13 Jun

ONTOLOGI TERORISME DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT EKSISTENSIALISME GABRIEL H. MARCEL

Tindakan terorisme adalah salah satu tindakan yang mengancam harmoni sosial di Indonesia. Pemicunya bermacam-macam, dan motifnya pun berbeda-beda. Pelakunya nekat, dan terkesan tidak berpikir panjang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tulisan ini mencoba memahami perilaku terorisme ini dalam perspektif ontologi eksistensialisme Gabriel H. Marcel. Tulisan ini sudah diterbitkan di Jurnal Filsafat, Vol. 24 No. 1 Tahun 2014. Silakan akses melalui tautan berikut:

https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/34760

Selamat membaca..!

Abstrak

Terorisme adalah salah satu kejahatan yang paling mengerikan. Berbagai upa- ya telah dilakukan oleh pemerintah, namun demikian, hingga saat ini terorisme masih saja menjadi isu serius. Sebagai sebuah perilaku manusia, kejahatan terorisme adalah satu hal yang dapat dinilai dari berbagai macam perspektif, termasuk juga dari frame filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel sebagai- mana yang diuraikan pada tulisan ini. Berkaitan dengan analisis atas perilaku terorisme di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme, khususnya yang dilakukan dengan bom bunuh diri, adalah perilaku yang secara ontologis merupakan bagian dari upaya yang dipilih manusia untuk mencapai “Ada”, yang juga menyangkut pertemuan antara “Aku” dan “Engkau”. Terlepas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuatan), dalam perspek- tif Marcel, perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang “manusiawi” karena “prosedur” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal keputusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil.

PENDAHULUAN

Pada tahun 2013 pemerintahan SBY–Boediono sudah hampir memasuki akhir masa kerjanya. Banyak yang mengemukakan adanya kemajuan, namun tidak sedikit pula yang mengatakan adanya kemun- duran. Terlepas dari penilaian positif dan negatif atas kinerja pemerin- tahan SBY–Boediono tersebut, ada satu hal yang tentu tidak bisa di- pungkiri begitu saja, yaitu bahwa masih ada banyak permasalahan serius di negeri ini yang belum mampu diatasi. Di antara sekian banyak persoalan tersebut, terorisme adalah isu yang sampai sekarang masih menjadi isu utama di negeri ini.

Terorisme sebenarnya bukanlah permasalahan baru karena isu ini sudah ada di masa pascakemerdekaan, misalnya dalam bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bermaksud memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isu teror- isme ini, namun demikian, kembali mencuat sepuluh tahun terakhir. Era Reformasi yang mengusung semangat demokrasi dan kebebasan seolah memberi peluang baru bagi munculnya pandangan-pandangan yang dulu sempat terbungkam. Kondisi ini menimbulkan permasalah- an tersendiri karena seolah justru memperparah keadaan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Di satu sisi, bangsa kita harus terus bertahan di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang membanjiri masyarakat dengan ideologi dan nilai yang bermacam-ma- cam. Namun di sisi yang lain, soliditas Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara juga semakin berkurang.

Salah satu pandangan yang muncul kembali di era Reformasi ini adalah kaum radikal yang tegas menolak proses modernisasi dan pe- netrasi ideologi Barat. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap yang wajar dan sah-sah saja karena siapapun boleh menyikapi modernisasi dan globalisasi sesuai dengan pendapat mereka masing-masing. Na- mun demikian, satu hal yang menjadi persoalan serius dari munculnya pandangan semacam ini adalah terkait dengan cara mereka “berargu- men”, yaitu dengan menyebarkan teror. Terorisme kemudian menjadi satu kejahatan yang paling mengerikan, yang kini juga telah meresah- kan masyarakat di negeri ini. Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh pemerintah, tidak terkecuali pemerintahan SBY. Namun demi- kian, hingga saat ini terorisme masih saja menjadi isu serius.

AM. Hendropriyono mengatakan bahwa terorisme biasanya ber- akar pada penindasan dan ketidakadilan sosial, namun sekali ia mun- cul, ia memiliki karakter seperti Candrabirawa, yaitu karakter yang sela- lu mampu untuk timbul kembali setelah tenggelam. Terorisme selalu “patah tumbuh hilang berganti” sehingga selalu membayangi masya- rakat dengan bahaya dan kekejamannya (Hendropriyono, 2009: 8-9). Isu terorisme memang menjadi isu yang mutakhir saat ini. Terlepas da- ri apapun latar belakang pandangan yang ada di belakangnya, teror- isme tetaplah merupakan kejahatan yang mengerikan.

Sebagai sebuah perilaku manusia, kejahatan terorisme adalah satu hal yang dapat dinilai dari berbagai macam perspektif, termasuk juga dari frame filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel sebagaimana yang akan diuraikan pada tulisan ini. Filsafat Gabriel H. Marcel de- ngan demikian akan dipakai sebagai objek formal yang akan menjadi ‘pisau analisis’ bagi kejahatan terorisme di Indonesia, yang menjadi ob- jek material, khususnya berkaitan dengan kaum fundamentalis agama yang selama ini dianggap sebagai motor penggerak aksi teror yang di- lakukan. Analisis Marcel dengan demikian akan mencakup dua wila- yah sekaligus. Pertama, kejahatan teror itu sendiri, dan kedua, sikap pe- laku teror tersebut.

GAMBARAN SEKILAS TENTANG PEMIKIRAN ONTOLOGI DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME GABRIEL H. MARCEL

Gabriel H. Marcel (1889-1973) adalah seorang filsuf, yang seka- ligus menjadi seorang kritikus drama, penulis naskah, dan musisi. Ia dilahirkan dari seorang ibu penganut Yahudi, dan ayah penganut Katolik. Namun ia baru masuk Katolik secara sungguh-sungguh pada tahun 1929 setelah melakukan petualangan rohani cukup lama. Filsa- fatnya sering disebut dengan istilah “Eksistensialisme Kristen”. Na- mun ia sendiri menolak sebutan itu karena ia memang menolak sistematisasi dalam filsafat. Sebutan yang paling ia terima adalah “neo- sokratisme” karena ia menganggap bahwa sebutan tersebut sesuai dengan orang yang senantiasa mencari dan bertanya-tanya (Bertens, 2001: 64).

Metodologi filosofis yang dikembangkan oleh Marcel adalah unik, meskipun dalam beberapa hal menunjukkan kemiripan dengan metode eksistensialisme dan fenomenologi. Marcel menegaskan bah- wa filsafat harus dimulai dengan pengalaman kongkret, dan bukannya abstraksi. Oleh karenanya ia membuat contoh-contoh kongkret bagi ide-ide filosofis yang sedang ia selidiki. Pengalaman kongkret tersebut kemudian ia tarik ke tataran pemikiran, untuk kemudian diterapkan kembali pada pengalaman-pengalaman yang kongkret. Metodenya, dengan demikian bisa dirangkum sebagai metode yang “working…up from life to thought and then down from thought to life again, so that [one] may try to throw more light upon life” (Marcel, 1951: 41).

