepsi atas alamyang kita miliki selama ini. Perlu ada semacam re-definisi atas alam yang kita tempati, dan dalam hal ini kita bisa belajar pada agama Hindu, yakni mengenai konsepTri Hitha Karanasebagai salah satu contoh sikap yang bijaksana dalam memandang alam. Jangan lagi menganggap alam sebagai sesuatu yang eksternalmanusiakarena manusia dan alam adalah dua hal yang menyatu. Manusia adalah bagian dari alam, dan apabila terjadi sesuatu pada alam, manusia tohjuga akan ikut merasakannya.

Kesadaran semacam inilah yang perlu kita bangun bersama-sama, dan tentu saja untuk mencapainya perlu komitmen yang kuat dari diri kita masing-masing. Intinya, perlu dibangun semacam etika yang berbasis pada nilai-nilai kosmologis dan ekologis, yaitu etika yang berbasis pada nilai-nilai yang mengagungkan keharmonisan dan kelestarian alam, seperti Tri Hitha Karana di atas. Upaya ini memang bukan upaya yang mudah dan instan, namun ia bukanlahupaya yang sederhana karena apabila mampu diwujudkan, akan menjadi solusi yang komprehensif atas persoalan ekologis yang kita hadapi saat ini. Dengan begitu, kita akan bangga dengan dunia yang akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang.