DEMOKRASI ALA MILLENIAL INDONESIA

Demonstrasi di Era Millenial
Sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia tidak pernah dapat dilepaskan dari peran generasi muda. Terjadinya proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dan bergulirnya era Reformasi tahun 1998 selalu melibatkan peran pemuda. Begitu pula dengan peristiwa demonstrasi UU Cipta Kerja atau omnibus law yang sedang hangat menghiasi media massa belakangan ini. Untuk ke sekian kalinya generasi muda turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang mereka anggap sudah tidak lagi didengar oleh para wakil rakyat.
Kesediaan anak muda untuk ikut menyampaikan aspirasi mereka dengan cara demonstrasi ini dalam beberapa aspek dapat dianggap sebagai hal yang positif di dalam pelaksanaan demokrasi. Demonstrasi menjadi salah satu indikasi bahwa proses demokrasi berjalan dengan baik. Aspirasi rakyat dapat disampaikan di muka publik dan dapat didengar oleh representasi mereka di lembaga perwakilan.
Sebagaimana wajarnya di dalam negara demokrasi, fenomena ini tentu ditanggapi secara berbeda-beda. Ada pihak yang mengapresiasi, namun tentu saja ada pihak yang mengkritik dan tidak setuju. Terlebih ketika demonstrasi yang dilakukan kemudian dikotori dengan perilaku anarkis yang merusak fasilitas umum. Wajar kemudian jika muncul beragam reaksi penolakan terhadap demonstrasi anarkis ini. Begitu juga dengan komentar-komentar para politisi yang kemudian memandang negatif pelaksanaan demonstrasi yang dilakukan oleh kaum muda, atau yang populer disebut dengan generasi millenial ini. Bergulirlah kemudian pernyataan bahwa generasi millenial dianggap hanya bisa berdemo dan kurang berkontribusi bagi persoalan negeri ini. Pernyataan yang menyerang generasi millenial ini adalah pernyataan yang sangat berisiko, terlebih di dalam konteks politik. Ada beberapa alasan. Pertama, generasi millenial Indonesia memiliki populasi yang dapat dibilang tidak sedikit. Laman setkab.go.id melansir survei BPS yang dilakukan pada tahun 2018. Survei ini mencatat generasi millenial Indonesia sejumlah 90 juta orang. Angka ini jelas menjadi modal politik yang sangat besar. Membidik generasi millenial karenanya merupakan keuntungan yang besar dalam politik. Sebaliknya, ‘menyerang’ generasi millenial juga hal yang sangat berisiko. Alasan kedua, generasi millenial adalah generasi yang memiliki karakter khas. Generasi ini lahir ketika komputer, internet, dan segala atributnya sudah hadir di hadapan mereka. Mereka berpikiran terbuka, terbiasa menerima informasi dari bermacam sumber, dan media sosial adalah teman mereka sehari-hari. Generasi ini membagikan keluh kesah, gaya hidup, kebahagiaan mereka di media sosial, yang tidak jarang menjadi viral. Ketika viral, maka opini pun berkembang. Opini generasi millenial bisa saja berkembang menjadi opini masyarakat lintas generasi. Risiko ini harus disadari oleh siapa pun yang bergelut di dunia politik.
Rakyat Millenial
Demokrasi menjadi sistem politik yang populer dan dianut oleh banyak negara karena sistem politik ini memberikan rakyat kedaulatan di dalam jalannya pemerintahan. Abraham Lincoln menyebutnya dengan istilah sederhana, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Peraturan dibuat oleh rakyat, dijalankan oleh rakyat, diawasi oleh rakyat, tentunya melalui orang-orang yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Terlepas dari representatif dan tidaknya orang-orang yang duduk di lembaga perwakilan, demokrasi membuka peluang bagi setiap rakyat untuk berperan dalam berbagai bentuk.
Rakyat adalah aktor utama di dalam negara demokrasi. Suara dari satu orang adalah hal yang penting dan harus dihargai. Tidak peduli apakah suara itu berasal dari golongan usia lanjut, atau dari golongan millenial, semuanya penting. Semuanya harus didengarkan. Peristiwa demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan pasca disahkannya UU Cipta Kerja ini sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia dan merupakan mekanisme yang wajar di dalam negara demokrasi. Demonstrasi adalah wujud dari penyampaian secara terbuka pendapat rakyat kepada pemerintah, ketika rakyat menilai bahwa aspirasinya tidak lagi didengar oleh para wakilnya di pemerintahan. Begitu pun halnya dengan rangkaian demonstrasi yang terjadi selama pengesahan UU Cipta Kerja. Rakyat menilai bahwa aspirasi rakyat tidak didengarkan, sehingga dipakailah penyampaian pendapat secara terbuka dalam bentuk demonstrasi. Ini adalah proses yang wajar di dalam demokrasi.
Oleh karena setiap suara sangat penting di dalam negara demokrasi, maka suara generasi millenial Indonesia juga seharusnya tidak dipandang sebelah mata. Selain karena generasi millenial adalah bagian dari rakyat, generasi millenial juga menjadi modal politik yang penting mengingat jumlah dan perilaku mereka yang dekat dengan media informasi. Abad ke-21 adalah abad informasi. Baudrillard seorang filsuf kenamaan Perancis sudah memperingatkan bahwa informasi selalu lekat dengan tiga hal, representasi, simulasi, dan manipulasi. Oleh karenanya, siapa pun yang menguasai sumber-sumber informasi akan memiliki peluang yang besar untuk mempengaruhi opini publik, termasuk opini politik. Generasi millenial sangat dekat dan bahkan akrab dengan teknologi informasi. Tiktok, instagram, Youtube adalah platform yang mereka gunakan setiap hari. Di platform ini konten berkembang dengan sangat cepat, berdatangan bagaikan tsunami informasi yang tak bisa dibendung. Memilih jalan politik yang melawan arus generasi millenial jelas merupakan tindakan yang berisiko. Kebencian, ketidaksukaan dan berbagai sentimen lain akan viral dan dalam sekejap mempengaruhi opini publik dalam skala yang lebih luas.
Generasi Potensial
Hampir satu dekade lalu, generasi millenial terbukti memegang peran yang besar di dalam proses pemilihan kepala daerah di sejumlah provinsi di Indonesia. Sebagai contoh terpilihnya Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 silam. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pasangan Jokowi – Ahok dalam memenangkan Pilkada DKI Jakarta salah satunya disebabkan karena pendekatan yang dilakukan di media media sosial, pop culture, dan juga game. Ketiganya adalah dunia yang dekat dengan generasi millenial. Pendekatan yang relatif sama juga dijalankan di dalam Kabinet Kerja II yang memasukkan beberapa kalangan millenial di dalam staf khusus kepresidenan. Disadari atau tidak, upaya-upaya semacam ini membuat kalangan generasi millenial ikut merasa memiliki dan ikut berkontribusi di dalam jalannya pemerintahan.Generasi millenial harus dirangkul. Pemerintah sudah memberikan langkah yang bagus dengan memasukkan kalangan generasi millenial pada beberapa jabatan penting di lingkatan eksekutif. Citra dan niat baik ini harus terus dijaga agar perasaan ikut memiliki juga terus terjaga. Banyak penelitian telah menunjukkan potensi besar yang dimiliki oleh generasi millenial ini di berbagai bidang kehidupan. Salah satunya dalam bidang politik. Mereka adalah pemilih pemula yang potensial. Energi dan semangat mereka masih besar. Optimisme mereka adalah kekuatan. Tantang mereka dengan pertanyaan: apa yang bisa kalian berikan untuk bangsa dan negaramu?