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, Marcel sendiri menolak sistematisasi dalam filsafat. Oleh karenanya, sulit untuk memahami pemikiran Marcel tersebut secara komprehensif. Meski demikian, ada beberapa terma atau istilah yang menjadi kata kunci dalam filsafat Marcel. Beberapa kata kunci dalam pemikiran Marcel tersebut, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Ontological Exigence dan Broken World sebagai Titik Tolak Menuju “Ada”

Pandangan Marcel mengenai jalan menuju “Ada” ini bisa dijelas- kan demikian. Marcel menganggap bahwa eksistensi adalah lapangan pengalaman langsung, yaitu wilayah yang mendahului kesadaran. Eksistensi dengan kata lain adalah “taraf hidup begitu saja”, atau taraf hidup yang tanpa direfleksi. Manusia adalah subjek yang mempunyai kesadaran, tetapi manusia seringkali juga belum menyadari apakah arti eksistensi ini karena ia mendahului kesadaran. Agar dalam hidup di dunia ini manusia dapat mencapai arti sepenuh-penuhnya, maka orang perlu meninggalkan taraf prasadar tersebut dan menuju ke kesa- daran yang sungguh-sungguh. Maksudnya adalah ada semacam peru- bahan pemaknaan atas kehidupan, dari relasi yang semula hanya menganggap situasi yang dialami sebagai nasib kepada keadaan yang betul-betul diterima secara bebas dan sadar. “Ada” manusia dengan demikian ditentukan oleh kesadaran dan otonominya. Singkatnya, orang perlu merintis jalan dari eksistensi menuju “Ada” yang dapat di- tempuh melalui tiga fase, yaitu admiration (kekaguman), reflection (re- fleksi) dan exploration (eksplorasi) (Bertens, 2001: 66).

Pandangannya mengenai perlunya jalan menuju “Ada” ini mun- cul karena refleksinya atas kehidupan yang ia lihat di masa modern yang telah mengubah manusia menjadi commuters atau manusia yang hanya menjalani rutinitas. Menurut Marcel, dunia semacam itu adalah dunia yang rusak (broken world) dan manusianya adalah manusia yang tereduksi hanya sebagai manusia fungsional (functionalized man). Ma- nusia semacam inilah yang menurut Marcel kehilangan kesadarannya sebagaimana dimaksud di atas, atau dalam bahasa Marcel kehilangan ontological exigence.

“… with a sort of global and intuitive characterization of the man in whom the sense of the ontological—the sense of being, is lacking, or, to speak more correctly, the man who has lost awareness of this sense.” (Marcel, 1995: 9).

Menurut Marcel, apa yang menentukan manusia adalah urgensi- nya atas hal-hal yang sifatnya ontologis (Marcel, 1973: 34). Oleh karena- nya, “Ada” adalah sesuatu yang sangat diperlukan oleh manusia, yang bisa ditempuh melalui jalan refleksi terhadap pengalaman manusia menuju hal-hal yang sifatnya ontologis. Bagi Marcel, ontological exi- gence adalah urgensi yang melekat pada diri manusia dalam arti sesua- tu yang kodrati dan menjadi ciri khas manusia.

The [ontological] exigence is not reducible to some psychological state, mood, or attitude a person has; it is rather a movement of the human spirit that is inseparable from being human” (Keen, 1984: 105).

Ontological exigence tersebut selanjutnya membawa implikasi lain dalam pemikiran Marcel, yaitu perhatiannya pada hal-hal yang tran- senden. Menurut Marcel, pengalaman mengenai yang transenden sa- ngatlah penting karena dengan begitu dunia bisa menjadi bermakna (Marcel, 1951: 46). Gagasan mengenai pengalaman transenden ini sekaligus membawa kepada pemikiran Marcel mengenai pembedaan antara problem dan mystery.

2. Problem dan Mystery

Pembedaan antara problem dan mystery merupakan suatu tema yang dapat membuka bermacam-macam perspektif baru dalam filsafat Marcel. Dikatakan demikian karena kedua hal tersebut membawa implikasi kepada pemikiran Marcel yang lain. Problem adalah masalah yang diajukan kepada saya sebagai subjek, yang berasal dari luar diri saya, sehingga ia mempunyai konotasi “objektif”, dan saya sendiri sebagai subjek tidak terlibat di dalamnya. Berbeda halnya dengan mys- tery. Mystery tidak pernah diajukan kepada saya sebagai subjek secara objektif. Mystery tidak berada di depan atau di luar saya sebagai subjek, tetapi berada di dalam diri saya sebagai subjek, atau lebih tepat lagi saya sebagai subjek termasuk mystery itu. Suatu misteri melibatkan diri saya sebagai subjek. Bertanya tentang misteri serentak juga berarti ber- tanya tentang diri saya sendiri sebagai subjek. Beberapa contoh tentang mystery misalnya inkarnasi, kehadiran, kejahatan, cinta, serta penge- nalan dan teristimewa “Ada” (Bertens, 2001: 71). Lebih lanjut, kedua konsep tersebut bisa dihubungkan dengan pemikiran Marcel menge- nai “Being” (etre) dan “Having” (avoir). Problem diliputi suasana “mem- punyai” sedangkan mystery diliputi suasana “Ada”. Hal ini selanjutnya akan mengarah pada pandangan Marcel mengenai refleksi

3. Refleksi Pertama dan Refleksi Kedua (Primary Reflection and Secondary Reflection)

Sebagaimana dikemukakan di atas, permulaan filsafat, menurut Marcel, bukannya kesangsian seperti halya pada banyak filsuf modern, melainkan admiration yang mencakup keheranan maupun kekagum- an. Apabila dikaitkan dengan pemikirannya mengenai urgensi onto-

logis, maka admiration bisa dikatakan merupakan fase pertama bagi jalan menuju “Ada”. Admiration bisa dikatakan merupakan kesadaran akan adanya mystery, dan untuk menuju pada fase berikutnya, mystery tersebut perlu direfleksikan. Refleksi ini dibedakan menjadi dua, yaitu refleksi pertama dan refleksi kedua.

Refleksi pertama mempunyai ciri berikut: abstrak, analitis, universal, dan dapat diverifikasi.

Roughly, we can say that where primary reflection tends to dissolve the unity of experience which is first put before it, the function of secondary reflection is essentially recuperative; it reconquers that unity (Marcel, 1951: 83).

Refleksi ini cenderung memecahkan, mengkotak-kotakkan kesa- tuan pengalaman yang dihayati manusia. Refleksi ini menyelidiki, menganalisis pengalaman. Subjek dilepaskan dari situasi kongkretnya dan dengan demikian ditampilkan kerangka yang mati.

Refleksi kedua tidak mengobjekkan tetapi berlangsung berdasar- kan partisipasi atau bisa dikatakan juga berlangsung dalam suasana Recueillement (recollection). Refleksi kedua tidak berbicara tentang objek tetapi tentang kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pende- katan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Kiranya sudah jelas bahwa refleksi kedua ini berlangsung konteks “persona”. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai “Ada” yang sebenarnya, yang tetap tersembunyi “Pemikiran objektif”. Refleksi ini oleh karenanya merupakan sarana penting bagi filsafat. Tugas refleksi ini bukan untuk memecah-belah dan mencerai-beraikan kehidupan, tetapi sebaliknya membangun kembali secara terus-menerus jalinan kehidupan yang telah dicabik-cabik oleh analisis yang ceroboh. Jadi dengan kata lain, refleksi ini memperlakukan kehidupan sebagai bagian dari “Ada” (Bertens, 2001: 67). Dua refleksi di atas sebenarnya adalah bagian dari metode Marcel untuk menarik suatu pemikiran kongkret (refleksi I) dan kemudian mengembalikannya pada situasi kongkret (refleksi II). Melalui dua refleksi tersebut, sudah terbuka jalan bagi kontak baru dengan realitas yaitu fase yang disebut exploration. Pada fase ini kita mengakui bahwa kita menjadi bagian dari “Ada”, yang berarti bahwa saya menerima secara bebas realitas keberadaan kita termasuk juga diri kita sendiri.

4. Kehadiran

Menurut Gabriel H. Marcel, misteri “Ada“ tidak tampak dengan cara yang semestinya kalau tidak diselidiki dari sudut intersubjektivi- tas, dalam arti relasi antarmanusia. Sebagaimana ciri khas pandangan eksistensialis, “Ada“ selalu berarti “Ada Bersamanya“. Oleh karena- nya, untuk memahami pemikiran Marcel mengenai intersubjektivitas tersebut perlu dipahami satu konsep dalam pemikiran Marcel, yaitu “kehadiran“ (presense). Kata “hadir” dalam relasi intersubjektivitas di sini tidak berarti berada di tempat yang sama. Saya bisa saja berada dengan banyak orang lain dalam satu ruangan yang sama, tetapi itu belum berarti bahwa saya “hadir“ bagi mereka atau mereka bagi saya. Dua orang baru hadir yang satu bagi yang lain, bila mereka mengarah- kan diri yang satu kepada yang lain dengan cara yang sama sekali ber- lainan dari cara mereka menghadapi objek-objek. Kehadiran hanya da- pat diwujudkan jika “Aku“ berjumpa dengan “Engkau“ (Marcel, 1951: 76).

Marcel membedakan relasi “Aku–Engkau” dengan relasi “Aku– Ia“. Relasi “Aku–Ia“ adalah relasi yang menempatkan orang lain dalam aspek-aspek fungsionalnya, sedangkan relasi “Aku–Engkau“ adalah relasi yang menempatkan sesama sebagai sesama.

If I treat a ‘Thou’as a ‘He’, I reduce the other to being only nature; an animated object which works in some ways and not in others. If, on the contrary, I treat the other as ‘Thou’, I treat him and appre- hend him qua freedom. I apprehend him qua freedom because he is also freedom and not only nature (Marcel 1949: 106–107).

Kehadiran ini direalisasikan secara istimewa dalam cinta, yaitu ketika “Aku“ dan “Engkau“ mencapai taraf “Kita“. Kesatuan ontologis yang dicapai dalam “Kita“ melebihi dua orang yang dijumlahkan satu dengan yang lain. “Aku“ bukanlah satu bagian dan “Engkau“ bagian lain yang bersama-sama disambung menjadi “Kita“. Pada taraf “Kita“, “Aku“ dan “Engkau“ dianggap menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian. Timbullah communion atau kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. Communion ini boleh dianggap sebagai “Kehadiran“ dalam bentuk yang paling sempurna, dan di sini peralihan dari eksistensi ke “ Ada “ sudah selesai (Bertens, 2001: 76).

RELEVANSI FILSAFAT EKSISTENSIALISME
GABRIEL H. MARCEL DENGAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA

Telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa kejahatan teror- isme yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir ini bisa dianalisis dari perspektif ontologis dalam filsafat eksistensialisme Gabriel H. Marcel. Apabila melihat keduanya, kejahatan terorisme di satu pihak dan pemikiran Marcel di pihak lain, memang ada banyak relevansi di antara keduanya. Artinya ada beberapa pemikiran Marcel yang sesuai atau bisa dipakai untuk menganalisis persoalan kejahatan terorisme yang terjadi di Indonesia.

Sebelum ini dilakukan, namun demikian kiranya ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, teror yang dimaksud adalah teror mela- lui peledakan bom bunuh diri. Objek analisis memang tindakan teror tersebut, namun titik berat analisis akan lebih pada pelaku bom bunuh diri itu sendiri. Maksudnya adalah demikian, sebagai bagian dari filsa- fat eksistensialisme, Marcel menekankan pembahasan filsafatnya pada perbuatan manusia kongkret, termasuk juga berkaitan dengan pan- dangannya mengenai “Ada”. Oleh karena itu, sasaran analisis dalam pembahasan ini pun pada tindakan kongkret dalam teror, yaitu pelaku bom bunuh diri. Kedua, sebagaimana dikemukakan oleh banyak pihak, aksi teror yang dilakukan selama ini dimotori oleh pandangan funda- mentalisme agama yang bercampur dengan kepentingan politik, baik untuk menentang modernisasi Barat maupun untuk mengajukan alter- natif ideologi yang baru. Penulis dalam hal ini, oleh karenanya, juga menggunakan asumsi di atas. Maksudnya, dalam menganalisis latar belakang kejahatan aksi teror, penulis juga menggunakan pandangan fundamentalisme agama sebagaimana yang pernah ditemukan pene- liti terdahulu.

1. Modernitas sebagai the Broken World

Menilik kembali pada pemikiran Marcel, objek kajian filsafatnya adalah pada perilaku manusia yang kongkret (ciri khas eksistensialis- me), dan dalam hal ini, kejahatan teror dengan cara bom bunuh diri adalah satu contoh perilaku kongkret manusia. Bahkan bisa dikatakan itu merupakan perilaku eksistensial karena si pelaku membuat kepu- tusan besar dan penting di dalam hidupnya. Berkaitan dengan pan- dangan Marcel mengenai the broken world, ia menganggap bahwa di dunia modern dan serba teknis seperti sekarang ini perilaku manusia tereduksi menjadi perilaku yang juga bersifat teknis, rutin, dan dengan demikian menjadi “dangkal”. Manusia tidak dikenali dari “Ada”nya tapi dari fungsi-fungsi yang ia miliki, misalnya sebagai pegawai bank X, sebagai ayahnya Y, sebagai penghuni rumah nomer Z, dan sebagai- nya. Artinya, dunia modern secara tidak disadari telah mengubah manusia yang secara esensial memiliki urgensi ontologis (ontological exigence) hanya menjadi “manusia yang terfungsionalisasi”. Keadaan ini, dalam pandangan Marcel, sebenarnya melemahkan, bahkan bisa menghilangkan urgensi ontologis manusia yang sebenarnya justru menjadi penentu manusia itu sendiri. Bisa dikatakan juga bahwa dalam dunia semacam ini tidak ada ruang bagi mystery maupun perso- alan mengenai yang transenden karena urgensi ontologis memang mati.

2. Fundamentalisme Beragama sebagai Ontological Exigence

Marcel menekankan bahwa manusia perlu keluar dari situasi ter- sebut karena apabila manusia menjalani dirinya sebagai “manusia yang terfungsionalisasi” ia hanya menjalani eksistensinya tanpa ber- usaha membangun kesadaran akan ketidaksadarannya itu. Fase perta- ma yang bisa dilakukan adalah admiration. Berkaitan dengan pelaku kejahatan teror, tindakan sebagaimana dimaksudkan oleh Marcel ter- sebut dijalankan dengan baik oleh si pelaku teror. Terlepas apakah lan- dasan spiritual itu berasal dari dirinya sendiri atau berasal dari hasil brain wash (cuci otak), yang jelas si pelaku masih menyisakan ruang yang cukup lebar bagi persoalan mengenai yang transenden, yang ber- arti juga ia memiliki ontological exigence yang kuat. Ia justru tidak terma-

suk dalam functionalized person karena ia masih memiliki mystery di da- lam hidupnya yang mungkin ia temukan jawabannya di dalam keya- kinan yang ia anut. Pada taraf ini bisa dikatakan bahwa pelaku teror sudah beranjak dari taraf eksistensial, yaitu “hidup apa adanya” dan mulai mengarah pada kesadaran mengenai dirinya karena keterbuka- annya atas urgensi ontologis tadi.

3. Simbol-simbol Agama sebagai Mystery

Marcel selanjutnya mengemukakan bahwa urgensi ontologis yang semakin menguat akan memberi ruang pada pengalaman me- ngenai yang transenden, dan ini sekaligus akan memberi ruang bagi munculnya mystery. Pada diri pelaku teror, hal ini bisa dijelaskan de- ngan cukup mudah karena ruang bagi pengalaman mengenai yang transenden adalah hal yang umum terjadi di dalam pemahaman ke- agamaan. Artinya, ketika ia mengarahkan urgensi ontologisnya kepa- da ajaran agama yang fundamental, pengalaman akan hal-hal yang transenden tersebut sekaligus ia dapatkan. Pandangan fundamental- isme agama pun kemudian menyajikan beberapa hal, yang dalam wak- tu yang tidak lama berubah menjadi mystery dalam diri pelaku teror tersebut. Tuhan, surga, neraka, jihad, dan berbagai misteri lainnya menghinggapi dirinya, dan sebagaimana dikatakan oleh Marcel, mys- tery ini tidak bisa dengan mudah dihilangkan begitu saja karena subjek sekaligus berada dalam mystery itu. Katakanlah, ketika seseorang men- jadi penganut agama X, maka ia akan terikat dengan hak dan kewajib- an yang melekat di dalam agama X tersebut. Sama halnya dengan yang terjadi dengan pelaku teror tersebut. Artinya, bahwa konsep-konsep yang ia dapatkan di dalam ajaran agama yang ia anut menjadi mystery bagi dirinya dan mau tidak mau ia sebagai subjek harus ikut terlibat di dalam mystery tersebut, dalam arti menghayati dan menjalaninya.

4. Merefleksikan Situasi Konkret: Refleksi I dan II

Pergumulan manusia dengan mystery adalah satu indikasi positif ke arah pencapaian mengenai “Ada”. Ia sekaligus memberi ruang bagi ontological exigence (satu hal yang sangat ditekankan dalam proses me- nuju “Ada”) dan ia sekaligus membuka diri bagi jalan refleksi, baik refleksi pertama yang sifatnya analitis, maupun refleksi kedua yang lebih bercorak filosofis. Kembali pada pelaku teror, refleksi pertama adalah berkaitan dengan cara ia mengkotak-kotakkan pengalaman yang ia miliki. Ini bisa dikatakan merupakan penyelidikan atas penga- laman karena pengalaman yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari ia tarik ke tataran pemikiran. Pada taraf ini ia akan menggabung-gabung- kan dan membanding-bandingkan pengalaman yang ia kumpulkan dengan (misalnya) ajaran-ajaran yang ia jumpai dalam keyakinan yang ia anut, dalam hal ini fundamentalisme agama. Ketika pengalaman ter- sebut sudah terkotakkan, dalam arti terklasifikasikan dan dapat dinilai dengan ajaran-ajaran yang ia dapatkan, maka fase selanjutnya adalah refleksi kedua.

Marcel mengatakan bahwa refleksi kedua berhubungan dengan kehadiran. Kehadiran ini merupakan sesuatu yang penting karena misteri “Ada” tidak tampak dengan cara yang semestinya jika tidak diselidiki dari sudut intersubjektivitas. Oleh karenanya, refleksi kedua juga berhubungan dengan relasi intersubjektivitas ini yang lebih bersi- fat dialogis, yaitu menghadapkan antara persona dengan persona. Apabila kita kembali pada persona pelaku teror, maka pada proses ini sebenarnya terjadi setidaknya dua hal: identifikasi relasi intersubjektif dan sekaligus recollecting hasil yang diperoleh pada refleksi I untuk disesuaikan atau diterapkan kembali pada pengalaman konkret.

5. Intersubjektivitas Pelaku-Korban: “Aku–Ia”

Bagi Marcel, “Ada” selalu berarti “Ada Bersamanya”. Artinya, ji- ka manusia ingin mencapai “Ada”, manusia selain memiliki kesadaran tentang “Ada”nya juga harus memiliki kesadaran juga tentang “Ada”- nya bersama “Ada”yang lain. Ketika persona-persona yang saling bere- lasi mampu mencapai hal tersebut maka tercapailah yang dinamakan “kehadiran”. “Kehadiran” namun demikian tidak selalu bisa dicapai dalam relasi intersubjektif manusia karena hal tersebut tergantung bagaimana manusia menempatkan manusia yang lain dalam relasi tersebut. Ketika manusia lain ditempatkan dalam posisi sebagai “Ia” maka ia hanya dianggap sebagai manusia yang dipandang secara fung- sional saja. Hal yang sama juga bisa kita jumpai di dalam diri pelaku

teror. Sebagai manusia (subjek) ia jelas menghadapi kenyataan bahwa ada manusia yang lain, yang memiliki pandangan yang berseberangan dengannya. Cara ia menjalin dengan manusia yang lain inilah yang menentukan keputusan mengenai “Adanya”. AM. Hendropriyono me- nyebutkan bahwa pelaku teror biasanya adalah orang yang kejam dan tidak menghargai manusia lain sebagaimana mestinya. Manusia lain hanya diposisikan sebagai “benda” yang bisa ia perlakukan dengan seenaknya melalui aksi teror yang ia lakukan tersebut. Hal ini dalam frame pemikiran Marcel merupakan satu contoh yang menunjukkan bahwa “kehadiran” tidak ikut serta dalam relasi intersubjektif yang dibangun oleh pelaku teror tersebut dengan orang lain. Alasannya sederhana, manusia lain adalah berbeda dari dirinya sehingga dengan kata lain pelaku teror ini hanya memandang manusia lain sebagai “Ia”, tidak sebagai “Engkau”.

6. “Engkau” Absolut dan Pencapaian “Ada”

“Engkau”nya pelaku teror ini adalah “Engkau” yang absolut yang ia jumpai dalam ajaran-ajaran yang ada di keyakinan yang ia anut. Itulah “Engkau”nya sehingga ketika pelaku teror sudah merasa- kan “kehadirannya” bisa dikatakan ia telah mencapai “Ada”nya, yaitu mencapai kesadaran penuh mengenai dirinya. Diri yang tidak lagi di- maknai sebagai nasib (eksistensial), tetapi sudah dimaknai dan diteri- ma secara sadar dan bebas, hingga akhirnya ia membuat satu keputus- an eksistensial: meledakkan bom bunuh diri demi “Engkau”nya.

Itulah gambaran singkat mengenai relevansi pemikiran ontologis Marcel dengan kejahatan teror yang akhir-akhir ini terjadi di negara kita. Satu kesimpulan yang bisa dirangkum di sini adalah bahwa di mata awam, meledakkan bom bunuh diri dan membunuh orang yang mungkin tidak berdosa adalah perbuatan biadab yang jauh dari nilai kemanusiaan. Namun apabila dilihat dari perspektif Marcel, terlepas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuatan), perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang manu- siawi karena “prosedur ” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal kepu- tusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil di akhir hidupnya. Berdasarkan uraian mengenai tahap-tahap di atas, tampaklah bahwa untuk mencapai “Ada” manusia harus me- nempuh tahapan atau fase-fase. Oleh karena itulah, manusia oleh Marcel disebut sebagai homo viator atau makhluk yang menjadi, karena memang ia mengalami beberapa fase atau tahapan untuk menuju pada “Ada” atau kehidupan yang dialami dan dijalani secara sadar, bebas, dan sepenuh hati.

SIMPULAN

Membahas pemikiran Gabriel H. Marcel, khususnya mengenai ontologi yang ia kembangkan, bukanlah persoalan yang mudah. Hal tersebut sangatlah sulit dilakukan karena filsafatnya yang tidak sis- tematis menimbulkan kesulitan tersendiri ketika mencoba melakukan klasifikasi atas pemikirannya. Marcel, selain itu juga menggunakan terma-terma dalam metafisika (misalnya “Ada”) dengan pemaknaan yang sangat berbeda. Ciri khas eksistensialismenya bagaimanapun tetap terlihat karena ia menempatkan “Ada” tersebut juga dalam kate- gori manusia.

Berkaitan dengan analisis atas perilaku terorisme di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme, khususnya yang dilakukan dengan bom bunuh diri, adalah perilaku yang secara ontologis meru- pakan bagian dari upaya yang dipilih manusia untuk mencapai “Ada”, yang juga menyangkut pertemuan antara “Aku” dan “Engkau”. Proses pertimbangan yang terjadi di dalam diri pelaku teror adalah bagian dari proses “menjadi”nya, (homo viator) dan kesemuanya itu dapat dije- laskan dalam perspektif filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel. Terle- pas dari apapun perbuatan yang dilakukan (aspek material perbuat- an), dalam perspektif Marcel, perbuatan tersebut secara formal adalah contoh perbuatan yang “manusiawi” karena “prosedur” yang dilewati oleh pelaku teror sesuai dengan fase-fase yang dikemukakan Marcel untuk menuju pada “Ada”. Meski mungkin perbuatannya biadab, namun dilihat dari sisi formal keputusan yang ia pilih, pelaku teror adalah pelaku yang mencapai “Ada” karena ia menemukan kehadiran “Engkau” di dalam keputusan yang ia ambil.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Cetakan Ke-3, Gra- media Pustaka Utama, Jakarta.

Hendropriyono, AM., 2009, Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Keen, Sam, 1984. “The Development of the Idea of Being,” in Schilpp and Hahn (eds.)

Marcel, Gabriel H., 1949, Being and Having, Translated by Katharine Farrer, Dacre Press, Westminster, UK.

________________, 1951, The Mystery of Being, Vol.1, Reflection and Mys- tery, Translated by G. S. FraserThe Harvill Press, London.

___________________, 1973, Tragic Wisdom and Beyond, Translated by Stephen Jolin and Peter McCormick, Publication of the Northwestern University Studies in Phenomenology and Existential Philosophy, ed. John Wild. Evanston, Northwestern University Press, IL.

___________________, 1995, The Philosophy of Existentialism, Translated by Manya Harari, Carol Publishing Group, New York.

24 May

PRESTASI PERSIBA DI TENGAH KISRUH PSSI

Kabupaten Bantul pernah memiliki squad sepakbola kebanggan masyarakat, yaitu Persiba. Pada tahun 2011 tim ini berhasil menorehkan prestasi karena berhasil masuk ke liga kelas satu waktu itu. Namun sayang, pada saat yang sama terjadi kekacauan di PSSI waktu itu. Tulisan ini sedikit merespon fenomena sosial yang cukup menarik tersebut. Beruntung, Koran Merapi menerbitkan artikel ini dalam rubrik Ngudarasa

Spektakuler!!! Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perjuangan skuad Persiba Minggu (22/5/11) lalu ketika sukses menggulung Persidafon dengan skor telak 5-2. Momentum itu sekaligus menjadi saat yang paling bersejarah bagi Persiba karena impian untuk berlaga di tingkatan tertinggi persepakbolaan nasional (ISL) pun akhirnya tercapai. Warga DIY, khususnya Bantul tentu patut berbangga dengan prestasi Persiba ini karena untuk pertama kalinya, Persiba menjadi wakil DIY yang ikut berlaga di kompetisi tertinggi sepakbola dalam negeri.

Namun demikian, ada satu hal ironis yang membarengi prestasi besar yang diperoleh Persiba tersebut. Apalagi kalau bukan kisruh PSSI yang hingga saat ini tidak menunjukkan titik terang. Kongres Nasional yang diselenggarakan 20 Mei 2011 kemarin bahkan hanya menimbulkan kekisruhan yang lebih akut karena pendukung calon yang ditolak oleh FIFA ngotot untuk tetap mengusung calon ketua umum yang tersingkir. Sanksi FIFA pun sudah di depan mata. Hal ini jelas merupakan persoalan yang serius karena jika sampai sanksi dari FIFA benar-benar dijatuhkan pada PSSI, maka semua prestasi yang ditorehkan oleh para atlet sepakbola nasional tidak akan memiliki arti penting di mata dunia internasional karena pada akhirnya mereka tidak diperbolehkan berlaga di ajang internasional. Begitu juga halnya dengan prestasi Persiba yang diperoleh musim ini. Segala macam upaya yang dilakukan untuk menjuarai setiap kompetisi pun bisa jadi sia-sia jika kisruh di tubuh PSSI ini tidak kunjung selesai.

Mencermati kegagalan Kongres PSSI yang lalu, sangat terlihat bahwa Kelompok 78 yang oleh banyak pihak dianggap sebagai biang kegagalan kongres (Vivanews, 22 Mei 20011) hanya mementingkan kekuasaan, dan terkesan sama sekali tidak memikirkan nasib sepakbola nasional. Betapa tidak, sudah jelas bahwa pencalonan Arifin dan George ditolak oleh FIFA, namun mereka tetap saja ngotot agar FIFA mencabut penolakannya atas dua calon tersebut. Jika memang mereka memikirkan nasib sepakbola nasional, khususnya menyangkut eksistensinya di dunia internasional, Kelompok 78 harusnya legawa dan bersama-sama dengan peserta kongres lainnya, memilih calon baru yang benar-benar pantas untuk menjadi ketua umum PSSI.

Membangun kesadaran di kalangan pemimpin memang bukan perkara mudah, terlebih apabila para pemimpin tersebut sudah haus akan kekuasaan, persis seperti yang terlihat pada kongres kemarin. Namun demikian, kesadaran terhadap nasib persepakbolaan nasional tersebut bagaimanapun sangatlah penting karena selain menjadi wadah bagi generasi bangsa di dalam melahirkan berbagai macam prestasi, sepakbola juga bisa menjadi senjata yang sangat efektif untuk menggenjotrasa nasionalisme bangsa Indonesia. Ajang piala AFF 2010 yang lalu, telah memberikan pelajaran yang sangat berharga betapa sepakbola bisa mendatangkan ‘keajaiban nasionalisme’. Ketika di babak penyisihan Timnas Indonesia memperoleh kemenangan berturut-turut atas Malaysia, Laos, dan Thailand, perhatian masyarakat pun tertuju pada pemberitaan tersebut sehingga seketika para pemain timnas menjadi idola, bak pahlawan yang dielu-elukan oleh seluruh rakyat. Kebanggaan rakyat atas negaranya pun meningkat tajam, dan seketika nasionalisme bangsa Indonesia membahana hingga ke pelosok negeri. Kaos, jaket, dan berbagai macam atribut Timnas diminati oleh seluruh rakyat sehingga prestasi Timnas pun berdampak di bidang ekonomi karena banyak pengusaha kaos yang kemudian ikut mendapat ‘buah manis’ lantaran mendapat omzet yang jauh melebihi biasanya.

Apa yang kita saksikan dalam dunia sepakbola ketika itu adalah pelajaran berharga yang seharusnya diingat oleh para petinggi PSSI yang sekarang sedang beradu ego mereka masing-masing. Sepakbola Indonesia harus benar-benar ditangani dengan serius karena ia tidak hanya merupakan wadah berprestasi bagi insan sepakbola di seluruh tanah air, tetapi ia bahkan bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk membangkitkan rasa nasionalisme bangsa. Nasionalisme adalah sikap yang terkait dengan rasa baggga terhadap suatu negara. Dan rasa bangga tersebut sebenarnya akan muncul dengan sendirinya ketika sepakbola kita menorehkan prestasi di laga internasional. 

Prestasi sepakbola nasional di masa mendatang inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan para petinggi PSSI, dan bukannya malah saling bertikai atau bahkan membangkang terhadap keputusan FIFA. Kisruh PSSI harus segera diatasi demi membangun kembali prestasi sepakbola nasional. Tanpa kepengurusan yang baik, dunia sepakbola nasional akan mati. Berbagai macam prestasi anak negeri, termasuk prestasi yang diperoleh Persiba saat ini pun, akan menjadi sia-sia karena tidak ada lagi penghargaan atas prestasi mereka. Tentu saja hal ini sangat tidak kita harapkan.

24 May

MEMPELAJARI ANATOMI BENCANA MERAPI

Ketika Gunung Merapi yang berlokasi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah bergejolak sekitar tahun 2011/2012, penulis ikut membahas permasalahan bencana tersebut. Artikel ini dimuat di rubrik Gagasan di Harian Solopos, tetapi tahun persisnya tidak ingat.

Sudah seminggu lebih Merapi meletus, namun hingga sekarang belum juga muncul tanda-tanda penurunan aktivitasnya. Bahkan jumlah korban jiwa justru semakin bertambah seiring meningkatnya letusan gunung teraktif di dunia ini. Berdasarkan pemberitaan yang dilansir oleh beberapa media massa, sebagian besar korban jiwa dalam letusan Merapi adalah penduduk yang tidak mematuhi himbauan pemerintah dan lembaga terkait dengan perintah evakuasi. Hal ini tentu menjadi persoalan karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ternyata masyarakat tidak memiliki kesadaran mengenai ancaman dan bahaya Merapi.

“Anatomi” bencana Merapi

Sesuai dengan World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang, bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Terkait dengan letusan Merapi tahun 2010 ini, maka faktor bahaya adalah ancaman Merapi itu sendiri, dan faktor kerentanan adalah kesiapan atau daya tahan masyarakat di lereng Merapi terhadap bahaya gunung tersebut.

Sesuai dengan realitas yang bisa kita lihat bersama, tampak bahwa ternyata letusan Merapi telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ini berarti bahwa letusan Merapi memang telah menjadi bencana, dan pangkal persoalannya pun cukup jelas, yaitu faktor kerentanan (vulnerability), dalam hal ini adalah masyarakat yang kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya dari gunung tersebut.

Ada setidaknya dua faktor yang menjadi penyebab kerentanan atau ketidaksiapan masyarakat di sekitar lereng Merapi. Pertama, ada kearifan lokal yang bercorak mitis (mitos) di kalangan masyarakat lereng Merapi bahwa Merapi dan penduduk merupakan satu kesatuan, sehingga muncul keyakinan bahwa Merapi tidak akan melukai penduduk sekitarnya. Keyakinan ini dikuatkan dengan hadirnya tokoh seperti Mbah Maridjan yang dianggap memiliki peran “istimewa”, yaitu sebagai penjaga hubungan penduduk dengan Merapi. Kedua, masyarakat melupakan sejarah letusan Merapi di masa lalu, sehingga mereka pada umumnya tidak menyadari atau menganggap enteng bahaya letusan Merapi. Dua faktor di atas berujung pada satu sikap yaitu keyakinan bahwa letusan Merapi tidak akan seburuk seperti yang diperkirakan, sehingga sejumlah penduduk pun tetap bertahan di rumah mereka meskipun pemerintah sudah menghimbau untuk mengungsi. Sikap inilah yang menjadi faktor kerentanan (vulnerability) dalam bencana Merapi, dan hal ini terbukti dari banyaknya jumlah korban yang meninggal di dalam rumah karena tidak mematuhi himbauan evakuasi.

Dari “mitos” ke “logos

Untuk menghindari kejadian yang sama di masa yang akan datang, faktor kerentanan manusia ini perlu di atasi, dan kuncinya adalah mitos yang berkembang di masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas. Mitos memang tidak selamanya salah karena mitos memberikan cara pandang yang lebih arif terhadap lingkungan. Namun, akan menjadi persoalan apabila mitos digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan keputusan penting seperti di dalam letusan Merapi ini. Oleh karenanya, masyarakat seharusnya perlu sedikit membuka diri terhadap “logos”, dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang bisa menjelaskan banyak hal tentang Merapi dengan cara yang bisa dimengerti oleh rasio.

Sejak awal, Dr. Surono (kepala PVMBG) telah mengemukakan temuan ilmiah mengenai peningkatan aktivitas Merapi. Dan perhitungan yang dilakukan juga selalu bisa diandalkan. Oleh karenanya, dalam rangka mengurangi faktor kerentanan, masyarakat seharusnya memperhatikan pertimbangan ilmiah tersebut, khususnya terkait dengan himbauan untuk proses evakuasi. Namun sayangnya, masyarakat terlalu menganggap remeh bahaya Merapi sehingga faktor kerentanan tersebut bukannya teratasi tetapi justru semakin membesar, yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa.

Mengubah pandangan masyarakatBertolak dari persoalan di atas, peristiwa meletusnya Gunung Merapi yang terhitung dahsyat ini perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi dan refleksi, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di lereng Merapi. Sebagai solusi jangka panjang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama,harus dibangun kesadaran mengenai bahaya (hazard) Merapi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bung Karno pernah berpesan “Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah), oleh karenanya peristiwa letusan tahun ini harus diingat dan diceritakan kepada generasi berikut sehingga kesadaran akan bahaya Merapi tetap ada di ingatan masyarakat. Kedua, masyarakat juga perlu melakukan perubahan cara pikir. Yaitu dengan  membiasakan diri menerima penjelasan dan pertimbangan ilmiah karena dalam banyak hal pertimbangan ilmiah bisa memberikan penjelasan yang lebih masuk akal. Pertimbangan ilmiah bersifat empiris-rasionalis, dan bukan spekulatif sehingga masih bisa diandalkan untuk “mengawal” objek alamiah, seperti Merapi. Kedua upaya di atas akan membantu mengatasi faktor kerentanan di pihak manusia. Sehingga ketika di waktu yang akan datang bahaya (hazard)  kembali mengancam, masyarakat bisa menghadapinya dengan kerentanan (vulnerability) yang minimum sehingga peristiwa alam tidak perlu menjadi bencana. Semoga.

24 May

MEMBANGUN MASYARAKAT SADAR BENCANA

Mengawali tahun 2012, di Indonesia terjadi banyak bencana alam. Artikel yang sempat diterbitkan di Koran Merapi ini, ditulis untuk merespon fenomena alam tersebut.

Pada umumnya, orang selalu menaruh harapan baru ketika datang tahun yang baru. Ini pula yang kemarin terlihat ketika tahun 2011 berakhir dan digantikan dengan tahun 2012. Banyak orang berharap agar keadaan di tahun 2012 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, ternyata kenyataannya tidak semudah yang diinginkan. Di awal tahun 2012 ini justru ada banyak kejadian buruk yang menimbulkan kerugian, bahkan membawa korban Jiwa. Salah satunya adalah terjadinya angin kencang atau angin puting beliung di sejumlah tempat di Indonesia.

Beberapa hari yang lalu berbagai pemberitaan di media massa menayangkan bagaimana topan Iggy yang hanya “nyrempet” ke wilayah Indonesia telah menyebabkan banyak kerugian. Akibat ulah topan tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada setidaknya 14 orang meninggal dunia di wilayah Jawa dan Bali (Kompas.com, 29 Januari 2012). Tak hanya itu, angin puting beliung juga terjadi di Gunung Kidul. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, namun peristiwa tersebut mengakibatkan setidaknya 10 rumah rusak (Kedaulatan Rakyat, 2 Februari 2012).

Banyaknya kerusakan yang dialami oleh masyarakat kita akibat peristiwa alam, misalnya angin puting beliung tersebut, sebenarnya mengindikasikan banyak hal. Pertama, berbagai fenomena alam tersebut menunjukkan bahwa alam memang sedang bergolak dalam rangka mengembalikan keseimbangannya. Kita sepatutnya sadar bahwa sebenarnya manusia adalah bagian dari alam, dan mau tidak mau, kita harus menerima “perlakuan” alam tersebut. Kedua, dan yang paling penting, kerusakan di pihak manusia tersebut menunjukkan bahwa manusia belum atau kurang siap di dalam menghadapi fenomena alam tersebut, sehingga tidak mampu meminimalisir akibat buruk yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.

World Conference on Disaster Reductionyang diselenggarakan tahun 2005 di Kobe, Jepang, menyepakati bahwa bencana bisa dikatakan memiliki “anatomi”, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor bahaya (hazard), dan faktor kerentanan (vulnerability). Suatu peristiwa disebut sebagai bencana ketika bahaya yang datang dihadapi dengan kerentanan yang tinggi atau kesiapan yang minimum sehingga banyak korban di pihak manusia. Dalam kasus angin puting beliung yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, faktor bahaya sangatlah jelas, yakni angin puting beliung itu sendiri. Sedangkan faktor kerentanan adalah kesiapan kita di dalam menghadapi peristiwa tersebut, termasuk juga prosedur mitigasi bencana yang kita miliki. Ketika faktor bahaya (angin puting beliung) tersebut dihadapi dengan kerentanan yang tinggi (kesiapan yang rendah di pihak manusia), maka terjadilah kerusakan di pihak manusia. Di posisi inilah, peristiwa tersebut dapat disebut sebagai bencana.

Jika anatomi dari bencana puting beliung tersebut sudah dapat kita ketahui, tentu pertanyaan besarnya adalah: lalu bagaimana kita bisa mengurangi kerusakan di pihak manusia? Jawabannya adalah sangat jelas, yaitu bahwa kita perlu mengurangi faktor kerentanan dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin jika sewaktu-waktu bencana yang sama datang. Upaya ini dapat ditempuh setidaknya dengan 3 cara. Pertama, perlu disadari bahwa cuaca sebenarnya adalah satu keadaan yang bisa “diramalkan”, termasuk potensi terjadinya angin kencang. Untuk itu, pemerintah harus mampu menyediakan informasi seluas-luasnya tentang potensi-potensi tersebut kepada masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah bisa menggunakan media elektronik, seperti radio atau televisi, agar masyarakat bisa terus mengikuti perkembangan informasi cuaca.

Kedua, baik pemerintah maupun masyarakat harus pro-aktif di dalam menyediakan informasi tentang angin puting beliung. Pemerintah bisa menempuh upaya ini dengan melakukan sosialisasi ke berbagai daerah tentang angin puting beliung, beserta panduan untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Penyediaan poster atau pamflet barangkali sudah cukup efektif untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat. Sebaliknya, di pihak lain, masyarakat juga harus secara mandiri memperkaya diri dengan informasi tentang bencana alam, sehingga upaya dari kedua pihak bisa bertemu pada satu titik, yang nantinya akan meningkatkan pemahaman masyarakat itu sendiri.

Ketiga, dan yang tidak kalah penting, perlu disosialisasikan mitigasi untuk bencana puting beliung itu sendiri. Mitigasi bencana tersebut akan memberikan panduan kepada masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan sebelum, ketika, dan setelah bencana terjadi. Termasuk upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat di daerah rawan agar lebih siap secara fisik dan mental di dalam menghadapi bencana yang sama di masa yang akan datang. Upaya ini barangkali adalah yang paling penting karena dengan tersedianya mitigasi bencana yang baik, maka kerusakan ataupun jatuhnya korban benar-benar dapat diminimalisasi.Itulah tiga upaya yang dapat dilakukan untuk membangun masyarakat sadar bencana. Kesadaran terhadap bencana adalah satu hal yang bukan saja penting, tapi juga harus dimiliki karena memang secara geografis negara kita adalah negara yang rawan dengan berbagai macam bencana. Dengan kesadaran yang tinggi terhadap potensi bencana, maka masyarakat kita akan lebih siap di dalam menghadapi bencana apapun. Semoga…

24 May

KOMUNIKASI PEMIMPIN ALA SBY

Pada tahun 2012, perbincangan tentang status keistimewaan Yogyakarta menjadi perbincangan hangat di media massa. Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan diterbitkan di media cetak, jika tidak salah di Solopos, untuk ikut meramaikan diskusi tentang isu tersebut. Namun sayang, oleh karena satu dan lain hal, arsipnya tidak ketemu. Jika ada pembaca yang bisa menemukan tautan untuk artikel ini, saya akan sangat terbantu.

Presiden SBY kembali menjadi pembicaraan di berbagai media. Pidatonya dalam pembukaan rapat kabinet (26/11) yang kemudian diklarifikasi pada hari Kamis (2/12) lalu telah mengundang polemik di kalangan masyarakat. Sebagaimana dilansir di beberapa media, pernyataan presiden SBY pada rapat kabinet tersebut sangat disayangkan oleh berbagai kalangan karena SBY dianggap tidak mengetahui substansi dari keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya sudah diatur di dalam konstitusi (UUD ’45). Menanggapi reaksi publik yang tidak terduga itu, presiden SBY pun menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi pidato yang dianggapnya telah disalah-pahami oleh masyarakat. Banyak hal yang ia sampaikan sehingga pidatonya menjadi agak tidak jelas. Bahkan apa yang ia sampaikan terkesan hanya merupakan retorika yang berbau apologi karena semua yang dikeluhkan oleh publik, ia klarifikasi semuanya. Tentang aspek sejarah, pasal 18 UUD ’45, solidaritasnya terhadap bencana Merapi, sikap hormatnya atas Sultan dan PakuAlam, dan masih banyak lagi. Banyak pihak yang kemudian menilai klarifikasi SBY ini merupakan strategi pencitraan karena ia tampak seperti berusaha meraih kembali simpati publik, terutama dari masyarakat Yogyakarta, setelah pidatonya mengundang kontroversi di berbagai media.

Terlepas dari materi yang disampaikan di dalam klarifikasinya tersebut ada beberapa kelemahan yang sebenarnya bisa kita amati di dalam kebiasaan komunikasi atau pidato yang dilakukan oleh  SBY. Pertama, dibandingkan dengan orang-orang yang pernah menjabat sebagai presiden RI, SBY terkesan terlalu sering berbicara di hadapan publik sehingga seringkali ia sendiri justru kerepotan menanggapi reaksi publik akibat pidato-pidatonya yang kontroversial. Hal ini sebenarnya sangat disayangkan karena di antara orang-orang yang menjadi stafnya, sudah ada orang yang ditunjuk sebagai juru bicaranya, yaitu Julian Aldrin Pasha. Semestinya, SBY menyerahkan sebagian besar fungsi penerangannya tersebut kepada juru bicaranya, sehingga ketika mungkin ada kesalahan ucap (sliped tangue), hal itu tidak sampai berpengaruh terhadap kredibilitasnya sebagai kepala negara.

Kedua, SBY juga sering berbicara out of context atau terkadang tidak memperhatikan konteks. Misalnya menyertakan isu A dalam pidatonya mengenai B. Hal ini tentu juga menjadi masalah karena persoalan yang kecil bisa menjadi persoalan yang besar akibat dari penyebaran “prematur” dari satu isu, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ketiga, entah disengaja atau tidak, hampir semua pidato yang dikemukakan SBY, selalu disiarkan secara live di berbagai media elektronik. Hal ini sangat potensial menimbulkan polemik karena ketika disiarkan di media massa, sebagian besar masyarakat tidak akan menyadari konteks di mana pidato tersebut disampaikan. Akibatnya, yang menjadi fokus perhatian hanya materi pidatonya. Akan sangat berbahaya jika materi pidatonya tersebut adalah persoalan yang sensitif, dan hal ini pula yang sebenarnya memicu polemik di media massa akhir-akhir ini.

Apabila presiden SBY masih menginginkan kepercayaan publik, kelemahan di atas tentu perlu diatasi karena hal itu tidak hanya mengurangi kredibilitasnya sebagai kepala negara, tetapi juga merugikan kepentingan politik yang ia miliki. Presiden SBY perlu ‘memperbaiki’ gaya komunikasi yang selama ini dilakukan sehingga kedudukannya sebagai kepala negara tidak tereduksi oleh kontroversi yang ia munculkan sendiri.

Sabda Pandhita Ratu

Terkait dengan komunikasi seorang pemimpin, ada satu petuah luhur yang pernah dikemukakan oleh Raja Surakarta Hadiningrat, yaitu Pakubuwana IV, yang dituliskan ke dalam sebuah serat yang diberi nama Wulangreh.Beliau sudah memberi rambu-rambu kepada setiap manusia, khususnya para pemimpin agar tidak memiliki watak adiguna, yaitu watak seorang manusia yang mengandalkan kata-katanya (seperti ular yang mengandalkan bisa-nya). Pemimpin yang demikian ini tidak akan mendapatkan keluhuran, tetapi justru akan mati sampyoh karena pada akhirnya ia tidak akan memperoleh kebaikan dari sifatnya tersebut, dan justru keburukan yang akan ia dapatkan. Ajaran luhur ini tentu bisa menjadi bahan refleksi bagi para pemimpin kita agar tidak terjebak di dalam kesulitan yang ditimbulkan oleh kata-katanya sendiri.Seorang pemimpin adalah sosok yang menjadi panutan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karenanya perkataan yang dikemukakan tidak hanya dimaknai sekedar kata-kata, tetapi lebih dari itu. Perkataannya bisa saja menjadi hukum, yang tentu saja membawa implikasi yang sangat besar terhadap kekuasaan yang ia miliki. Karenanya seorang pemimpin haruslah berhati-hati dalam memilih kata. Di dalam ajaran filsafat kepemimpinan Jawa, hal ini sering disebut dengan sabda pandhita ratu, dan sebenarnya patut disayangkan apabila pemimpin negeri ini tidak menyadari akan hal ini. Ajaran mengenai sabda pandhita ratu secara garis besar berarti bahwa perkataan seorang pemimpin adalah ibarat ucapan pandhita yang selalu manjur, dalam arti ucapannya selalu memiliki efek yang mendalam. Oleh karenanya kata-kata seorang pemimpin tan kena wola wali atau tidak boleh plin-plan. Untuk menghindari hal ini, maka pemimpin seharusnya lebih banyak diam namun diam yang penuh strategi. Ia hanya berkomentar ketika sangat dibutuhkan, dan komentarnya adalah komentar yang menunjukkan sikap finalatau prinsipnya atas masalah yang sedang dihadapi. Inilah yang seharusnya menjadi gaya komunikasi seorang pemimpin, dan bukannya mengobral pidatoyang tidak jelas substansinya.

24 May

HUMANISME EKOLOGIS BERBASIS TRI HITHA KARANA

Artikel ini ditulis pada tahun 2012 dan pernah diterbitkan di Balipost. Saya berusaha mencari tautan untuk mencari terbitan di Balipost, tetapi sampai sekarang belum bisa menemukannya. Apabila ada yang bisa membantu saya menemukan tautannya, tentu saya akan sangat berterima kasih.

Indonesia kembali berduka. Hujan yang turun dengan intensitas cukup tinggi telah menyebabkan banjir di sejumlah daerah di seluruh negeri ini. Meski tidak banyak korban jiwa dalam bencana banjir tersebut, namun jika diakumulasikan, kerugian material dari bencana banjir jelas tak terhitung lagi. Banyak infrastruktur yang rusak, kegiatan perekonomian masyarakat juga terganggu, dan masih banyak akibat yang lainnya. Beberapa pihak kemudian menyalahkan alam atas bencana ini, namun ini tentu tidak benar karena entah besar atau kecil, jelas ada campur tangan manusia dalam bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Manusia dan hukum alam

Bumi yang kita tempati adalah tempat yang memiliki aturan yang sangat ‘tegas’. Ada hukum alam yang di dalamnya terdapat hukum sebab-akibat; ada pula hukum Tuhan yang bekerja dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. Meski peristiwa atau kejadian alam di sekitar kita tampaknya kacau, kita percaya bahwa alam adalah tempat yang harmonis. Dalam arti bahwa setiap bagian berada pada tempatnya masing-masing, dan bekerja bersama-sama membentuk satu keadaan yang kita beri nama “keseimbangan”. Karena keseimbangan ini pula, di dalam agama Hindu kita kenal ajaran mengenai Tri Hitha Karanayang salah satu isinya adalah ajaran untuk menjaga hubungan baik kita dengan alam.

Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk mengembalikan keseimbangannya ketika keseimbangan ini mengalami gangguan. Gempa bumi, gunung meletus, dan banjiryang dari sudut pandang manusia dianggap sebagai “bencana”, dalam frame yang lebih besar hanyalah bagian dari mekanisme alam untuk mengembalikan keseimbangannya, yang sebenarnya justru amat diperlukan bagi keseimbangan alam itu sendiri.Namun persoalannya adalah bahwa di samping keseimbangan itu berubah oleh mekanisme yang dimiliki oleh alam, manusia ternyata juga ikut berperan dalam merubah keseimbangan itu. Campur tangan manusia ini bahkan terlalu ekstrim sehingga alam pun mengembalikannya dengan cara yang ekstrim. 

Ketika manusia mulai berpikir secara fungsional, maka ia sudah membuat jarak dengan alam, bahkan mulai berpikir tentang bagaimana caranya agar alam yang ada dihadapannya bisa digunakan seluas-luasnya untuk kepentinganmanusia. Ada perbedaan yang tegas dan jelas antara manusia dan alam sehingga manusia seringkali lupa bahwa ia sendiri adalah bagian dari alam yang masih terikat dengan segala hukum yang bekerja di dalamnya. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap humanistik yang berlebihan atau kelewatan karena dalam titik ekstrim manusia tidak akan memperhatikan lagi seberapa jauh kerusakan lingkungan yang telah diakibatkannya. Nalar yang bekerja menjadi nalar kapitalis-ekonomis sehingga yang menjadi orientasi utama adalah keuntungan manusia sendiri.

Tri Hitha Karana dan humanisme-ekologis

Perubahan iklim yang mulai kita rasakan, beserta berbagai bencana yang muncul, menunjukkan pada kita bahwa mungkin selama ini kita memang salah memperlakukan alam yang kita tinggali. Berbagai bencana di tanah air memberitahukan kepada kita bahwa kita perlu membangun solusi, baik jangka pendek maupun jangka panjang agar peristiwa serupa tidak terulang di masa yang akan datang. Solusinya, perlu ada semacam gerakan untuk memperbaiki lingkungan kita, dan dalam hal ini sebenarnya perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang akan dilaksanakan di sejumlah daerah.Diakui atau tidak, manusia memiliki campur tangan yang besar atas kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, dan sebagaimana diuraikan di atas, hal ini terjadi karena faktor mentalitas, yaitu sikap kita yang salah dalam menempatkan dan memperlakukan alam. Oleh karenanya, perlu dilakukan tindakan yang juga berkaitan dengan mentalitaskita, yaitu melakukan re-orientasi fundamental mengenai persepsi kita atas alam. Hal ini berarti bahwa kita perlu melakukan rekonstruksi menyeluruh pada konsepsi atas alamyang kita miliki selama ini. Perlu ada semacam re-definisi atas alam yang kita tempati, dan dalam hal ini kita bisa belajar pada agama Hindu, yakni mengenai konsepTri Hitha Karanasebagai salah satu contoh sikap yang bijaksana dalam memandang alam. Jangan lagi menganggap alam sebagai sesuatu yang eksternalmanusiakarena manusia dan alam adalah dua hal yang menyatu. Manusia adalah bagian dari alam, dan apabila terjadi sesuatu pada alam, manusia tohjuga akan ikut merasakannya.

Kesadaran semacam inilah yang perlu kita bangun bersama-sama, dan tentu saja untuk mencapainya perlu komitmen yang kuat dari diri kita masing-masing. Intinya, perlu dibangun semacam etika yang berbasis pada nilai-nilai kosmologis dan ekologis, yaitu etika yang berbasis pada nilai-nilai yang mengagungkan keharmonisan dan kelestarian alam, seperti Tri Hitha Karana di atas. Upaya ini memang bukan upaya yang mudah dan instan, namun ia bukanlahupaya yang sederhana karena apabila mampu diwujudkan, akan menjadi solusi yang komprehensif atas persoalan ekologis yang kita hadapi saat ini. Dengan begitu, kita akan bangga dengan dunia yang akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang.